1

6K 508 21
                                    

Tak ada tempat tujuanku yang lain selain rumah sakit tempatku bekerja. Meskipun hari ini adalah hari liburku, aku lebih baik mendatangi rumah sakit saja. Setidaknya, bertemu dengan pasien dapat menghilangkan sedikit rasa sedihku.

Aku bekerja di rumah sakit yang sama dengan suamiku, Ryan Agustian Malik. Aku hanyalah dokter umum, kalau dia dokter anak. Aku tak sempat mengambil spesialis karena dilarang Ryan. Lalu ketika lampu hijau itu ada, hadirlah Rifan di rahimku. Akhirnya dia melarangku kembali untuk mengambil spesialis.

Sejak Rifan hadir, kami membagi tugas. Ryan yang pasti akan selalu dapat jadwal pagi, mengasuh Rifan di malam harinya. Kalau aku kedapatan jadwal pagi, aku titipkan Rifan ke rumah papah. Aku mengasuhnya seharian di saat hari liburku. Begitu selanjutnya hingga aku sadar, meskipun dapat jatah libur dua hari dalam seminggu, aku tak pernah lagi bertemu secara intim dengan suamiku.

Saat itulah aku tersadar, selama ini apa tujuanku menikah dengannya? Mengapa aku bisa menerimanya? Dia itu makhluk paling sempurna yang pernah ada. Mengapa harus memilihku yang biasa saja.

Aku bukan dokter yang terbaik. Tapi setidaknya aku ingin jadi istri dan ibu yang terbaik untuk suami dan anakku. Tapi rasanya keduanya jauh sekali dari kenyataan. Aku seperti dianggap tidak ada kalau Ryan ada di sekitarku. Aku hanya dipandang sebagai 'baby sitter'-nya Rifan saja. Semua orang akan terfokus pada Ryan dan Rifan.

Di rumah, semua pekerjaan rumah kecuali mencuci pakaian dan memasak jadi tugasnya Ryan. Bukan aku juga yang mau. Tapi saat aku akan membersihkan rumah, rumah sudah dalam keadaan rapi dan bersih. Ryan itu tidak tahan kotor. Jadi dia akan secara otomatis membersihkan rumah setiap ada di rumah.

Di rumah sakit, meskipun kami ada di tempat kerja yang sama, aku jarang sekali bertemu dengannya. Dia lebih banyak berdiam diri di ruangannya atau ruang rawat anak. Hah, aku ini apa. Apa aku hanya pembantu di rumah yang memasak dan mencuci pakaian?

Sebelum aku masuk ke ruang Intensif Gawat Darurat untuk bekerja, aku bersembunyi dulu di tangga darurat. Sesuatu yang aku tahan harus segera aku keluarkan. Menangis di kesepian sudah jadi kebiasaanku. Aku tak bisa menangis di depan orang lain. Setelah merasa puas, aku segera pergi ke IGD. Tadi aku lihat, ada banyak mobil ambulan yang datang. Banyak pasien kecelakaan datang.

"Dokter Dian. Kenapa datang dihari libur begini??" tanya satu perawat yang memang baik padaku. Dia selalu jadi partnerku bekerja.

"Di rumah juga gak ada kerjaan. Mending ke sini aja."

"DOKTER!! Ada pasien!!" teriak salah satu perawat.

Aku segera berlari mendekati asal suara. Seorang ibu hamil datang dengan perdarahan.

"Tanda vitalnya??"

"Tekanan darahnya 90/60, Nadinya 98, Suhu 36°C, Respirasi 21x/menit."

"Denyut jantung janinnya?"

"150x/menit."

"Bu, bilang kalau sakit, ya. Saya mau periksa perut ibu."

Perut ibu ini sudah menegang tanda kontraksi. Gerakan bayi aktif. Namun saat aku melihat darahnya yang mengalir. Ah, ini darah segar. Berarti ada pembuluh darah yang terbuka di dalam.

"Ibu, sebelumnya sering periksa kemana?" tanyaku untuk lebih meyakinkan diagnosa.

"Di Bidan, Neng" jawab ibu itu sambil menahan sakit setelah kontraksi.

"Pernah diUSG? Buku periksanya dibawa?"

"Pernah. Kata dokternya ada yang ngehalangin di jalan lahirnya. Tapi buku periksanya lupa dibawa."

"Telepon Dokter Rizky segera" perintahku pada perawat yang menemaniku.

Aku melakukan beberapa anamnesa terlebih dahulu sambil menunggu dokter spesialis kandungan datang.

[Re] Perfect Mate ⭕Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang