Beberapa lama kemudian suara-suara dan potongan-potongan gambar memilukan itu menghilang. Tubuh mereka yang melayang-layang terasa semakin berat. Dalam pelukan empat elemen, mereka meringkuk bagai seorang bayi di pangkuan sang ibu, kemudian dari masing-masing pundak mereka muncul seberkas cahaya terang yang menyilaukan. Tubuh mereka lalu melesat dari dalam telaga ke udara––dari punggung mereka perlahan-lahan muncul sayap yang mewakili masing-masing elemen mereka. Dari punggung Alira sebuah sayap air membentang ke udara dengan bebas. Sedangkan Linggar masih meringkuk dalam sayap apinya yang perlahan namun pasti membentang di kedua sisinya dengan warna merah yang menyala-nyala. Sementara itu, Prasasti berputar-putar dengan sayap kristal esnya yang seperti kaca––Sastra terbang ke langit dengan tubuhnya yang masih lemas, dari kejauhan ia terlihat seperti terpental-pental lalu tubuhnya menukik tajam hampir jatuh tapi, sebuah sayap angin menyelamatkannya. Sayap angin itu berkepak-kepak teratur hingga tubuh Sastra kembali stabil di atas udara.
Mereka berempat melonjak kaget melihat sayap-sayap ajaib itu mengepak-ngepak di kedua sisi punggung mereka tapi sekaligus takjub akan keindahannya. Mereka berpandangan satu sama lain dengan tatapan mata yang dingin tapi tak lama kemudian seulas senyuman menyembul dari bibir merah merah mereka.
Prasasti dengan lincah mencoba menari-nari di udara dengan sayap esnya, ia terbang ke sana sini kemudian menukik tajam ke bumi lalu terbang lagi ke langit tinggi. Sedangkan yang lainnya hanya memandangnya dengan senyuman kagum.
"Aku punya sayap!" pekik Prasasti yang masih bermain-main dengan sayap esnya di udara. "Aku bisa terbang!" serunya lagi bahagia. Alira, Linggar dan Sastra terkikik kemudian menghampiri Prasasti yang terbang semakin tinggi. Mereka berempat berkejar-kejaran di langit biru seperti capung yang hendak meraih matahari, lalu mereka terdiam saat sosok tua yang mereka kenal memandang mereka dari daratan. Tak menunggu lama, mereka segera menghampirinya. Sesampainya kaki mereka menapak tanah, sayap-sayap mereka menciut lalu menghilang di balik punggung.
"Perlu kalian ketahui," ucap Tirta Alang tegas. "dulu sebelum kalian...pernah ada tiga generasi Sekawan Sekar...yang dimana ketiga generasi tersebut telah tiada...mereka gagal untuk menyatukan keempat elemen dan membiarkan sifat individualisme mereka menguasai diri mereka...saat semuanya hampir hancur, mereka terlambat untuk menyadari bahwa menjadi satu lebih kuat daripada beribu-ribu kekuatan yang terpecah belah." Tirta Alang melihat mata mereka satu persatu. "kalian adalah generasi keempat atau lebih tepatnya yang terakhir dari Sekawan Sekar... Dengan keempat elemen kekuatan yang kalian miliki, kalian harus merebut pecahan Watu Mangsa dari raja Asura dan menghancurkan kerajaan Strakhta..."
"Watu Mangsa?" seru mereka bersamaan.
"Watu Mangsa adalah sebuah batu mustika yang memiliki kekuatan menguasai jaman... Jika raja Asura berhasil menguasai keempat pecahan terakhir dari batu tersebut, maka ia akan menghancurkan tatanan waktu dan jaman... setiap ia membaca mantra pemersatu batu tersebut, yaitu mantra Dunya...maka dalam hitungan keseribu...bumi akan berguncang hebat..." jelas Tirta Alang.
"Tapi, bagaimana bisa hanya dengan menggabungkan empat elemen kekuatan kami––kami dapat menghancurkan raja Asura dan merebut Watu Mangsa darinya?" tanya Linggar dengan keraguan yang ada di benaknya. "Sedangkan raja Asura memiliki beribu-ribu pasukan iblis yang kejam...kami––"
"Percayalah, jika keempat kekuatan kalian digabungkan maka raja Asura bukanlah tandingan kalian...tapi, masalahnya adalah...untuk mencapai suatu kesatuan kalian akan melawati jalan berliku dan berbagai macam godaan yang akan mempertanyakan eksistensi kebersamaan..." Tirta Alang meyakinkan. "Kalian hanya memiliki waktu tujuh hari atau tujuh ribu kali mantra Dunya...artinya satu hari adalah satu kesempatan kalian untuk menuju kerajaan Strakhta yang di lindungi oleh empat pangeran iblis dan labirin waktu yang tak terlihat."
"Labirin waktu?" tanya mereka kompak.
"Tantangan terberat kalian adalah sewaktu kalian melewati labirin waktu yang tak terlihat ini... Berhati-hatilah...saat kalian berada di dalamnya maka kalian dapat melompat jaman dan akan terpisah satu sama lain..." terang Tirta Alang memperingatkan. "Selama perjalanan...kalian akan di lindungi oleh empat pangeran Mahasatya yang akan menjadi dewa penjaga kalian bersama pasukannya," tambahnya.
Keempat pangeran Mahasatya tampak khusuk dalam meditasi mereka, kemudian mata mereka yang tadinya terpejam mulai terbuka perlahan-lahan. Mereka dengan terkejut memandang mulai ujung jari mereka yang seperti terkelupas. Satu persatu piranti dan serat-serat kain bajunya berserabutan menjadi benang-benang yang lepas dari tubuh mereka hingga mempertontonkan dada mereka yang bidang. Glug...glug...glug–––kaca-kaca yang memantulkan bayangan mereka berputar-putar bagai pusaran air yang deras dengan suara yang berisik. Melihat hal itu, keempat pangeran Mahasatya segera bangkit dan dengan ragu-ragu melayangkan tangannya mendekat ke pusaran tersebut. Saat jemari-jemari mereka menyentuhnya tiba-tiba pusaran kaca itu melilit tubuh mereka dan menyedot mereka ke dalamnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/130241769-288-k95251.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sekawan Sekar
FantasyPrasasti berdiri ditengah-tengah rumput ilalang yang menjulang tinggi. Linggar berdiri di lereng gunung, Alira berdiri di sebuah bukit yang tinggi ditemani deburan ombak. Sedangkan Sastra berdiri di sebuah atap gedung. Mereka berempat berada ditempa...