Ter-selip

45.4K 2.5K 377
                                    

Selama gue hidup, gue nggak pernah percaya sama yang namanya kebetulan. Tapi hari ini, hari yang cerah namun mendung ini, gue mendeklarasikan diri bahwa gue, Galaksi Bimasakti, untuk yang kesekian kali, gue masih tidak percaya dengan kebetulan. Hari ini, hari yang panas tapi berangin ini, gue lebih suka menyebutnya dengan kesialan, daripada kebetulan.

Tadi pagi gue terlambat bangun. Gue gosok gigi. Tapi gue nggak mandi. Gue pakai seragam, lengkap dengan dasi dan sepatu. Tugas untuk hari ini juga sudah gue siapkan di dalam tas. Tapi rasanya seperti ada yang kurang, dan gue nggak tau itu apa. Karena dikejar waktu, gue memutuskan untuk bodo-amat-dengan-apa-yang-kurang-itu.

Sampai di sekolah gue selamat. Ah, maksudnya, gue sampai di sekolah dengan selamat, walaupun nyaris menabrak tiang listrik yang sedang anteng berdiri di pinggir jalan, nyaris nyungsep ke parit, nyaris nyeleding emak-emak yang sign ke kiri tapi beloknya ke kanan, nyaris ketilang polisi, dan nyaris-nyaris dramatis lainnya.

Bel sekolah berbunyi pukul delapan. Sekarang pukul delapan kurang lima menit. Masih ada lima menit kurang sedetik lagi untuk jalan ke kantin buat beli bakwan. Tapi gue merasa risih, celana gue dari tadi nyelip terus. Iya, nyelip ke pantat gue. Gue mau benerin, tapi malu diliatin orang. Mau minta benerin ke cewek di pojok sana, takut digampar. Rada aneh sebenarnya kenapa celana gue bisa nyelip, padahal gue-oh shit.

Gue lupa pakai celana dalam.

Pantesan dari tadi di bagian bawah gue rasanya sejuk banget. Gue buru-buru jalan ke kelas yang lagi ribut dan langsung meletakkan tas di tempat duduk gue.

"Ngebakwan yuk."

Seseorang tiba-tiba ngerangkul gue. Namanya Joni Aksara. Teman dekat gue semenjak MOS. Orang asli Padang yang katanya pindah ke kota ini empat tahun yang lalu.

"Bakwan." (Ayo)

"Lo mau denger gosip hari ini nggak?" tanya Joni ketika kami jalan beriringan menuju kantin.

"Kagak."

"Katanya sih Pak Ritno ada main api sama murid sini. Tapi masih belum ketahuan siapa muridnya. Bakwan emang." Joni berdecih. Gue heran, untuk apa dia minta izin dulu kalau ujung-ujungnya tetap ngomong?

"Denger darimana lo?" tanya gue sangsi.

"Dari Bintang. Kabarnya juga udah menyebar kok. Guru-guru udah pada tau. Makanya tiga hari kemaren Pak Ritno nggak masuk," katanya ketika kami memasuki kantin yang masih sepi.

Gue memutar bola mata. "Dasar tukang gosip. Nggak elo, nggak cewek lo sama-sama hobi ngerumpi. Pantesan bisa jadian. Langgeng lagi." Gue mengambil beberapa bakwan dan memasukkannya ke kantung plastik.

Gue bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Apalagi urusan yang sangat pribadi seperti itu. Jadi gue nggak terlalu menanggapi gosip yang dibawakan Joni.

"Kalau kedengeran sama Bintang gue nggak tanggung jawab loh ya." Joni menyeringai. Gue bergidik.

Kak Bintang itu ibarat ibu tiri. Galak nggak ketulungan. Selama tiga minggu gue sekolah di sini, gue sudah sangat hafal sifatnya yang satu itu. Banyak yang sudah menjadi korbannya. Dan gue nggak mau menjadi korban berikutnya.

"Buk de, ini bakwan ada micinnya nggak?" Joni menunjuk gorengan di depan kami.

"Ini bukan bakwan. Ini mah risoles. Gini nih anak zaman sekarang. Makanannya micin, makanya nggak bisa bedain mana bakwan, yang mana risoles."

Disemprot seperti itu, Joni menyengir sambil menggaruk kepala. "Ampun Buk de. Saya cuma manusia biasa yang bisa kilaf."

Buk de cuma geleng-ngeleng kepala. Gue ngakak.

"Bakwan tiga Buk de. Sekalian punya Gala juga dihitung, Buk de. La, jajan lo berapa?" Joni merebut plastik berisi bakwan gue dan menghitung isinya. Gue bengong nggak karuan. "Satu, dua, empat. Jadi totalnya tujuh rebu. Ini duitnya, Buk de. Kembaliannya ambil aja hehe."

Joni ngerangkul gue yang masih belum sadar. Dia kerasukan jin jenis apa?

"Tumben lo bayarin punya gue. Hasil nyopet ya?" tanya gue sambil keluar dari kantin.

Joni nyengir kemudian memasukkan bakwan dalam potongan besar ke mulutnya. Terdengar bunyi kriuk kriuk saat ia mengunyahnya. Gue ngiler, lantas memakan bakwan gue lambat-lambat. Biar habisnya lama.

"Enggak lah. Orang itu duit elo. Ngehehe."

"Tai bakwan." Buru-buru gue menjangkau Joni, bermaksud menjitak kepalanya tapi dia keburu kabur.

"AWAS LO BAKWAN!" Gue teriak tapi teredam dengan bunyi bel. Joni memamerkan kantung plastik berisi bakwannya lalu dia menyunggingkan pantatnya ke gue, mengingatkan gue tentang sesuatu yang masih terselip di pantat gue. Buru-buru gue membenarkan celana mumpung orang-orang sibuk berlarian berebut masuk ke kelas. Dari kejauhan gue liat Joni juga ikut masuk.

Gue menghela nafas sambil geleng-geleng. Joni... Joni... Lo salah masuk kelas, bego!

📖

If you like this story, don't forget to vote and comment.
Glad to see your appreciation, thank you.

Boys' Day OutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang