Bagian 17

6 0 0
                                        


Buk! Buk! Buk! Buk!

Linggar, Alira, Prasasti dan Sastra melonjak terkejut karena tiba-tiba sepertinya ada sesuatu yang berat jatuh di belakang mereka. Mereka berempat segera berbalik dan mendapati keempat pangeran Mahasatya yang bertelanjang dada mendarat dengan empuk di belakang mereka. Empat pangeran itu tertunduk hening dengan kaki kiri yang berlutut sedangkan telapak kaki kanan menahan tumpuan dan tangan kanan yang mengepal ke tanah. Sejenak suasana begitu sunyi hingga hanya rintihan dahan-dahan kering yang bergemeletak terdengar ringkih. Jari-jari kekar mereka dirayapi oleh sesuatu seperti tinta hitam yang pekat, tinta itu menghiasi dengan merayap melewati kedua sisi tangan sampai ke garis punggung dan meninggalkan bekas––seperti tato yang meliuk-liuk indah. Kemudian setengah badan mereka yang telanjang di balut tidak teratur dengan sesuatu menyerupai perban berwarna hitam mengilat, sementara itu, dari balik pundak mereka yang lebar muncul sebuah sayap hitam yang membentang lebar hingga satu sama lain saling bersentuhan. Lalu dari kepalanya menetes tinta hitam itu lagi dan merayap di sekitar dahinya membentuk sebuah gambaran serupa mahkota yang terbuat dari akar-akaran kayu––masing-masing kedua bola mata mereka menyoklat terang.

"Bangunlah," pinta Tirta Alang kepada keempat pangeran Mahasatya. Tanpa ba bi bu lagi, empat pangeran tersebut segera bangkit dan berdiri tegap menghadap Alira, Sastra, Linggar dan Prasasti yang dari tadi terdiam takjub.

Pangeran Gegana menatap tajam ke arah Sastra yang juga sedang hanyut dalam bola matanya. Mereka saling berpandangan lama mengacuhkan segala sesuatu yang ada di dekat mereka, kemudian suara deheman Tirta Alang menyadarkan mereka kembali pada alam sadar mereka.

"Dengarkan aku empat pangeran Mahasatya," seru Tirta Alang tegas. "kalian kini adalah seorang dewa penjaga Sekawan Sekar...yang akan mendampingi masing-masing dari mereka menuju kerajaan Strakhta..."

Keempat pangeran Mahasatya terlihat serius mendengarkan petunjuk Tirta Alang kemudian sesekali melihat ke arah empat gadis rupawan yang sekarang mereka sebut sebagai Sekawan Sekar.

"Kau, Tagalhaya––kau adalah dewa penjaga Alira...sedangkan kau, Athila––kau adalah dewa penjaga Prasasti... Kau, Jawha...kau adalah dewa penjaga Linggar. Dan kau Gegana...kau adalah dewa penjaga Sastra." Terang Tirta Alang satu persatu sembari menunjuk mereka satu persatu.

Sekawan Sekar dan keempat pangeran Mahasatya saling bertukar pandang satu sama lain, kemudian keempat pangeran Mahasatya itu mencondongkan tubuh mereka ke depan setengah membungkuk memberi penghormatan.

"Hormat saya para dewi." Ucap keempat pangeran Mahasatya kompak.

Alira, Linggar, Prasasti dan Sastra syok karena empat pangeran Mahasatya yang kini menjadi dewa penjaga mereka memanggil mereka dengan sebutan–– dewi.

"Ulurkan tangan kalian." Perintah Tirta Alang kepada Sekawan Sekar.

Tanpa menunggu lama, Prasasti, Alira, Sastra dan Linggar pun mengulurkan tangan mereka memenuhi perintah Tirta Alang. Saat tangan mereka telah terulur ke depan, empat buah bola cahaya melayang di depan mereka masing-masing kemudian dengan ajaib berubah menjadi sebuah perangkat senjata.

Alira dengan sigap segera menangkap Cakra Amerta. Sastra dengan cekatan meraih pedang Jagad Bayunya. Prasasti tanpa menunggu lama mencengkeram Tombak Segara Esnya dan Linggar langsung meraih busur Meru Agninya. Setelah itu terdengar suara tanah yang berderak-derak dan langit mendadak mendung. Sontak Sekawan Sekar dan keempat pangeran Mahasatya terhenyak melihat langit yang tadinya berwarna cerah itu kini berubah menjadi kelam dan seperti air lautan yang berjalan. Semua bergumam dan menerka-nerka apa yang tengah terjadi sebenarnya sampai akhirnya Tirta Alang mengeluarkan suara yang terdengar berat.

Sekawan SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang