[25] Luka Serupa

11.8K 1.4K 222
                                    

Bora sampai di rumah sakit dengan napas tersengal-sengal. Kakinya berlari cepat menyusuri rumah sakit besar ini. "Permisi ... Ibu Rana Yovita ada di mana, ya?" tanyanya pada orang yang duduk di belakang meja informasi.

"Ibu Rana tadi ada di ruang UGD dan sekarang sedang dioperasi."

Omongan perawat itu seolah merampas semua udara yang ada di sekitar Bora. Kakinya terpaku di lantai yang dia injak. Selama beberapa saat, dia cuma bisa mematung. Tadi dia berlari secepat mungkin ke sini tanpa pikiran apa-apa. Yang dia harapkan cuma mamanya baik-baik aja, tapi kenyataannya sekarang mamanya malah lagi dioperasi.

"Mamaku ... kenapa?" tanya Bora lemas.

"Tadi beliau dibawa ke sini dengan luka kepala. Setelah dilakukan CT scan, ternyata ada perdarahan otak sedikit, tapi ada pembengkakan otak hebat. Makanya sekarang sedang dijalankan operasi untuk pengangkatan darah."

Bora kembali terdiam. Dia sama sekali nggak mengerti apa yang perawat itu omongin. Perdarahan otak, pembengkakan, pengangkatan darah. Benar-benar nggak ada satu pun yang dia mengerti. Buat pelajaran biasa aja otaknya susah menerima, apalagi omongan kayak gitu. Intinya dia sama sekali nggak tahu gimana keadaan mamanya sekarang.

"Oh ya ... ini punya papa kamu?" Perawat itu mengulurkan KTP ke depan Bora.

Papa ... "Lalu sekarang papa saya di mana?"

Perawat itu menggeleng. "Tadi habis tanda tangan surat persetujuan operasi dan kasih nomor HP kamu, beliau langsung pergi. Bahkan KTP-nya aja ketinggalan. Mungkin beliau lagi buru-buru, makanya minta saya hubungi kamu."

Buru-buru ke mana? Bora nggak mengerti sama sekali. Kalau tadi ayahnya yang membawa mamanya ke sini, kenapa sekarang dia malah pergi? Dia bahkan nggak ngomong apa-apa, dan suruh perawat itu telepon Bora. Semua pertanyaan dan kejadian itu bikin kepala Bora sakit banget. Kakinya yang mulai goyang bikin dia cepat-cepat cari tempat duduk.

Bora menarik napas dalam-dalam dan mencoba berpikir jernih, tapi nggak ada satu pun yang masuk akal baginya sekarang. Entah sadar atau nggak, tangannya meraih ponsel yang ada di tas. Refleks dia menekan tombol panggil pas melihat nama Merry di layar ponselnya. Harusnya Anka, kan? Tapi dia nggak yakin apa dia pantas mengeluh ke cewek itu sekarang.

Kepalanya yang berat disandarkan ke tembok. Matanya memejam, berharap semuanya bisa berlalu gitu aja, atau klisenya, ini semua cuma mimpi. Tapi dia tahu banget, itu nggak mungkin. Apalagi dengan suara berisik di sekitar yang begitu nyata. Terlalu nyata buat sekadar mimpi. Juga terlalu buruk.

"Bora ..." Panggilan itu bikin Bora tersadar. Merry dan Reksa datang nggak lama setelah ditelepon tadi. Dan bertepatan dengan itu, pintu ruang operasi dibuka. Bora yang tadinya lemas langsung berdiri tegak dan menatap dokter di depannya was-was.

"Operasinya lancar. Kita tinggal tunggu pasien sadar untuk observasi lanjutan." Omongan dokter itu bikin Bora menarik napas lega. Seenggaknya sekarang mamanya udah berhasil melewati hal sulit. Observasi lanjutan itu pasti nggak susah buat orang sekuat mamanya. Bora yakin itu.

"Rana ..." bisik Merry pas melihat mama Bora didorong keluar ruangan oleh beberapa perawat.

"Tante kenal mama?" tanya Bora refleks.

Merry mengangguk. "Kami teman lama. Sempat hilang kontak. Nggak nyangka bisa ketemu lagi sekarang, walau keadaannya nggak bagus."

Bora mengangguk-angguk. Benar-benar kebetulan yang aneh, tapi bagus. Mamanya beruntung bisa punya teman sebaik Merry. Bora berniat mengikuti brankar yang membawa mamanya ke ruang rawat inap, tapi Merry lebih dulu menghentikannya. "Kamu pulang dulu, ya."

"Aku harus jagain mama, Tante."

"Paling nggak, kamu harus ganti baju kalau mau jagain mama kamu, Sayang. Biar Reksa antar kamu pulang dan nanti baru balik lagi, ya. Tante yang akan jaga di sini. Tenang aja."

DRAMA [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang