Bora masuk ke kelasnya dengan langkah lebar-lebar. Tubuhnya diempas kencang ke kursi di belakang, sampai menimbulkan suara yang membuat anak-anak yang tersisa di kelas menoleh ke arahnya. Kedua tangannya menangkup wajahnya yang kecil. Beberapa kali dia menghela napas dan mengembuskannya kencang. Dia kesal. Kesal pada dirinya sendiri yang nggak bisa mengontrol emosi dan malah bikin Anka sedih. Penyesalan terbesar di hidupnya mungkin kejadian tadi, apalagi saat melihat Anka berbalik dengan punggung lemas dan mata mengembeng.
Harusnya dia bisa cari kata yang lebih baik. Harusnya dia bisa mengontrol emosi. Harusnya dia mikir dulu sebelum ngomong. Harusnya dia bisa mengerti Anka dan menenangkan sahabatnya itu. Tapi kenyataannya, yang Bora lakukan malah hal sebaliknya. Sahabat macam apa dia, malah menambah kesedihan Anka saat cewek itu butuh banget dihibur.
"Lo kenapa, Yong?"
Bora menoleh dan menemukan Andin udah duduk di sebelahnya. Sekali lagi dia menghela napas sebelum menjawab. Membicarakan kesalahan, apalagi yang menimbulkan penyesalan nggak pernah gampang. Dan Bora butuh kekuatan lebih buat itu sekarang. "Gue sahabat yang payah. Gue jahat, Ndin."
Kening Andin mengerut. Baru kali ini dia lihat Bora frustrasi dan nyalahin diri sendiri kayak gini. "Emang lo ngapain? Coba cerita yang jelas, jangan sepotong-sepotong."
Pelan-pelan, Bora ceritain kejadian tadi ke Andin. Dia memastikan nggak ada satu pun yang kelewat, biar Andin benar-benar bisa mengerti. "Jadi pas di SMP, Anka juga pernah diginiin?" tanya Andin dengan nada tinggi. Dia mungkin nggak tahu jelas rasanya ada di posisi Anka, tapi mengalami hal kayak gitu dua kali udah pasti sama sekali nggak menyenangkan.
Bora mengangguk lemah. "Gue nggak ngerti apa yang salah sama Anka sampai dia harus difitnah tentang hal kayak gini dua kali, sama geng sejenis pula. Dia pasti sedih banget, Ndin, tapi gue malah bikin dia tambah sedih." Bora kembali membenamkan wajah di kedua tangannya.
Andin yang melihat itu cuma bisa mengelus-elus pundak Bora. Dia mungkin nggak bisa kasih solusi, tapi seenggaknya dia bisa kasih penghiburan dan semangat buat Bora. Walau dia sendiri nggak terlalu yakin semangat macam begini ada gunanya dalam situasi yang lagi dihadapi Bora.
"Lo lemas banget kayaknya. Nih, minum dulu." Reksa meletakkan gelas plastik yang sampingnya penuh dengan serpihan hitam. "Udah nggak banyak sih, tapi lumayan lah."
Bora melirik gelas plastik yang ada di depannya dan makin merasa bersalah. Gimana nggak, perhatiannya gampang aja teralih gara-gara Dancow Oreo di depan sana, padahal sedetik sebelumnya dia masih galau mikirin Anka. Maaf, Anka.
Bora meraih gelas plastik itu dan menyedot seteguk lalu mengernyit. "Ini kan air putih!"
"Ya emang. Nggak ada yang bilang itu Dancow Oreo, kan. Gue cuma bilang minum dulu. Emang air putih nggak bisa diminum?" tanya Reksa santai.
Bora mengerang kesal. Dia nggak tahu apa memang dia yang terlalu polos buat terus kejebak sama keisengan Reksa, atau si nyebelin ini yang kurang kerjaan. Selalu ganggu dia, bahkan pas dia lagi galau kayak gini. "Lo kenapa sih nyebelin banget?! Selalu aja ganggu!"
Melihat itu Reksa malah tertawa kecil. Misinya berhasil. "Ini baru Bor Kecil yang gue kenal."
"Nggak usah sok kenal sama gue! Kenal apaan, tiap ketemu aja kerjaan lo cuma ngisengin!"
"Jadi maksudnya lo mau kita saling kenal lebih dalam?" Reksa mengangkat-angkat alisnya.
"Aaaa! Molla molla! Mendingan lo pergi, deh. Jangan ganggu gue!" Bora berteriak. Tangannya bergerak cepat seolah mengacak-acak barang. Untung di depannya lagi nggak ada apa-apa. Kalau ada mungkin bisa hancur karena dia berantakin.
KAMU SEDANG MEMBACA
DRAMA [Sudah Terbit]
Teen Fiction[Sudah Terbit] DRAMA "Bangun, pilih gue yang nyata ada buat lo!" Jadwal update: SENIN & KAMIS __________________________________________________________ Merasa kesepian dalam keluarga, Bora selalu bayangin hidupnya sempurna kayak di drama Korea. Mak...