Pertama, gue berterima kasih kepada Tuhan YME yang sudah mengizinkan gue untuk menikmati hidup ini. Kedua, gue berterima kasih kepada bapak dan ibuk arsitektur yang telah mendesain gedung sekolah ini dengan luar biasa. Ketiga, gue berterima kasih kepada bapak tukang yang telah membangun gedung ini dengan mantap dan mumpuni. Ngomong-ngomong, gue nggak tau apa itu mumpuni, tapi gue sering mendengar kata itu di drama india yang sering ditonton nenek.
"Mumpuni hamba, dewa, mumpuni hamba." Begitu.
Soal ucapan terima kasih gue tadi, gue memang sangat bersyukur karena berada di kelas ini, ditunjang tempat duduk gue yang berada di dekat jendela, memudahkan gue untuk mengakses keluar, memandangi cewek-cewek dari kelas lain yang sedang olahraga di lapangan basket outdoor. Mereka saling berteriak, menjambak, dan mencakar untuk memperebutkan bola lantun itu. Tapi dipandangan gue, ada sepuluh pasang bola lantun yang jauh lebih indah. Ah, surga dunia.
Sebenarnya gue nggak mau ngintip, takut dosa. tapi kata mama nggak boleh nolak rezeki. Baiklah, kalau mama memaksa.
Bunyi peluit panjang mengakhiri aksi brutal mereka. Seragam olahraga mereka sudah banjir oleh keringat. Gue sesak nafas.
Tuk!
"Hanjeng." Umpatan tanpa sengaja keluar dari mulut gue akibat lemparan penghapus di kepala gue. Lantas menoleh ke sekeliling dengan raut kesal. Mendapati Joni yang melotot ke arah gue. Ia menunjuk-nunjuk jam di pergelangan tangannya lalu jari teluknga bergerak horizontal di lehernya seraya menjulurkan lidah. Gue memasang raut bingung. Ini anak kenapa?
"Baiklah, waktunya sudah habis. Siap tidak siap segera kumpulkan. Dalam hitungan ke sepuluh. 1, 2,"
Gue terlonjak mendengar ultimatum itu. Menatap kertas di hadapan gue yang tanpa sengaja terlupakan begitu saja.
"7,8," Hitungan Pak Ismael terus merangkak. Gue menghembuskan nafas panjang. Nggak ada yang bisa dilakukan selain pasrah. Dengan berat hati, gue mengumpulkan kertas legend yang baru terisi 25 persen itu. Dan dengan tidak rela juga, gue memandangi punggung Pak Ismael yang menghilang di balik pintu kelas. Oh tuhan, nilai ulangan kimia pertama gue!
"Breh!" Joni berjalan ke tempat duduk gue dengan cengiran lebar. Gue menatapnya sebal. "Udah gue ingetin loh ya." Cengirannya bertambah lebar, lalu tangannya merangkul gue. "Lagian elo sih. Udah tau lagi ulangan tapi mata malah jelalatan. Kebiasaan." Dia menjitak kepala gue dengan tangannya yang bebas.
Gue meringis. "Nggak boleh nolak rezeki mama gue bilang."
"Iya breh, makan tu rezeki. Rezeki ompong!"
Gue menyeringai miris. "Udah lah, mendingan ngebakwan. Masih tertarik sama bakwan kan lo?"
"Bunga mawar bunga lili. Obviosly."
📖
Kami sampai di kantin dalam keadaan yang sudah sesak karena penuh oleh geromboloan manusia-manusia lapar. Gue dan Joni kebingungan mencari bangku yang kosong. Di tengah pencarian berat ini, gue melihat seseorang dari sebuah kumpulan senior melambai ke arah gue dan Joni. Tapi karena merasa tidak pernah mengenal cowok berambut pirang tersebut, gue menyikut pelan perut Joni.
"Dipanggil tu Jon." Gue menunjuk orang tadi dengan gerakan bibir. Ketika mengikuti arah pandangan gue, Joni tersenyum dan menarik gue mendekati kumpulan tersebut.
"Kasih tempat woi!" ucap cowok pirang kepada teman-temannya yang segera dilaksanakan oleh mereka. Menyisakan tempat yang cukup untuk gue dan Joni.
Gue dan Joni duduk bersebelahan, di hadapan si pirang.
"Apa kabar lo, Ya?" Cowok tadi bertanya entah kepada siapa-tapi gue rasa ke Joni, but who's Ya?
Joni langsung melotot. Mereka berdebat, melalui tatapan yang cuma mereka berdua tau apa yang sedang mereka bicarakan. Seolah-olah dari tatapan sengit itu mereka bisa saling menggigit, mengunyah, dan menelan. Hingga akhirnya perdebatan singkat itu diakhiri dengan kekehan si pirang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boys' Day Out
Roman pour AdolescentsBxB Nama gue Galaksi. Gue jago remedial. Ah, bukannya sok, tapi mungkin karena otak gue udah ketutupan minyak goreng karena keseringan makan bakwan.