Bagian 2

16 1 0
                                    

Prasasti berdiri ditengah-tengah rumput ilalang yang menjulang tinggi. Linggar berdiri di lereng gunung, Alira berdiri di sebuah bukit yang tinggi ditemani deburan ombak. Sedangkan Sastra berdiri di sebuah atap gedung. Mereka berempat berada ditempat yang berbeda-beda namun keempatnya sama-sama menatap matahari terbit. Mereka begitu khusuk melihat matahari sedikit demi sedikit menampakkan wajahnya.



Sekawan sekar batharine mandhala

Jumeneng ing agrane janaloka

Kapapate nyangga nyawa

Kawitane pejah, sakmenika gesang

Kagem mbinasakna angkara murka


(Empat bunga dewinya bumi

Berdiri di puncak dunia

Keempatnya menopang nyawa

Dulu mati, sekarang hidup kembali

Untuk membinasakan angkara murka)

Kata-kata itu tiba-tiba menggema ditelinga mereka masing-masing, dan suara itu makin lama makin memekakkan telinga. Mereka berempat menutup kedua telinga masing-masing, tapi suara itu makin mengeras. Langit seperti bergemuruh dan bumi nampak berguncang. Suara-suara itu makin menggelegar di telinga hingga membuat mereka berempat kesakitan.

"Sasti!" pekik Satya dari kejauhan.

Prasasti tak menggubrisnya, ia tetap tertegun melihat matahari.

"Sasti!" panggil Satya sekali lagi. Kemudian ia berjalan dengan gontai menghampiri Prasasti yang dari tadi tak mendengarnya.

"Sasti..."

"Sekawan sekar batharine mandhala," gumam Prasasti dengan tetap memandangi matahari.

"Sasti!" panggil Satya sembari mengguncang-guncang pundak Prasasti.

"Jumeneng ing agrane janaloka..."

"Sasti!!!" pekik Satya dengan nada yang meninggi.

Prasasti melonjak kaget, ia tersadar. Napasnya memburu dan pandangannya tak terarah.

Satya memandangi cewek berkulit sawo matang, berambut hitam panjang dan memiliki tubuh yang tinggi semampai itu dengan seksama.

"Ada apa?" tanya Prasasti kebingungan.

"Apa?... Ada apa?..."

Prasasti mengangguk pelan.

"Aku mencarimu semalaman, dan sekarang kamu bertanya padaku ada apa?... Sebenarnya apa yang kamu pikirkan, ha?"

"Semalam,"

"Baik. Anggap semalam itu hanya sebuah kesalahan... Aku mohon lupakan semuanya...anggap semua itu nggak pernah terjadi..."

Prasasti menatap lekat-lekat kedalam mata Satya.

"Aku tahu aku salah...karena itu maafkan aku,"

Prasasti melengos, mengalihkan pandangannya dari tatapan mata Satya.

"Dengar, aku dan Nila hanya.."

Plak!

Sebuah tamparan mendarat dipipi Satya.

"Nila,"

Plak!

Prasasti menampar pipi Satya sekali lagi.

"Nila.."

Plak!

Lagi-lagi sebuah tamparan mendarat dipipi Satya. Satya menarik napas dan berusaha menahan amarahnya.

Sekawan SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang