Bagian 3

9 1 0
                                    


Sastra berjalan perlahan menyusuri lorong kelas. Pundaknya nampak keberatan mencangklong tas punggungnya yang overload. Dilihatnya dari arah berlawanan, segerombolan cewek pengacau tengah menghampirinya.

Bruk!

Segerombolan cewek itu dengan teratur mengumpulkan berbagai macam buku tugas ketangan Sastra.

"Semua tugas dibuku-buku itu harus selesai besok pagi!" hardik seorang cewek berparas judes memerintah Sastra. Setelah itu dia mengkode sekutunya untuk beranjak pergi.

Sastra menghela napas panjang. Ia berjalan menapaki lorong kelas dengan terkekeh-kekeh. Ia berusaha menyeimbangkan badannya agar buku-buku ditangannya tidak jatuh berantakan. Tapi mendadak angin berhembus dengan kencang menerpa tubuhnya. Telinganya berdenging, dan suara-suara aneh itu menggema lagi ditelinganya. Ia menjatuhkan semua buku yang dari tadi dipegangnya, kemudian ia menutup kedua daun telinganya rapat-rapat.

Sekawan sekar batharine mandhala

Jumeneng ing agrane janaloka

Kapapate nyangga nyawa

Kawitane pejah, sakmenika gesang

Kagem mbinasakna angkara murka

Kata-kata itu terus terngiang-ngiang ditelinganya. Semakin lama suara itu semakin lantang terdengar. Sastra tak kuat lagi, ia jatuh bersimpuh dengan masih menutup kedua telinganya rapat-rapat. Jantungnya berdetak dengan kencang dan peluh keringat seakan mengucur deras dari kepalanya.

Sementara itu teman-teman satu sekolahnya menertawakan tingkah anehnya itu. Mereka mengerumuninya hingga membuatnya sesak. Mereka terus menertawainya tanpa tahu apa yang dialaminya sebenarnya. Pandangan Sastra seperti berputar-putar, suara-suara aneh itu seakan bersatu dengan suara tawa teman-temannya yang membahana memenuhi seluruh penjuru lorong kelas ini. Sastra berusaha bangkit dan segera melarikan diri dari semua yang baru saja dialaminya. Ia berlari melewati barisan pasang mata yang menatapnya dengan aneh.

***


Sorenya...

Alira berlari disekitar pesisir pantai. Ia sedang berkejar-kejaran dengan adik perempuan semata wayangnya. Hari yang semakin senja tak dihiraukannya. Mereka berdua tetap asyik bermain kejar-kejaran. Sampai akhirnya Ananta, adiknya Alira menjatuhkan dirinya di pasir pantai.

"Ananta?" panggil Alira khawatir.

"Aku capek," ucap Ananta sembari merebahkan tubuh kecilnya dipasir pantai.

Alira tersenyum lega, kemudian ia ikut merebahkan tubuhnya didekat Ananta. Mereka terdiam beberapa saat mengagumi langit yang bermega dan suara gemuruh ombak yang berkejar-kejaran.

"Sebenarnya, surga itu dimana?" tanya Ananta memecah keheningan.

Alira terkejut mendengar pertanyaan adiknya yang tiba-tiba, kemudian ia memandang wajah polos adiknya lekat-lekat. "Kenapa ayah dan ibu pergi meninggalkan kita, kak?... Kenapa mereka harus pergi ke surga?..."

"Ta,"

"Aku merindukan mereka... Aku ingin cepat-cepat pergi ke surga agar dapat bertemu ayah dan ibu... aku,"

"Hush...!" desis Alira menyela kata-kata Ananta. Kemudian ia membaringkan kepala adiknya di lengannya. "Kamu nggak boleh ngomong kayak gitu lagi, ya...karena kamu nggak akan pergi kemana-mana,"

"Apa suatu hari nanti...kakak juga akan pergi meninggalkan aku?"

"Nggak, nggak akan.." tegas Alira sembari memeluk adiknya. "Kakak, akan terus berada disampingmu hingga kamu jadi gadis dewasa yang sangat cantik... Kakak janji...kakak nggak akan ninggalin kamu..." lanjut Alira dengan suara parau.

Sekawan SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang