Bagian 14

5 0 0
                                    

"Lihat!" seru Sastra seraya menunjuk ke arah yang dituju. "Seperti ada yang mengilap di kejauhan sana," tebaknya.

"Mana?" Alira mencari apa yang ditunjuk Sastra.

"Ha...sudahlah, mungkin itu hanya fatamorgana." Tukas Sastra mendesah.

Linggar dan Prasasti sama-sama ternganga melihat sekumpulan kristal es menjulang tinggi ke langit. Mereka berdua tak berkedip dan tercenung dengan apa yang dilihatnya.

"Apa tidak terlalu berlebihan?" ucap Linggar.

"Sepertinya begitu..." gumam Prasasti singkat.

Tanpa banyak berbasa-basi lagi Linggar lantas memejamkan kedua matanya dan memusatkan konsentrasinya ke satu titik. Perlahan namun pasti sepercik api mulai terlihat merambat di kedua tangannya. Lalu ia berlutut dan mendekap batang bambu itu erat. Sedangkan Prasasti melihat dengan seksama apa-apa yang dilakukan Linggar. Tanpa menunggu lama, api melilit batang bambu tersebut dan membuat bongkahan es yang menjulang tinggi ke langit sekonyong-konyong mencair dan mengguyur tubuh mereka hingga basah kuyub.

Prasasti mengibas-ngibaskan rambutnya sembari meringis kesal. Sedangkan Linggar tak menghiraukan tubuhnya yang basah kuyub, ia malah menyegerakan meneguk air dengan puas tapi, tangan Prasasti menyahut batang bambu itu dari tangannya dan mengerutkan dahi.

"Seharusnya aku yang minum duluan!" protes Prasasti keras seraya meneguk habis seluruh airnya. Kali ini Linggar tampak tenang dan tak menanggapi kata-kata Prasasti, ia cukup puas dengan rasa dahaganya yang telah sirna dan tak ingin mengomel yang akan membuat tenggorokannya kembali mengering.

Sastra dan Alira menghempaskan tubuh mereka masing-masing ke tanah menindih beberapa ilalang––diam dalam sunyi dan hanyut dalam senandung serangga yang mengikrik. Sastra memetik sejumput ilalang dan menerbangkannya ke udara, sementara itu tanpa ia sadari Alira menitikkan air matanya yang jatuh melewati ujung matanya. Mendadak ia teringat oleh bayangan adiknya yang tertawa riang kemudian berganti gambar menjadi api yang berkobar dan jeritan pedih adiknya yang menyebut namanya. Semua gambaran kepedihan yang bak puzzle tiba-tiba terangkai menjadi satu rintihan yang menjerit-jerit dan memekakan jiwanya. Namun sebuah sentuhan tepat di antara dahi dan pipinya membuatnya terhenyak dari lamunannya. Ia mendapati tangan lembut Sastra menyeka air matanya dan mulutnya hendak menyuarakan sesuatu.

"Kenapa kau menangis?" tanyanya lirih.

Alira menatap kedua mata Sastra sendu kemudian melemparkan pandangannya ke langit. "Aku teringat adikku," katanya dengan suara parau. "...gelak tawanya yang renyah, senyumnya yang lugu, suara cemprengnya yang memanggilku––kakak––tubuh mungilnya yang menari-nari bersama debur ombak..." suaranya tercekat. "Namun ternyata semua itu hanya sesaat... semua itu seperti mimpi buruk yang menjadi kenyataan paling mengerikan dalam hidupku... Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat tawanya berubah menjadi sebuah jeritan, teriakan, tangisan dan lolongan penderitaan...senyumnya pudar bersama nyala api yang merengut segalanya dariku... Tubuh kecilnya merintih menjadi abu bersama gemeletak kayu-kayu yang berdendang perih untuknya..." lanjutnya dengan derai air mata yang membuncah.

Sastra terdiam tak dapat berkata-kata, ia tertegun membayangkan betapa pedihnya kehilangan seseorang yang kita sayangi dengan cara yang mengerikan dan sadis tepat di depan mata kita. Matanya yang tadinya cerah meredup sedih atas apa yang dirasakan Alira, seakan-akan ia yang berada dalam posisinya. Ia tak dapat menakar rasa pedihnya membayangkan rasa kehilangan Alira namun, sepertinya rasa itu seperti menyesakan dadanya dan membuatnya terhanyut dalam haru biru kesedihan.


"Dimana aku?" tanya pangeran Tagalhaya. Dimana aku?––kalimat yang di ucapnya tadi bergema kembali. Ia mengerut keheranan melihat kesekelilingnya yang hanya berupa kaca yang memantulkan refleksi tubuhnya di keempat sisinya. Ternyata pantulan bayangannya di kaca adalah bukan dirinya melainkan ketiga pangeran Mahasatya lainnya yang sedang mengalami hal sama seperti yang di alaminya. Mereka berempat terkurung dalam ruang kaca yang tak berpintu dan melihat bayangannya sendiri dalam kaca.

Pangeran Athila membegarkan telapak tangannya hendak mengeluarkan pedang saktinya namun ternyata seluruh kekuatannya tak lagi berfungsi dalam ruangan kaca tersebut. Lain lagi dengan pangeran Jhawa, ia terlihat emosi dan mendobrak-dobrak kaca itu dengan arogan tetapi, kaca-kaca tersebut bukannya pecah malah seperti sungai yang terkena pukulan. Sedangkan Gegana terlihat tenang duduk bersila menghadap salah satu pantulan dirinya di kaca. Akhirnya keempat pangeran Mahasatya itu bersemedi dan melepaskan segala amarah yang menyelimuti mereka hingga batas waktu yang tidak mereka tahu.

Pekatnya malam mulai menyelimuti dunia, matahari telah tenggelam berganti bulan yang terangnya bak bohlam lampu bersama percikan sinar sang bintang. Prasasti menggigil kedinginan, tubuhnya terlihat berguncang hebat karena tak tahan oleh dingin malam yang menggigit. Sedangkan Linggar sibuk menggosok-gosokan kedua telapak tangannya dan sesekali meniup-niupnya. Sementara itu, Alira yang masih terisak-isak teringat adiknya berusaha keras menahan suara tangisnya yang hampir meledak dari Sastra yang terlelap di sampingnya. Namun walaupun seberapa keras Alira menyembunyikan riuh tangisnya, tetap saja Sastra yang pura-pura tak mendengarnya ikut terjaga olehnya. Walau mereka berdua tak saling bertatapan dan hanya punggung mereka yang saling berpandangan lama, toh, rasa simpati yang berbalut gengsi ingin rasanya berbaur. Tak lama kemudian, Sastra mengembuskan napas yakin dan segera berbalik melihat punggung Alira yang berguncang di atas hamparan ilalang, lalu ia duduk dan menengadah ke langit malam yang di penuhi bintang.

"Adikmu pasti bahagia di sana," celetuk Sastra berusaha membuat Alira lebih tegar––mendengar kata-katanya, Alira segera melayangkan pandangannya ke arah Sastra yang tertegun melihat langit malam. Ia bangkit dan ikut duduk sejajar dengan Sastra seraya menghapus air matanya. "...jauh dari tujuh lapisan langit malam ini, mungkin adikmu di sana sedang bersuka cita dalam nirwana... Jika di sini kau malah menangisinya...mungkin tawanya akan memudar melihat keresahanmu." Kata Sastra menghibur.

Alira mendongak ke langit dan pandangannya tertumbuk pada satu bintang, ia melihat seiris senyum Ananta di sana, dan lagi-lagi bulir air matanya jatuh namun, ujung-ujung jari Sastra segera menyekanya dengan lembut. Sesaat, potongan gambar itu seperti berhenti––mereka berdua saling bertatapan seolah-olah mata mereka tersadar bahwa esensi pencapaian suatu tujuan adalah kebersamaan yang melebur satu sama lain dan tak dapat berjalan sendiri-sendiri di atas rel kehidupan.

Sementara itu di tempat lain sepertinya dua insan yang tadinya penuh ego dan tak peduli satu sama lain kini juga mulai menyadari kesatuan di antara berbagai perbedaan yang mencolok dalam prinsip maupun hidup. Walau risih untuk mengakui, mereka sadar akan kelemahan masing-masing yang tak dapat di tanggung sendiri oleh satu orang. Kini bukan lagi asas pemanfaatan yang di aplikasikan namun, kesadaran akan sifat hakiki seorang manusia yang saling bergantung satu sama lain.

Linggar menggosok-gosok kedua telapak tangannya dengan keras hingga rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya, kemudian ia meraih kedua tangan Prasasti yang sedingin es dan menggenggamnya kuat-kuat. Sontak Prasasti terkejut dengan sikap Linggar tetapi, ia mulai merasakan rasa hangat merayap perlahan-lahan ke seluruh darahnya dan menepis rasa dingin yang hampir membuatnya beku seketika.

Tak berapa lama kemudian, tubuh mereka berempat terpental jauh satu sama lain. Tubuh mereka terbang seperti dedaunan yang gugur di malam pekat terbawa kekuatan yang begitu dahsyat bersama teriakan mereka yang nyaring. Kedua tangan mereka membentang tanpa mereka perintah dan sesat kemudian masing-masing kekuatan mereka membuncah. Linggar dengan apinya, Alira dengan airnya, Sastra dengan anginnya dan Prasasti dengan kristal esnya.

Tubuh mereka semakin lama terbang semakin tinggi di udara hingga keempatnya bertemu di udara membentuk sebuah formasi melingkar dengan keempat elemen kekuatan yang bertautan satu sama lain––tubuh mereka berputar cepat bagai roda sampai yang terlihat hanya keempat cahaya yang berbeda-beda menari-nari di langit malam yang hitam, kemudian menukik tajam ke bumi dan saat masing-masing kaki mereka mencapai daratan, seketika itu juga seluruh hamparan ilalang terhempas tak tersisa bagai sebuah nuklir yang ledakannya mampu menghabiskan bangunan dan alam walau bermil-mil jauhnya. Mereka berdiri di sisi-sisi yang berbeda mengelilingi sebuah telaga yang didalamnya terbagi empat elemen, yaitu api, es, angin dan air. Mereka berempat terperangah melihat keajaiban tersebut, belum sempat mereka menikmati lebih lama––keempat elemen yang memenuhi telaga itu melesat ke langit dan saling bertautan. Setelah itu entah mengapa mereka berempat terpisah tempat dengan masing-masing seting yang berbeda-beda seperti slideshow yang berganti-ganti.

Sekawan SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang