Aku masukin beberapa barang yang yang gak kepakai di sebuah kotak besar. Bunda rencananya mau kasih barang-barang ini ke panti asuhan, mau disumbangin gitu. Temen-temen arisan Bunda itu ngadain kegiatan bakti sosial makanya aku sama Mas Alex disuruh ngumpulin barang bekas yang masih bagus dan layak pakai. Kaya baju, kemeja, rok, sama buku bacaan yang sekiranya bisa buat adik-adik di panti.
Saat sedang sibuk pilah-pilih barang, aku lihat jepitan rambut kecil yang dibeliin Allen waktu dia ke Korea tiga bulan yang lalu.
Aku cuma bisa menghembuskan nafas berat ketika nemuin benda itu. Pasalnya itu benda terakhir yang kusimpen dari dia sebelum kita putus.
Ya, aku baru aja putus sama dia.
Masalahnya sepele sih. Aku ingin diperhatiin, sementara Allen orangnya sibuk apalagi sekarang diminta jadi asdos di jurusannya. Alhasil dia gak punya banyak waktu buat aku.
Kekanakan banget gak sih?
Tapi gimana dong? Aku juga butuh belaian.
Kalau ditinggal ngurusin kuliah mulu ya gabisa aku.
Aku akuin Allen orang pinter. He's totally smart af. Dia ikut himpunan jurusan, dia asdos, dia baru aja pertukaran pelajar ke Korea padahal sebelumnya dia sudah ke Inggris dan Jepang buat ikut acara serupa. Dan jangan lupa dia masih jadi model kalau dia lagi pengen.
Satu kata buat Allen.
ANJIR
Dia cowok ter-perfect yang pernah gue temuin setelah Ayah dan Mas Alex.
Ahh tapi sayang sekali kami harus sampai sini aja.
"Diliatin mulu jepitnya," Mas Alex dateng mergokin aku ngelamun. "Udah ditunggu Bunda itu."
"Iya."
●●●
Aku duduk di kantin sendirian sambil baca-baca buku. Tiba-tiba ada cairan merah yang netes di bukuku.
Aku mimisan lagi.
Sejak awal kuliah udah sering kaya gini. Begitu capek langsung mimisan.
Aku cepet-cepet ambil tisu lalu lap bukuku dan nyumpel hidungku pakai tisu.
"Lo gakpapa, Le?" Tanya seseorang yang baru saja lewat.
"Gakpapa kok," aku langsung beresin buku dan bawa tasku ke toilet.
Pas di tengah jalan, gak sengaja aku nabrak orang sampai tisu yang aku bawa itu jatuh.
"Sorry gak sengaja."
Aku jongkok untuk ambil tisuku yang jatuh. Sesaat kemudian aku liat sebuah tangan yang tahan aku pas aku mau pergi dari tempat itu.
"Mbak Ale? Mbak gapapa?"
●●●
Orang yang barusan nabrak aku itu Jeffrey. Ya, Jeffrey Christian Nareshwara yang dulu sempet buat aku jadi bahan taruhan sama temen-temen gendeng-nya. Aku gak pernah bayangin akan bertemu lagi dengannya dalam kondisi seperti ini. Sekarang dia udah ada di depanku, siap dengan kapas dan alkohol dari kotak obat kecil yang biasa dibawanya kemana-mana sejak SMA. Emang dasar anak PMR jadi kotak P3K dia selalu siap di tasnya.
"Masih sakit?" Mau tak mau aku harus memandang wajahnya yang menyebalkan dan sekaligus tampan yang kini terpampang nyata di hadapanku. Dengan telaten ia mengobatiku dan membersihkan darah yang sesekali masih mengalir dari hidungku.
"Udah enggak."
Jika kalian berharap aku akan bersikap baik padanya karena sudah menolongku, kalian salah besar.
"Sejak kapan gampang mimisan?"
"Bukan urusanmu." Aku hendak beranjak dari tempat itu sebelum tangan Jeffrey menahan dan mencegahku pergi.
"Bawa aja nih. Kali aja kumat lagi," Jeffrey memberikan kotak obatnya padaku.
"Gak usah. Di mobil ada kok."
"Udah bawa aja," Jeffrey tetep kasih kotak obatnya ke aku dengan agak maksa.
"Yaudah, thanks."
"Mbak Ale, uhm... Boleh jujur?" Katanya kemudian.
"Tentang?"
"Peristiwa yang dulu, 3 tahun lalu." Jeffrey menghembuskan nafas beratnya. "Awalnya aku memang buat Mbak Ale jadi taruhan, tapi lama-lama aku sadar kalau aku sayang sama Mbak Ale. Bahkan sampe sekarang aku masih sayang sama Mbak Ale."
"Terus?"
"Bisa gak kita kaya dulu lagi?"
"Can we just forget it? Aku gak bisa sama kamu bukan karena marah. Tapi karena emang gak cocok. Terus aku harus-"
"Aku yakin Mbak Ale masih sayang sama aku."
Kalau kalian pikir aku bakal mau balikan sama dia? Hell no!!!
Sampai kapan pun aku gak akan mau sama Jeffrey. Kalau sama abangnya boleh dicoba. Aduh Ale, what are you thinking about?
"Kamu tau sendiri aku gabisa nerima kamu lagi. Itu terlalu sakit buat aku."
"Tapi-"
"Makasih banyak ya udah ngerawat aku. Aku balik dulu."
Sebelum Jeffrey ngomong apa-apa, aku langsung pergi dari tempat itu.
●●●
Masih aja gak bisa move on dari work ini. By the way ini kisah yang terinspirasi dari pengalaman pribadi. Nyesek banget gak sih pas lo tau kalau lo cuma dijadiin barang taruhan. Hiks... Sorry gue curcol
Gue janji ini yang terakhir. Please support this story and another works of mine if you really like this story. See you on another works ya? :)
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Taruhan
Fiksi Penggemar"Yang kalah harus ajakin ngedate kakel cupu kelas IPA 4" "Boleh, siapa takut." ーjihyeonnn, 2017