Bagian 4

7 1 0
                                    

Sastra berjalan pelan menuju kelas, saat ia hampir melewati pintu kelas, Mouren dan kawan-kawannya menahannya. Mereka membanting tubuh Sastra ke tembok dengan keras.

"Mana buku tugas kami?" tanya Mouren ketus.

Sastra tak menjawabnya, ia hanya diam membisu melihat sepasang bola mata Mouren yang melotot.

"Jangan bilang kamu belum ngerjain tugas-tugas kami?" tanya Mouren melanjutkan.

Sastra tak menjawab pertanyaannya.

"Brengsek! Kamu mau mempermainkan aku, ya?... kalau sampai tugas itu belum kamu kerjain..." Mouren mencengkeram leher Sastra. "...jangan harap kamu bisa melihat dunia besok pagi..." ancam Mouren dengan memperkuat cengkeramannya. Sementara itu teman-temannya malah tertawa puas melihat Sastra berjuang untuk melepaskan tangan Mouren dari lehernya.

Sastra menggelinjang berontak, napasnya tercekik dan dadanya seperti terbakar. Tangannya masih berusaha melepaskan cengkeraman Mouren, sedangkan pandangannya mulai kabur. Kerongkongannya seperti retak menahan cengkeraman Mouren yang begitu kuat. Telinganya mendengung mendengar tawa mereka yang membahana. Saat ia hampir pingsan tiba-tiba sebuah kekuatan membimbingnya melepaskan diri dari Mouren. Sastra menendang perut Mouren hingga ia jatuh terduduk di lantai. Setelah itu ia menarik napas panjang dan terbatuk-batuk. Sastra mengelus-elus lehernya yang kesakitan dan berusaha menghirup udara dengan bebas.

Mouren bangkit dengan bantuan teman-temannya. Ia masih meringis kesakitan disekitar perutnya.

"Kurang ajar!" umpat Mouren. "Hajar dia!" perintah Mouren kepada teman-temannya.

Sastra segera mengambil langkah seribu sebelum Mouren dan teman-temannya berhasil menangkapnya. Ia berlari dengan cepat menyusuri lorong-lorong kelas. Saat beberapa teman laki-laki Mouren hampir meraih tas punggungnya, Sastra berusaha keras berlari lebih cepat dari mereka.

***


"Kakaaaaaaaaaaaaaaaaaaak!!!" teriak Ananta memanggil Alira. Ia terjebak didalam gubuk mereka yang dibakar oleh Pasukan Raja Asura.

"Anantaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!!" pekik Alira histeris. Air matanya membanjiri pipinya, ia tak kuasa melihat adiknya terjebak didalam kobar api. Berkali-kali ia mencoba menerobos api tetapi Mbah Tuhu dan beberapa penduduk menghalanginya.

"Ananataaaaaaa!!!" pekiknya sekali lagi saat ia melihat adiknya terbakar hidup-hidup. Adiknya terlihat meronta kesakitan dan berkali-kali memanggil namanya.

"Kakak!... Kakak!... Kakak!..." panggil adiknya di tengah kobaran api yang membumbung tinggi. Setelah beberapa saat suara jerit tangis adiknya tak lagi terdengar.

"Anantaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!! Jangan tinggalkan aku!!! Anantaaaaaaaaa...!" teriak Alira dengan lantang. Ia menangis menjadi-jadi mengetahui tubuh kecil adiknya telah menjadi abu. Tubuhnya seperti terhempas ombak dan terkoyak melihat kenyataan itu.

Mbah Tuhu berusaha menenangkannya dan membawa Alira ke tepi pantai. Dibiarkannya Alira menumpahkan air matanya di bahu rentahnya.

"Nduk...kamu musti pergi dari desa ini," ucap Mbah Tuhu pelan.

"Tapi, Mbah.."

Mbah Tuhu menggetikkan jarinya. Kemudian entah darimana, sebuah percikan sinar seperti memancar.

"Wis...turuti apa kata-kataku... Takdirmu bukan di sini..." Mbah Tuhu menarik Alira untuk naik ke sebuah sampan kayu. "...sampan ini akan membawamu ke takdir yang sudah lama menunggumu..." lanjut Mbah Tuhu sembari perlahan-lahan melepaskan jari-jemari Alira yang memegangi tangannya.

Sekawan SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang