.05

547 86 7
                                    

Hening merayap di langit-langit kamar dan menyerang ke seluruh ruangan. Hanya terdengar suara helaan nafas dari Daehyun dan cetikan kuku dari Youngjae yang terlihat gugup di atas kasurnya.

Mata bulatnya menerawang, mengingat sosok Jin yang sebenarnya dia rindukan, tapi, rasa takut yang lebih besar menyelimutinya.

"Maaf karena memintamu menceritakan hal ini," ucap Daehyun pelan sekali.

"Hm." Mengusap matanya yang mendadak terasa panas. "Setidaknya ada tempat aku bercerita selain dengan orangtuaku dan Jaebum."

Manik Daehyun bergerak gusar. Takut-takut jikalau Youngjae tiba-tiba menangis seperti kemarin. Menenangkan orang yang sedang menangis adalah salah satu kelemahan pemuda berkacamata tebal itu. Meraih tisu di nakas, kemudian Daehyun meletakkannya di sisi Youngjae. Persiapan kalau air mata Youngjae sudah mengalir, pikirnya.

Setelah mendengar banyak hal dari mulut Youngjae membuat Daehyun penasaran tentang bagaimana nasib Jin setelah itu. Dengan gugup, dia mengajukan pertanyaan pada Youngjae untuk menghilangkan rasa penasarannya.

"Maaf kalau lagi-lagi aku lancang," ujarnya, "Bagaimana nasib Jin setelah itu?"

Pertanyaan itu melukiskan sebuah senyuman pilu di wajah manis Youngjae. Menyentuh satu titik di dada Daehyun yang mendadak terasa nyeri saat melihatnya. Senyuman yang tak ingin Daehyun lihat dari Youngjae.

"Jin meninggal dunia di rumah sakit jiwa," jawab Youngjae. "Depresi dan menjadi gila. Itu yang kudengar dari orangtuanya."

Getaran kembali menerjang Youngjae, membawanya kembali ke ruang nostalgia. Dimana Youngjae kecil menangis kencang melihat sosok Jin yang terbaring kaku di dalam peti kayu bersama tumpukan bunga lili dan mawar putih. Luka yang menghiasi pergelangan tangan, juga warna kebiruan di leher pucatnya, menandakan berapa banyak usaha yang pemuda itu lakukan untuk mengakhiri hidupnya.

Terbayang bagaimana suara yang memanggil namanya dengan penuh keputusasaan dan air mata yang mengalir dalam tangis setiap malam. Jin pasti ketakutan dan kesepian di sana. Di rumah sakit jiwa tempat dimana Jin memutuskan untuk menyudahi semuanya. Meletakkan semua beban di pundaknya dan melangkah menyusul adiknya.

"Jika saat itu aku tidak meninggalkan Jin sendirian..."

Setelah kejadian itu, butuh waktu lama bagi Youngjae untuk menjadi histeris. Berbulan-bulan dia diam hingga akhirnya bom waktu meledak. Youngjae menangis dalam diam dengam lembaran tisu pemberian Daehyun di tangannya.

Dan malam ini, disaksikan sepasang mata Daehyun yang mengintip dari kacamata tebalnya, Youngjae terlelap dalam air mata. Dia lelah menangis hingga dia tertidur pulas di atas kasurnya.

"Hei, izinkan aku menjagamu."

Manik itu menerawang langit malam dari balik tirai tipis yang bergerak tertiup angin. Begitu kosong, tak ada kilat kehidupan. Pemuda itu juga tersenyum entah pada siapa. Tak ada siapapun di luar sana.

"Hei."

Kepalanya bergerak ketika merasa di panggil. Daniel mendekati pemuda berambut segelap malam itu dan berjongkok di depannya. Meraih tangan pemuda itu lalu menggenggam tangannya seerat mungkin. Pemuda itu berjengit aneh, mata kucingnya seakan tidak mengenali sosok bersurai madu di hadapannya.

"Siapa?" tanyanya lembut.

Daniel tersenyum lembut, mengusap jemari dingin itu dengan jempolnya perlahan.

「✔」DaeJae☆He and His PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang