[34] Gantungan Kunci

11.5K 1.3K 243
                                    

Begitu turun dari bus, Bora langsung berlari menuju satu tempat. Rumah Akas. Dia yakin banget kalau ingatannya nggak salah. Dia pernah lihat gantungan kunci yang sama persis kayak yang dia pegang itu di genggaman Tyas, waktu dia menemani cewek itu di taman.

Beruntung pas Bora baru sampai di taman yang mereka datangi waktu itu, dia melihat Tyas dan Bi Nah. Tanpa pikir panjang, Bora langsung lari menghampiri mereka. "Hai, Tyas. Halo, Bi," sapa Bora sambil nyengir lebar. "Bi, aku boleh ya bawa Tyas ke suatu tempat?" Bora nggak bisa basa-basi lebih lama. Kalau ditunda terus yang ada dia keburu lupa, apalagi kalau udah mulai ngobrol, bisa keterusan.

"Ke mana, Non? Non Tyas nggak boleh pergi jauh-jauh."

"Cuma ke sekolah Tyas dulu, kok, Bi, nggak akan lama." Lagi-lagi Bora nyengir lebar.

Bi Nah menimbang-nimbang sebentar. Harusnya sih Tyas nggak boleh dibawa pergi sama orang lain, tapi dia percaya Bora itu nggak akan macam-macam, anaknya kelihatan polos banget. Lagi pula Bora temannya Akas, yang udah dua kali dibawa ke rumah. Artinya mereka dekat banget karena Akas nggak pernah bawa siapa pun ke rumah. "Tapi jangan lama-lama, ya, Non."

Bora mengangkat tangannya sejajar alis, memberi hormat ala militer lalu mengambil alih kursi roda Tyas. Dia nggak tahu apa yang dia lakukan kali ini benar atau nggak, dan akan bikin Akas emosi atau nggak, tapi dia mau usaha. Hasil urusan belakangan.

"Kabar kamu gimana, Tyas?" Bora memulai percakapan, walau dia tahu Tyas nggak pernah jawab, tapi pasti cewek itu mendengar dengan baik semua yang ada di sekelilingnya.

"Kak Akas itu kakak yang baik banget, kan? Dia peduli banget sama kamu." Lagi, Bora ngomong, walau Tyas nggak menanggapi sedikit pun.

Ketika mereka sampai di tempat tujuan, Bora berpindah ke depan Tyas. Dia melihat tangan cewek itu mengepal makin kencang, walau tatapannya masih kosong. Perlahan, Tyas mulai menarik napas. Dalam banget dan diembuskannya pun pelan-pelan. Pasti berat bagi cewek ini buat balik ke tempat yang sekian lama nggak dia datangi, tapi menyimpan banyak kenangan.

Tyas melihat sekolah yang dulu selalu dia datangi tiap hari. Nggak ada yang berubah, kecuali kehadirannya dan cowok itu. Sekolah sekarang udah sepi. Semua murid pasti udah pulang. Tapi kenangan itu datang. Waktu cowok itu menunggu dia di depan gerbang. Sekolah mereka sebelahan dan cowok itu selalu melakukannya tiap hari sampai tanpa sadar bikin Tyas selalu menunggu bel pulang.

Mereka yang dulu sering ketawa bareng. Cowok itu yang dulu suka mengambil fotonya diam-diam di segala kesempatan. Tyas selalu cantik, kata cowok itu, yang selalu berhasil bikin dia tersipu. Dan gimana cowok itu selalu membantunya melakukan apa pun yang susah buat dia lakukan sendiri, sesederhana mengambilkan barang yang jatuh, misalnya. Semua itu masih terekam jelas di ingatan Tyas. Dan mungkin semuanya masih bakal baik-baik aja, andai dia nggak pernah dengar kata-kata itu.

Bora berjongkok di depan Tyas. Matanya menatap cewek itu dalam-dalam. "Kamu berhak bahagia, Tyas. Keluarga kamu juga. Mereka sayang banget sama kamu, dan pasti sedih banget ngeliat kamu terus-terusan kayak gini. Makanya kamu harus bangkit, Tyas. Semangat lagi buat hidup kamu. Aku minta maaf atas nama orang itu." Ragu-ragu, Bora mengulurkan gantungan kunci yang dari tadi dia genggam. Dia harap yang dilakukannya kali ini benar.

Mata Tyas membesar. Napasnya ditahan tanpa sadar. "Itu ...." Walau pelan banget, Bora bisa dengar suara Tyas. Akhirnya cewek ini ngomong lagi!

Bora mengangguk-angguk semangat sambil tersenyum lebar. Dia nggak menyangka kalau gantungan kunci ini berpengaruh sebegitu besar buat Tyas sampai akhirnya cewek itu bisa mengeluarkan suaranya lagi. "Aku ..."

"Kamu ngapain bawa Tyas ke sini?!" Omongan Bora barusan nggak selesai karena Akas tiba-tiba datang dan menariknya berdiri. Dia meringis karena genggaman Akas di lengannya terlalu kencang. "Jangan pernah bawa Tyas ke mana-mana tanpa izin dulu sama aku!" Suara Akas makin meninggi, dan genggamannya makin kencang.

DRAMA [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang