[31] Takut Kehilangan

12.8K 1.4K 525
                                    

Anka melihat Bora dari seberang. Cewek itu kelihatan udah lebih baik dari kemarin. Jalannya udah tegak. Mukanya juga udah kelihatan ada senyum, walau belum selebar biasanya. Seenggaknya Anka bisa sedikit tenang sekarang. Entah gimana kabar Bora akhir-akhir ini. Apa yang terjadi sama cewek itu. Anka cuma bisa menebak-nebak dan perhatiin dari jauh, kayak sekarang.

Yang Anka tahu pasti, kemarin Reksa dan Akas hampir tanding basket di lapangan habis pulang sekolah. Dari gosip yang beredar sih, itu buat rebutin Bora. Entah sumber gosipnya dari mana, tapi kalau benar, itu pasti merepotkan juga buat Bora. Anka sendiri nggak pernah nyangka kalau dua cowok itu bakal benaran memperebutkan Bora, bahkan sampai tanding basket kayak gitu. Tapi yang dia masih nggak mengerti, kenapa Reksa malah tiba-tiba pergi, bahkan sebelum pertandingannya dimulai.

Dari seberang, Bora menoleh. Refleks, Anka menunduk, menyembunyikan mukanya dalam-dalam. Rasa bersalah masih bergelayut di hatinya, apalagi kalau ingat gimana muka sedih Bora pas tahu masalah dia dan Danny. Sampai sekarang Anka masih nyesal karena nggak cerita sama Bora, tapi sayangnya, penyesalan yang datang itu suka ditimpa lagi sama rasa nggak layak setelahnya. Bikin keinginan buat jujur kembali urung.

"Kalau nyesel kamu harusnya minta maaf, Ka, bukannya cuma ngeliatin dia dari jauh gini."

Anka tahu pasti suara siapa itu, makanya dia nggak noleh. Bisa-bisanya pula cowok itu datang dan langsung ngomongin apa yang lagi Anka pikirin dalam hati. Nggak mungkin dia bisa baca pikiran, kan? Anka nggak berniat merespons. Gimana pun, Danny ada peran dalam pertengkaran dia sama Bora. Kalau aja cowok itu nggak datang lagi, pasti itu nggak akan terjadi. Anka menghela napas. Dia tahu pikirannya barusan salah. Dia cuma lagi cari objek buat melimpahkan penyesalannya, dan itu Danny. Padahal dia sendiri sadar, kalau semua kesalahan asalnya dari dia. Walau Danny nggak datang, kalau dia jujur sama Bora, semua juga nggak akan kejadian.

"Sekali lagi, aku mau minta maaf, Ka," ujar Danny sebelum Anka sempat beranjak.

Rasanya Anka mulai muak mendengar kata itu. Apa Danny nggak punya kata-kata lain selain itu, sampai hampir tiap kali ketemu, cowok itu harus banget ngomong begitu. Anka menghela napas. Andai dia juga punya stok keberanian sebanyak Danny buat mengucapkan kata itu, dia mungkin nggak akan cuma memperhatikan Bora dari jauh kayak sekarang.

"Aku minta maaf karena udah nyuruh kamu ngelakuin semuanya tapi malah ninggalin kamu gitu aja. Aku pengecut, Ka. Maaf karena orang yang suka sama kamu itu pengecut."

Anka memejam erat-erat. Sial! Semua yang pengin dia lupain malah terputar lagi sekarang di ingatannya gara-gara omongan Danny barusan. Cowok itu nggak tahu apa kalau nggak ada bagusnya membahas masa lalu, apalagi kalau itu kenangan pahit yang harusnya dilupain. Anka nggak peduli. Dia nggak boleh peduli. Akhirnya dia memilih melangkah pergi.

"Aku minta maaf terus biar bisa maafin diri sendiri, Ka. Dan kamu juga harus kayak gitu. Jangan hidup dalam penyesalan, Ka. Minta maaf sama Bora dan baikan kalau emang kamu ngerasa salah sama dia. Kamu juga perlu maafin diri sendiri, Ka. Kita perlu."

Lagi, omongan Danny bikin Anka mematung. Entah sejak kapan cowok itu belajar baca pikiran, tapi omongannya dari tadi selalu tepat sasaran. Dia tahu dia harus minta maaf sama Bora, tapi perasaan kalau dia nggak pantas dimaafin juga segitu gede. Dia nggak pantas menyebut diri sebagai sahabat ketika nggak cerita semuanya, apalagi sampai bikin Bora kecewa.

Anka kembali melanjutkan langkahnya. Walau omongan Danny benar, dia masih belum punya keberanian buat itu. Entah kapan, tapi dia harap secepatnya, karena dia juga nggak tahan nggak komunikasi sama Bora kayak gini.

Langkah Anka otomatis melambat ketika melihat Rama dan gengnya dari arah berlawanan. Satu lagi masalahnya, dia harus menghadapi orang-orang yang merepotkan itu. Dulu dia kalah pas SMP, tapi sekarang dia pengin menang melawan orang-orang kayak gitu. Dia nggak boleh lemah lagi, dia tahu, tapi hatinya masih juga nggak kuat.

DRAMA [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang