[13] Pertama

16.2K 1.7K 644
                                    

Dia melirik jam tangannya sekali lagi. Belum terlambat. Untungnya belum terlambat. Tapi langkahnya tetap dipercepat. Kalau terlambat hari ini, bisa diomeli habis-habisan dia. Satu-satunya perwakilan sekolah untuk lomba gugur karena alasan sesepele terlambat.

Dia pikir langkahnya udah yang paling cepat sekarang, sampai terdengar suara grasah-grusuh dari belakangnya. Belum juga menoleh, cewek yang lagi mengubek-ubek ransel besarnya lewat dengan langkah cepat. Kakinya yang pendek jelas dipaksa buat melangkah selebar mungkin. Kadang desahan frustrasi keluar dari bibir mungilnya, disusul lari kecil.

"Mati gue. PR Pak Bambang belom dikerjain dan sekarang malah hampir telat. Bego! Bego! Bisa-bisanya bangun telat."

Umpatan cewek itu terdengar selaras dengan mukanya yang mengerut. Tangannya berkali-kali memukul kepala, lalu balik lagi sibuk dengan isi tasnya. Entah apa yang dicari, bahkan sampai nggak memperhatikan jalan dan tersandung. Isi ranselnya keluar sebagian, membuat umpatannya makin kencang. Dia berjongkok, memungut barang-barangnya dan memaki diri sendiri berulang-ulang.

Entah mau sampai kapan cewek itu menyalahkan diri sendiri, tapi semua kelihatan lucu baginya. Bahkan tanpa sadar sejak tadi dia tersenyum melihat tingkah cewek itu. Mungkin dia melakukan kesalahan, tapi dia juga nggak sadar kalau udah mengerahkan usaha terbaik. Kalau aja dia nggak menyalahkan diri sendiri, mungkin kesalahan lain nggak akan tercipta.

Selesai membereskan barang-barangnya, cewek itu segera berlari. Nggak ada lagi waktu buat memaksa kaki pendeknya melangkah cepat. Nggak butuh waktu lama, dia udah sampai di depan sekolah yang juga dituju cewek itu. Begitu sampai, dia melihat cewek itu lagi mengobrol dengan cowok berpenampilan rapi, selayaknya anak teladan sekolah.

"Lo ngapain ke sini?" tanya si cowok rapi dengan muka bingung.

"Sekolah lah. Sepayah-payahnya, gue nggak pernah sampai dikeluarin sekolah," sewot cewek kaki pendek tadi.

"Hari ini libur kali. Lo mah bener-bener deh, nggak pernah merhatiin apa-apa ya di sekolah?"

Cewek itu kelihatan nggak percaya. "Jangan bikin catatan bolos gue nambah, deh. Kalo libur lo ngapain di sini. Mau bohong nggak kira-kira."

"Hari ini libur karena lomba, dan gue salah satu peserta." Cowok itu menaikkan dagu, sok, atau mungkin memang benaran sombong.

Mendengar penjelasan temannya, cewek itu mengembuskan napas kencang-kencang lalu menunduk dalam. Ekspresinya persis kayak tentara kalah perang. "Ilang udah hari indah gue buat bangun siang."

"Nggak apa-apa. Anggap aja olahraga," jawab cowok rapi itu sambil mengangkat ransel besar cewek itu lalu mengempaskannya kencang-kencang.

"YA! Berat tau!" Kening cewek itu mengerut. Bibirnya yang tipis jadi kelihatan tebal karena manyun.

Begitulah Reksa mengenang gimana pertama kali dia ketemu Bora. Gimana ekspresifnya cewek itu, bikin semua orang bisa ikut merasakan apa yang dia rasain, cuma dengan ngeliat tingkah lakunya. Dan gimana dia sengaja ambil jalan memutar pas pulang sekolah tiap hari, cuma buat lewat di depan sekolah Bora dan ngeliat cewek itu. Mungkin selama ini dia bingung kenapa terus bersikap nyebelin ke Bora, tapi sekarang dia paham. Sejak dulu, dia iri sama si cowok rapi yang bisa bikin Bora nunjukin ekspresi kesal yang selucu itu.

***

Bora meniup poninya sekali lagi. Dia udah sengaja ajak Anka dan Andin datang sejam lebih cepat biar bisa tenang, tapi nyatanya nggak sama sekali. Dia malah makin tegang mikirin siapa lagi yang bakal datang, atau mungkin nggak akan bertambah lagi selain Akas. Seniornya yang satu itu memang benar-benar idaman. Udah sejak kemarin dia ingatin Bora tentang hari pertama ekskul ini dan juga datang lebih cepat buat siapin semuanya.

DRAMA [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang