[30] Harapan itu Ada

11.7K 1.4K 388
                                    

Kaki Bora terasa lemas. Sejak kejadian di sekolah tadi dia nggak terpikir buat ke mana-mana. Bahkan omongan dan ajakan Akas pun nggak ditanggapi. Langkahnya cuma terus dipacu sampai berhenti di depan kamar rawat mamanya. Dia melongok lewat kaca. Mamanya masih tertidur.

Bora duduk di kursi tunggu depan kamar rawat. Perlahan wajahnya dibenamkan di telapak tangan. Lo cuma harus bahagia, Bor Kecil. Entah kenapa omongan Reksa itu jadi terus terngiang-ngiang. Ekspresi sayu cowok itu membuat pandangannya ikut mengabur. Bukannya ini hasil dari jawaban dia sendiri? Tapi kenapa sekarang dia malah merasa kayak ada yang hilang? Bora mengerang frustrasi. Dia sama sekali nggak bisa mengerti perasaannya sendiri sekarang.

Napas yang dihelanya dalam-dalam dan diembuskan perlahan sejak tadi nggak berhasil bikin Bora membaik. Dia menyenderkan kepala ke dinding di belakangnya. Perlahan, kepalanya mulai mengetuk-ngetuk di sana. Irama ketukan yang perlahan itu makin lama makin kencang. Rasanya semua membaik dengan kayak gini. Siapa tahu dengan begini, semua masalah di otaknya bisa menghilang tiba-tiba.

"Kak." Bora langsung membuka mata begitu mendengar suara anak kecil yang menepuk-nepuk lututnya pelan. "Jangan begitu, nanti kepala Kakak sakit kayak aku," ujar anak kecil itu sambil memegang kepalanya yang diperban. Senyum Bora mengembang perlahan.

"Ini buat Kakak." Anak kecil itu menaruh beberapa permen di tangan Bora. "Aku nggak boleh makan ini, tapi mungkin Kakak boleh. Jadi kayaknya lebih berguna di Kakak. Jangan kayak gitu lagi ya, Kak. Kasihan kepala Kakak."

Bora menatap permen di tangannya dan anak kecil yang baru aja berlalu itu. Andai dunia dipenuhi sama orang yang sifatnya kayak anak-anak, pasti akan lebih damai. Tanpa sadar tangan Bora terangkat lalu mengelus kepalanya pelan. Kadang yang dimiliki tanpa perjuangan bikin kita lupa bersyukur dan berusaha menjaga sebaik mungkin. Dia jadi merasa bersalah sama anak kecil tadi.

"Baik, Dek. Aku nggak akan kayak gitu lagi," jawabnya pada anak kecil yang udah berlalu jauh. Atau mungkin lebih tepatnya pada dirinya sendiri.

Bora memasukkan permen yang dikasih anak kecil tadi ke saku, dan mengeluarkan ponsel sebagai gantinya. Dia membuka Whatsapp dan menemukan chat yang belum juga dibaca ayahnya. Setelah sekian lama bergeming, tangannya akhirnya menekan tombol panggil. Nada sambung kembali terdengar, membuat Bora berharap lagi. Tapi nyatanya, kenyataan masih juga nggak mau mengikuti keinginannya.

"Pa ..." Bora berseru pelan saat akhirnya memutuskan untuk menekan tombol rekam di layar chat-nya. "Aku nggak tahu kapan Papa baru akan baca chat-chat yang aku kirim. Aku juga nggak tahu kapan Papa baru akan dengar voice note ini, tapi aku mau Papa tahu, aku pengin Papa pulang." Bora berhenti cukup lama, sedangkan tangannya masih menekan tombol rekam. Perasaannya yang campur aduk bikin dia butuh waktu lumayan lama, bahkan cuma buat menghela napas.

"Aku kangen Papa." Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulut Bora. Matanya udah mulai terasa panas. "Walau selama ini kita nggak banyak interaksi, tapi aku kangen Papa. Papa pulang, ya. Kita semua butuh Papa." Bora udah nggak bisa lagi menahan diri. Pundaknya bergetar. Air matanya mulai menetes dan nggak mau berhenti. Ponselnya dibekap erat, seolah itu adalah keluarga yang pengin dia peluk saat ini.

***

Rana membuka mata dan menemukan Bora yang ketiduran di pinggir ranjangnya. Tangannya terangkat pelan dan mengatung di udara. Setelah sekian lama, dia kembali mengepalkan tangannya. Apa dia pantas mengelus kepala anaknya, sedangkan berada dalam jarak sedekat itu aja baru kali ini? Apa dia masih bisa mengakui dirinya sebagai ibu? Dia nggak yakin.

Menoleh sedikit, Rana bisa melihat ponsel Bora tergeletak di samping anaknya. Dia mengambil ponsel itu dan yang terpampang di layar adalah ruang chat Bora dan Teddy. Perlahan, Rana membaca tiap pesan yang Bora kirim ke ayahnya. Mata Rana mulai terasa perih. Dia nggak pernah tahu seberapa terlukanya Bora karena sikapnya dan Teddy selama ini.

DRAMA [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang