Bagian 6

6 1 0
                                    

Alira masih tertunduk menangis, ia terus menitikkan air mata sepanjang perjalanan. Kemudian setelah beberapa lama akhirnya ia menggosok-gosok kedua matanya yang sembab dengan perlahan, setelah itu ia terbelalak shock saat ia tak sedang mengarungi samudra. Sampan kayu yang mengantarnya berhenti di sebuah telaga yang jernih.

"Mmm, Pak..." panggilnya kepada si pendayung sampan, tetapi tak ada sahutan. "Pak," panggilnya sekali lagi.

Alira melonjak terkejut saat tak mendapati pendayung sampan itu berada di belakangnya, ia keheranan dan tak tahu menahu di mana ia berada sekarang. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru namun tak seorang pun berada di sana. Telaga itu tampak sunyi senyap, dan yang terdengar hanya kicauan burung-burung yang bersenandung merdu.

Di sana-sini terlihat pohon-pohon dengan dedaunannya yang hijau muda, sedangkan bebatuan berserak indah di sekitarnya.

Alira masih celingukan dan keheranan kenapa ia bisa sampai di tempat ini? Kemudian ia mendayung sampannya ke tepian, setelah itu ia beranjak dari sana dan menapaki rerumputan yang terhampar luas. Dengan mata yang masih menelanjangi pemandangan di sekitarnya ia menelusuri jalan itu hingga sampai di sebuah hutan dengan jutaan pohon-pohon yang menjulang tinggi.

Tanpa sepengetahuan Alira tiba-tiba air telaga yang tenang itu bergemuruh, lalu muncul sosok seseorang dalam bentuk air yang meliuk-liuk.

"Engkau akan menemukan jalanmu tepat di persimpangan, dan percayalah sesungguhnya ia tak akan membawa celaka namun ia akan menuntunmu berjalan di mana seharusnya engkau melangkah..." ucap sosok seseorang itu kemudian ia kembali lumer bersatu dengan air telaga.

Berkali-kali Alira harus menepis semak belukar yang menjuntai tak beraturan, dengan sabar ia menapaki jalan selangkah demi selangkah, terkadang ia harus meringis kesakitan karena kakinya tersayat oleh ranting atau semak belukar yang tajam.

"Sebenarnya tempat apa ini? Kenapa tiba-tiba aku berada di sini? Kenapa pula pendayung itu menghilang?" gumamnya sendirian.

ZRAAAAAAKS!!!

Sebuah kilatan cahaya terang tiba-tiba menumbangkan semua semak belukar dan membuat Alira terkejut seketika.

"Siapa kau?" suara seorang lelaki menggelegar.

Alira tercenung dan tak dapat berkata-kata.

"Penyusup?" tanya pria itu yang ternyata adalah pangeran Jawha Mahasatya dari kerajaan Dewangkara itu.

Alira masih saja membisu.

Jawha mengibaskan tangannya kesal, dan dari telapak tangannya terlihat sebuah cahaya terang yang lama-kelamaan berubah menjadi pedang yang bertahtahkan emas dengan tulisan Sangsekerta yang menggeliat bagai naga yang murka.

CRAANG!!!

Jawha menghunuskan pedangnya tepat ke wajah Alira.

"Apa kau tuli?" seru Jawha dengan suara yang meninggi.

Alira tak bergeming, hanya air matanya yang merebak membanjiri kedua pipinya.

"Pengawal!!!" teriak Jawha. "Tangkap dia! Mungkin ia salah satu dari pelarian yang hendak menyusup ke Dewangkara," lanjutnya.

Sejurus dengan perintahnya, beberapa dari pengawalnya langsung melaksanakan perintah Jawha dengan sigap dan tanggap.

Alira tersadar, ia melonjak dan berontak saat tangan-tangan kekar para pengawal Jawha menyeretnya dengan kasar.

Sekawan SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang