Bagian 5

6 1 0
                                    

Tubuh Sastra terus bergulat dengan angin yang menyelimutinya, kemudian bunyi berdebum keras menggema di telinganya.

Oh, Tuhan...hancur, tubuhku hancur... Aku mati... pikirnya dalam hati dengan masih memejamkan mata rapat-rapat.

Sastra merasakan tubuhnya terbaring di atas sesuatu yang lembab dan menjuntai-juntai panjang. Dengan perlahan tapi pasti ia membuka matanya, ia memicingkannya lalu melihat tubuhnya terjerembab di sebuah hamparan rumput yang luas. Ia kemudian bangkit dan membersihkan tubuhnya dari lumpur yang menempel, lalu segera mengedarkan pandangannya ke seluruh pelosok hamparan rumput yang hijau itu.

Di mana aku? Surgakah? Atau apalah, tapi yang jelas aku tak tahu tempat apa ini...yang terlihat hanya hamparan rerumputan yang luas. Yang aku ingat beberapa waktu yang lalu Mouren dan sekutunya membuatku terpojok dan tiba-tiba hembusan angin yang kencang membuatku terjungkal dari atap gedung sekolahku, dan...seharusnya tubuhku kini berdarah-darah di pelataran gedung sekolahku... Anehnya lagi...aku bahkan tak merasakan sakit apapun di tubuhku... Apa semua ini hanya mimpi? Atau...

Sastra menggosok-gosok kedua matanya kemudian melemparkan pandangannya ke belakang, dan seketika itu kedua matanya terbelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya di sana. Sepasukan orang dengan dandanan bak kesatria dan lengkap dengan senjatanya tengah bersiap-siap melesatkan beribu-ribu anak panah ke arahnya.

Pandangan Sastra tertumbuk di sana, kakinya serasa kaku tak mau bergerak dari tempatnya, tubuhnya berpeluh dan jantungnya berdetak kencang. Sementara itu otaknya masih mencerna dan bertanya-tanya apa yang dilihatnya sekarang hanya mimpi, kamuflase, fatamorgana atau kenyataan yang konyol ?

"Wahai, engkau utusan Raja Asura bersiaplah menerima hukuman dari Mahadewa yang murka akan ulah Rajamu yang laknat!" seru seorang pria yang tinggi besar, berambut ikal seleher dengan sorot mata yang tajam itu tegas. Dengan masih duduk di pelana kudanya ia melambaikan tangannya, memerintahkan pasukannya melesatkan anak panahnya.

"Raja Asura? Mahadewa?" tanya Sastra tak tahu menahu, tetapi beribu anak panah terlanjut lepas dari busurnya dan tengah terbang ke arahnya dengan kecepatan yang dahsyat.

Sastra segera membentengi wajahnya dengan kedua tangannya dan tiba-tiba angin mengitarinya dan lama-kelamaan angin itu membentuk seperti pusaran yang berputar cepat hingga terdengar suara 'ngiiiiiiiiiing' yang menusuk gendang telinga, kemudian angin itu melahap semua anak panah dan melesatkannya kembali ke arah bala pasukan itu dengan cepat. Kontan gerombolan pasukan dengan dandanan bak abdi-abdi kerajaan itu terjungkal dan terpelanting jauh. Sedangkan seorang yang menunggangi seekor kuda itu terlihat bertambah murka.

Sedangkan Sastra masih tak tahu dengan apa yang dialaminya, ia menatap kedua sorot mata pangeran berkuda itu mengiba.

"Kau memang kejam layaknya Tuanmu!" maki pangeran yang bernama Gegana Mahashatya itu sembari mengangkat pedangnya. Pedang yang semula nampak biasa tetapi kemudian tiba-tiba memancarkan cahaya yang begitu silau dan tampak sebuah kilatan emas dengan tulisan Sangsekerta yang menggeliat bagai naga.

Sastra mundur teratur dengan masih tercenung oleh semua yang terjadi.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAA...!!!" teriak Gegana mengumpulkan semua kekuatan, kemudian kudanya berlari kencang mendekati Sastra. Ia mengangkat pedangnya menjuntai ke langit, terlihat sebuah kilatan emas menyelimuti pedangnya kemudian ia hendak mengibaskan pedangnya ke tubuh Sastra yang berdiri kaku di sana, tetapi mendadak semua angin dari segala penjuru alam seperti berkumpul dan membentengi tubuh Sastra dari sabetan pedangnya.

Sastra memejamkan matanya rapat-rapat, ia bahkan tak melihat bahwa hembusan angin yang begitu dahsyat menghujam tubuh Gegana, angin itu berputar hebat menusuk tubuhnya seperti belati hingga ia terpelanting dari pelana kudanya dan jatuh tersungkur di rumput dengan keras.

Sekawan SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang