[29] Lo Cuma Harus Bahagia

11.9K 1.4K 507
                                    

Papan pengumuman itu membuatnya mengembuskan napas berat. Tangannya mengepal keras. Matanya menatap tajam. Nggak semua usaha yang udah dilakukan semaksimal mungkin selaras sama hasilnya. Dia udah belajar semalaman, menyicil dari jauh-jauh hari, tapi hasilnya tetap nggak sempurna.

"Dia yang nilainya paling tinggi, ya?" Dia mendengar orang-orang di sekitarnya berbisik sambil melirik ke arahnya.

"Selalu kali. Masih aja ditanya." Temannya menanggapi dengan malas.

Memang, dia udah terkenal sebagai anak paling pintar seangkatan. Nilainya selalu paling tinggi. Semua orang tahu itu. Tapi kali ini papan nilai di depannya membuatnya kesal. Peringkat sebagai siswa paling pintar dengan nilai paling tinggi masih dipegangnya, tapi nilainya menurun. Nggak lagi sempurna kayak biasanya.

"Gue bakal diomelin nyokap nih kalo begini."

"Sama. Astaga ..." Orang di sampingnya menepuk jidat.

Dia mendengarkan semua percakapan di sekitarnya dengan saksama. Nggak kayak anak-anak lain, orangtuanya nggak akan pernah marah dengan hasil apa pun yang dia dapat. Kalau pun gagal, dalam lomba misalnya, orangtuanya akan bilang nggak apa-apa. Mereka udah bangga karena anaknya dipilih sama sekolah buat jadi wakil. Itu tandanya dia udah jari murid terbaik.

Tapi justru hal kayak gitu yang bikin dia sebal kalau nilainya turun. Nggak bisa kasih yang terbaik, walau orangtuanya mungkin nggak mengharapkan apa-apa bikin dia kecewa sama diri sendiri. Obsesi pribadinya buat selalu sempurna dan jadi yang terbaik itu yang bikin dia susah sendiri. Kayak sekarang.

Nggak ada yang pernah mengajarkan dia buat jadi kayak gitu, tapi kepribadiannya terbentuk sendiri. Walau orangtuanya mau ngomong apa pun, hatinya tetap kesal dengan hasil yang dia lihat sekarang. Penyesalan-penyesalan tetap datang, walau setelah dipikir-pikir, sebenarnya nggak ada yang bisa disesalkan.

Dia melangkahkan kakinya dengan lambat, perlahan menjauhi gerbang sekolahnya. Tanpa sadar kakinya melangkah ke depan sekolah cewek itu. Mungkin ini udah jadi ritualnya, selalu ambil jalan memutar, padahal ada jalan pintas. Melihat cewek itu dan segala tingkahnya kayak udah jadi kebiasaan tersendiri baginya. Bikin lebih semangat. Apalagi di keadaan kayak sekarang.

"Senyum, dong. Ya ... ya ..." Cewek itu nyengir lebar sambil mengedip-ngedip di depan temannya yang kelihatan lesu.

Temannya mengembuskan napas berat. "Lo masih aja bisa nyengir kayak gitu. Nggak takut sama nilai?"

Cewek itu manyun tapi tersenyum kecil. Lesung pipit kecil di ujung bibirnya mengintip. "Ya ... harusnya emang gue yang mikirin nilai banget sampai frustrasi, bukan lo. Nilai lo tuh udah tinggi banget, Ka."

"Tapi nggak kayak biasa. Nilai gue turun, nih."

"Turunnya juga cuma dikit, kan." Cewek itu mundur selangkah lalu memegang pundak temannya. "Lo itu nggak harus selalu sempurna, Ka. Yang penting tuh udah usaha semaksimal mungkin. Kayak gue, gue juga udah usaha maksimal banget. Gue nggak santai-santai doang, kok. Gue belajar banget sampe bergadang bahkan. Tapi ya ... kemampuan otak gue emang cuma segini. Gue aja bersyukur bisa dapet nilai pas. Lo yang lebih tinggi dari gue harusnya nggak frustrasi gini. Yang penting tuh bukan hasil, tapi proses, Ka. Kalo lo dapet nilai 100 semua tapi stres, ya buat apa. Ya nggak?"

Cewek itu menaik-naikkan alisnya. Kelihatan kayak lagi main-main, padahal omongannya benar banget. Temannya menghela napas dalam sekali lagi, tapi akhirnya tersenyum karena cewek itu menunjukkan berbagai ekspresi aneh. Memajukan bibir sambil menaik-naikkan alis, menjulingkan mata, sampai menyelipkan lidah di balik gigi depan sampai mulutnya kelihatan penuh banget.

"Nah gitu dong, senyum. Yuk! Gue traktir es krim, deh." Cewek itu merangkul temannya lalu pergi dari sana.

Ingatan itu tiba-tiba melintas di otak Reksa begitu dia memikirkan omongan Akas tadi. Jauhin Bora .... Akas nggak pernah tahu gimana berartinya cewek mungil itu bagi dia. Walau bukan ditujukan buatnya, tapi omongan dan senyum Bora saat itu berhasil bikin Reksa semangat lagi. Bahkan sampai sekarang, semuanya jadi terasa lebih enteng karena dia nggak lagi fokus sama hasil, tapi proses.

Napasnya terasa makin berat. Setelah sekian lama mengagumi senyum itu, apa sekarang saatnya dia berhenti?

***

Bel pulang baru aja terdengar. Pundak Reksa langsung melemas. Kali ini, bel pulang jadi hal yang paling nggak dia tunggu. Matanya terus menatap Bora dari belakang sampai cewek itu berdiri. Tanpa sadar dia ikut berdiri dan jalan keluar. Sepanjang koridor, yang dia lakukan cuma mengikuti cewek itu tanpa memalingkan pandangan.

"Gue tunggu lo di lapangan." Reksa menoleh dan menemukan Akas yang berlalu begitu aja.

Nggak ada alasan buat nolak Kak Akas. Dia senior, bukan, cowok paling baik yang pernah gue kenal. Dia selalu ada buat bantuin gue, kasih perhatian dan omongin semua yang mau gue dengar.

Jawaban Bora saat Karin menanyakan tentang Akas yang menyatakan perasaan padanya terus terngiang-ngiang di telinga Reksa. Memang benar, nggak ada alasan buat nolak cowok kayak Akas. Dia tipe idaman. Baik, perhatian, terkenal. Dia juga tahu cara menghibur orang yang lagi sedih, nggak kayak Reksa.

Langkah Reksa makin berat, tapi tetap harus dipaksakan. Begitu sampai di lapangan, dia baru sadar kalau banyak orang yang berkumpul di pinggir. Mungkin keberadaan mereka berdua di tengah lapangan tepat habis pulang sekolah terlalu menarik perhatian. Reksa mengedarkan pandangan dan menemukan Bora juga ada di pinggir kiri.

"Lo udah siap?" Akas bertanya, tapi belum juga Reksa jawab, cowok itu udah berjalan mengambil bola basket di ujung lapangan.

Reksa menatap Bora sekali lagi. Nggak ada senyum di wajah mungilnya, padahal Reksa pengin lihat itu. Walau bukan buat dia, Reksa pengin senyum ceria itu tetap ada di sana.

Akas kembali dengan bola basket di tangannya. "Yang cetak tiga duluan ..."

"Dia terlalu berharga buat dijadiin taruhan kayak gini." Reksa memotong omongan Akas. Dari awal Akas mengusulkan tantangan ini, Reksa udah nggak setuju.

"Apa gue ganggu lo?" tanya Reksa akhirnya. Dia nggak tahan terus-terusan bingung dari tadi.

"Iya," jawab Bora terlalu singkat. Matanya masih kelihatan marah. "Lo selalu ganggu gue. Sejak ketemu lo, hidup gue nggak pernah tenang. Lo selalu ngerjain gue, dan itu bikin gue capek banget. Bahkan pas gue lagi sedih pun lo masih begitu. Apa lo nggak bisa tenang kalo nggak ganggu gue?"

"Jadi kalau gue menjauh, lo bakal bahagia?"

Ada jeda cukup lama setelahnya. Reksa masih terus menatap Bora, berharap kata iya nggak akan keluar dari mulut cewek itu. Bahkan dengan jawaban mungkin pun, dia akan berjuang. Tapi harapan Reksa pupus ketika Bora jawab iya sambil berbalik dan terus melangkah pergi.

Omongan Bora itu cukup buat Reksa bikin keputusan. Tangannya mengepal keras. Tadinya dia udah yakin, tapi sekarang semuanya mulai melemah. Pilihan kali ini mungkin yang terberat yang pernah diambilnya.

"Kalau emang dia milih lo, gue bakal mundur," ujar Reksa lemah. Dia nggak pernah menyangka omongan itu akan keluar dari mulutnya. Matanya memejam sebentar, lalu menatap Akas tajam. "Tapi jangan pernah lo sakitin dia."

Akas tersenyum miring setelah mendengar omongan Reksa. Andai dulu dia juga ngomong kayak gini.

Perlahan, Reksa melangkah menuju Bora. Dia berhenti tepat beberapa langkah di depan cewek itu dan menatapnya dalam-dalam. "Lo cuma harus bahagia, Bor Kecil."

Dan setelahnya, cowok itu pergi tanpa berbalik. Entah kenapa ada rasa sakit saat Bora mendengar suara lembut Reksa dan punggungnya yang terus menjauh.

_____________________________________________

Bukan hasil yang kalian harapkan, tapi ini keputusan Reksa. Dia cuma pengin Bor Kecil-nya bahagia, walau artinya dia harus menjauh. Tapi apa iya Bora beneran pengin kayak gitu?

Udah, nggak bisa ngomong banyak tentang part ini. Semoga kalian masih sabar sampai ending 🙏

Hari ini satu part aja ya updatenya, mari kita patah hati bersama Reksa 😭

Ditunggu vote, komen dan sarannya.

junabei

DRAMA [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang