Bagian 12

3 0 0
                                    

Fajar telah menyingsing, sinar mentari yang menghangat masuk melewati sekat-sekat ilalang emas. Angin berdesir lembut menerbangkan sebagian putik bunga yang masih mewangi di sepanjang jalan setapak hingga baunya menggelitik di hidung keempat gadis yang tengah terbaring lelap di atas tumpukan ilalang perak. Mereka menggeliat bersamaan dan terjaga seketika dengan masing-masing pasang mata mereka terbelalak heran.

"Di mana lagi kita?" tanya Prasasti sembari menyapu semua pemandangan yang hanya berisi dengan tumpukan ilalang perak.

"AAAA!!!" pekik Sastra mengejutkan. Sontak Alira, Prasasti dan Linggar melonjak kaget tak karuan. "Se..seragam...seragamku," lanjut Sastra terbata-bata dengan tampang yang syok melihat seragam yang dikenakannya berubah menjadi balutan kain putih sederhana serupa gaun malam tak bermotif namun berkesan lembut.

Alira, Prasasti dan Linggar melihat ke masing-masing tubuh mereka dan mendapati hal serupa dengan apa yang dikenakan Sastra. Berbeda dengan Sastra yang masih tak rela dengan apa yang dipakainya sekarang, mereka malah terlihat menikmati lembutnya kain sutra yang membalut erat tubuh mereka.

Wraaaaaaaaaaaaatz...!!!

Belum sempat mereka menikmati lembutnya kain sutra lebih lama, sebuah sapuan angin menyapu bersih tenda yang terbuat dari ilalang emas dan perak itu hingga bersih tanpa permisi.

"Selamat pagi." Ucap Tirta Alang yang muncul tiba-tiba di depan mereka. "Sudah waktunya kalian berendam." Lanjutnya.

"Berendam?!" seru mereka heran.

Tirta Alang menyembulkan senyuman yang tertutup oleh jenggotnya lalu perlahan-lahan tubuhnya memudar hilang dari pandangan dengan sekejap mata.

"Ikuti saja arah ilalang bergoyang hingga nantinya kalian akan menemukan sebuah telaga di balik bukit seberang... Jangan mengeluh agar langkah kaki kalian terasa ringan... Jangan saling memaki agar waktu tak terasa lebih lama... Jangan saling berpencar atau kalian akan tersesat dan ilalang tak lagi bergoyang..." suara Tirta Alang menggema di langit.

Prasasti, Linggar, Alira dan Sastra saling berpandang-pandangan lalu kedua pasang netra mereka tertumbuk pada ilalang yang bergoyang menunjuk ke satu arah.

"Dasar tua bangka!!!" maki Prasasti yang kesal karena kelelahan.

"Tutup mulutmu!!" bentak Linggar geram. "Ini semua gara-gara mulutmu yang tak henti-hentinya mengeluh dan memaki dari tadi!"

"Sudahlah, hentikan." Pinta Alira menengahi.

"Kenapa kau menyalahkanku? Tua bangka itu memang pantas untuk dimaki! Ilalang bergoyang? Omong kosong! Apa yang bisa dilakukan mereka dengan hanya menurut arah angin... Lihat saja, dari tadi yang kita lakukan hanya berjalan menyusuri lautan ilalang tanpa tahu arah tujuan kita," ucap Prasasti berkilah.

"Ya, dari tadi kita hanya berputar-putar tanpa tujuan...tapi itu semua karena siapa? Karena mulutmu yang bawel dan selalu mengeluh! Apa kau tidak ingat apa yang ia katakan? Jangan mengeluh atau mencaci agar langkah kita tak terasa berat dan waktu akan singkat... Lihat...karena keluhanmu itu semua jadi lebih berat!" bentak Linggar makin emosi.

"Kalian berdua...aku mohon hentikan. Jangan saling memaki lagi...cukup... Apa kalian tidak merasa lelah? Terik matahari sudah semakin menusuk dan angin tak lagi berdesir...kita akan kehilangan arah," Jelas Alira.

"Dan itu semua karena si bawel ini!" maki Linggar benar-benar di penghujung kesabarannya.

"Apa kau bilang!!" hardik Prasasti seraya menyambar rambut Linggar dan menariknya keras-keras. Walhasil Linggar jadi naik pitam dan akhirnya mereka berdua tak hanya beradu mulut namun serangan yang bersifat destruktif pun tak terelakkan lagi.

Sekawan SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang