.12

396 82 12
                                    

Jadi kedatangan Daehyun ke Seoul tengah malam itu bukanlah tanpa alasan yang pasti. Setelah bertengkar—tepatnya berdebat—dengan Kakek dan Daniel kemarin malam, Daehyun langsung berlari ke kamarnya untuk mengambil tas dan pergi keluar tanpa pamit. Ya, buat apa dia pamit? Toh, perhatian semua orang kini hanya tertuju pada Seongwoo dan Seongwoo seorang. Pura-pura lemah, padahal sudah menghancurkan seluruh kebahagiaan Daehyun.

Ah, Tidak.

Daehyun masih punya sumber kebahagiaan lain. Pemuda yang sekarang dia coba untuk sembuhkan phobianya, Yoo Youngjae yang kini berada di rumahnya di Seoul. Tanpa pikir panjang, Daehyun berlari memanggil taksi lalu melesat menuju stasiun kereta di Busan dan memesan tiket menuju Seoul. Mumpung belum terlalu malam—masih sekitar pukul sembilan waktu dia pergi—dan kereta yang dia pesan sampai di tujuan sekitar pukul sebelas-setengah dua belas malam. Daehyun menyempatkan untuk makan ramyeon instan sambil menunggu Youngjae yang akan menjemputnya.

Sebenarnya, Daehyun juga tidak menyangka kalau Youngjae akan benar-benar menjemputnya tengah malam begini. Apalagi melihat Youngjae yang terkantuk-kantuk di dalam mobil, Daehyun jadi merasa bersalah karena telah mengganggu waktu tidur si manisnya itu. Hm, manisnya Daehyun. Dia juga tidak pernah berpikir kalau orang tua Youngjae akan menyambutnya dengan baik. Begitu turun dari mobil dengan Youngjae dalam gendongannya, Daehyun disambut oleh Ayah Youngjae yang tersenyum cerah dan menyuruh Daehyun untuk masuk ke dalam dan ikut tidur di kamar Youngjae—mereka tidak punya kamar tamu di rumah yang ini.

Keluarga Youngjae membesarkan anak mereka dengan baik. Sepasang orang tua yang selama ini Daehyun harapkan, tapi tak pernah diberikan. Tidak, Daehyun tidak iri melihat Youngjae yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang seperti itu, karena dia tahu kalau dalam kesempurnaan dalam diri Youngjae, terdapat luka dalam yang masih belum bisa tertutup. Phobianya.



Pagi ini Daehyun terbangun dengan suara yang tidak biasa. Ada tangan yang mengusap helai rambut hitam Daehyun dengan lembut, membuatnya ingin terbuai kembali ke alam mimpi. Tapi si pemilik tangan itu menyuruhnya untuk bangun dan itu terdengar seperti perintah mutlak di pendengarannya.

"Bangun, ya. Sudah hampir jam sembilan pagi."

Suara wanita itu terdengar lembut, begitu juga paras yang ditangkap dalam pengelihatan rabun Daehyun. Rambut panjang yang digelung berantakan, senyum lembut dan tangan kecil yang hangat. Mirip sentuhan sang ibu dulu.

"Maaf, ya. Bangunkan Youngjae juga."

"Ah, baik, Tan—"

"Ibu. Panggil aku Ibu saja," ujar wanita itu sebelum pergi keluar dari kamar Youngjae.

Daehyun mengerjap bingung sekali. Baru kali ini ada wanita yang baru dia kenal meminta agar dia memanggil dirinya Ibu. Biasanya, 'kan, wanita pasti bilang agar tidak dipanggil Ibu atau Tante karena akan berkesan kalau dia sudah tua. Tapi, tadi? Tadi wanita itu meminta untuk dipanggil Ibu. Daehyun benar-benar tidak mengerti wanita.

Meraba ke nakas di samping dan meraih kacamata bulatnya, setelah itu Daehyun membangunkan Youngjae yang masih terlelap di sampingnya. Si manis mengulet lucu di dalam selimut. Pagi itu memang agak dingin, sih. Perlahan Daehyun mengguncang tubuh Youngjae, tapi pemuda itu tak kunjung membuka mata. Daehyun langsung putar otak. Mendekatkan bibirnya ke telinga Youngjae, Daehyun membisikkan sesuatu yang entah apa itu dan dalam sekejap Youngjae langsung membuka mata lebar-lebar.

"Apa-apaan itu?!" Youngjae ingin berseru, tapi suaranya serak khas orang bangun tidur.

Daehyun hanya tertawa geli lalu turun dari ranjang dan menuju kamar mandi dalam kamar Youngjae untuk membasuh mukanya. Meninggalkan Youngjae yang masih mengantuk dengan wajahnya yang memerah karena bisikan Daehyun sebelumnya.

「✔」DaeJae☆He and His PhobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang