Cahaya yang sempat menyilaukan itu lama-kelamaan mulai memudar. Mereka berdelapan segera menggosok-gosok mata mereka masing-masing dan terhenyak saat melihat di sekeliling mereka hanya terlihat warna putih.
Gegana menurunkan Sastra dari punggungnya dan terdiam memandangi dedaunan, rerumputan, burung-burung dan semak belukar yang berwarna putih bersih itu. Putik bunga yang berterbangan pun layaknya salju di bulan desember, begitu indah tak bernoda, semua tampak semakin nyata saat samar-samar terdengar suara alunan tembang yang riuh menyeruah ke seluruh penjuru. Bagai fanfar, semua hymne alam saling bergiliran menyuarakan irama keindahannya dengan liukan dan tarian dedaunan yang diiringi lengkingan nada sang burung gereja dan seolah tak mau ketinggalan, suara merdu gemericik air ikut menyambut mereka semua.
"Haaaaaaa!" pekik Sastra mengagetkan mereka yang tengah menelanjangi panorama yang tak bersudut itu.
Sastra segera menunjuk lututnya yang terluka lama-kelamaan membaik dalam hitungan detik. Tak dapat dipercaya namun semua itu nyata.
Linggar dengan tampang menyelidiki berjalan mendekati Sastra yang masih terheran-heran dengan keajaiban yang baru saja dialaminya. Ia berjongkok kemudian melihat lutut Sastra yang tadinya terluka. Ia menelusuri setiap bagian jenjang kakinya namun tak diketemukannya bekas memar, luka atau sayatan di sana.
"Bagaimana kau melakukannya?" tanya Linggar mencari tahu.
Sastra bergidik tak tahu.
Linggar masih tak percaya. Dengan masih menyelidiki ia menghujamkan pandangan tajam ke arah Sastra.
"Tunggu!" celetuk Prasasti mengejutkan. "Jangan-jangan..." Prasasti dengan tampang serius memandangi seluruh penjuru tempat aneh itu kemudian kedua matanya menyiratkan sesuatu yang penting telah ditemukannya. "Ya! Pasti begitu!"
Keempat pangeran Mahashatya, Alira, Linggar dan Sastra menunggu dengan penasaran tentang apa yang hendak diutarakan Prasasti.
"Kalian lihat hutan yang tampak tertimbun salju ini," ucap Prasasti sembari mengedarkan pandangannya melewati jutaan deretan pohon. "Tanah yang selembut kapas dan langit yang dipenuhi awan putih," lanjutnya sambil mendongak ke langit. "Semua ini pasti hanya kamuflase belaka... Tak herankah kalian semua mengapa kita dapat berada di sini?"
Alira, Linggar dan Sastra menggeleng-gelengkan kepala mereka bersamaan. Sedangkan keempat pangeran Mahashatya masih bingung dengan arah pembicaraan Prasasti yang bertele-tele.
"Kau!" seru Prasasti menunjuk Sastra.
Wuuuuuuuuuuuuuuuuuuuush...
Angin segar berhembus lirih.
"Aku?" ucap Sastra heran.
"Ya, kau... Kau si gadis berjarik abu-abu!"
Keempat pangeran Mahashatya, Alira dan Linggar memandang heran ke arah Sastra kemudian mata mereka tertumbuk pada lenggak-lenggok bibir Prasasti yang masih berusaha memberikan penjelasan.
"Semua kejadian-kejadian beruntun ini pasti ada hubungannya denganmu!"
"Ha?" Sastra melonjak terkejut.
"Lihatlah dia," pinta Prasasti kepada mereka. "Apa kalian tak merasa ia 'beda', 'aneh', dan..."
"Sudahlah! Tak bisakah kau mengakhirinya?" hardik Alira.
"Ha! Benar!" celetuk Prasasti tak menggubris. "Gara-gara dia hidup kita hampir berakhir tadi," cerocosnya lebih lanjut.
"Apa kau tidak bisa menutup mulutmu!" Hardik Linggar kesal.
"Kenapa juga aku harus menutup mulutku?" jawab Prasasti tak kalah geram. "Toh, apa yang kukatakan benar adanya... Apa kalian tidak sadar bahwa ia berusaha menjebak kita? Coba kalian ingat...tadi ia terjatuh tepat di saat mahkluk-mahkluk aneh itu hampir mendekat dan kita nyaris menjadi makan siang mereka!"
![](https://img.wattpad.com/cover/130241769-288-k95251.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekawan Sekar
FantasiaPrasasti berdiri ditengah-tengah rumput ilalang yang menjulang tinggi. Linggar berdiri di lereng gunung, Alira berdiri di sebuah bukit yang tinggi ditemani deburan ombak. Sedangkan Sastra berdiri di sebuah atap gedung. Mereka berempat berada ditempa...