Ah, sial.
Gue sering bertanya-tanya banyak hal setiap kesialan menimpa gue.
Kayak sekarang.
Gue memandangi kertas di hadapan gue lalu menghela nafas. Ah, enggak. Gue nggak kecewa. Gue nggak sedih. Gue nggak marah. Gue hanya, penasaran. Mungkin karena hal yang sama terjadi berulang kali membuat gue terbiasa. Tapi tetap aja, pertanyaan-pertanyaan itu selalu berputar di otak gue.
Di bagian bumi sebelah mana kecerdasan gue tertinggal saat gue lahir ke dunia ini?
Gue masih menatap kertas itu dan nggak ada yang berubah. Gue mencoba peruntungan sihir dengan membayangkan angka delapan yang tertulis di kertas itu berubah perlahan menjadi angka 80. Ah sial, tetap nggak terjadi apa-apa.
Gue menoleh ke seisi kelas, mencari seseorang yang bernasib sama dengan gue.
Sialan.
Yang terlihat malah Joni yang berjalan ke tempat duduk gue sambil menyengir. Sialan.
"Dapet berapa lo?" tanyanya lalu duduk di tempat duduknya.
"Nggak usah nanya."
"Buset. Pelit banget. Liat, ah!" Joni melongok ke kertas yang gue tutupi dengan tangan.
"Nggak mau!"
"Liat woi!" Joni merebut kertas di tangan gue lalu tercengang. Detik selanjutnya, seperti yang sudah gue duga, tawanya memenuhi seisi kelas. Menggema di telinga gue.
"Haha. Aduh perut gue sakit yaawla. Haha." Joni tertawa sampai memukul-mukul beja. Dan bisa gue lihat setetes air mata keluar dari sudut matanya. Sialan.
Nggak usah ditanya perasaan gue saat ini. Nyekek orang sampai mati dosa nggak sih?
"Dari skala satu sampai seratus, lo dapet delapan? Haha, yaawla. Lo bego apa nggak punya otak sih?"
"Bacot lo ya. Emang lo dapet sih berapa njing?" Gue merebut kertasnya, tapi Joni lebih gesit dari gue untuk menjauhkan kertasnya kuisnya.
"Eitss. Keturunannya papa Tesla nggak usah ditanya."
"Sok-sokan lo. Hasil contekan aja bangga."
"Kayak lo yang nggak nyontek aja bangsat."
Gue memutar bola mata. "Seenggaknya gue nggak bangga."
"Nilai segitu apa yang lo banggain anjir. Unfaedah lo ah."
"Eh gue nanya lo dapet berapa kampret. Ngalihin mulu."
"9,5 doong."
"Anjrit. Trus lo seneng dapet segitu?"
"Seneng aja. Yang penting gedean nilai gue dari lo."
Bangsat kan? Gue nanya lagi deh, nyekek orang sampai mati dosa nggak sih?
***
Ini gue nggak tinggal di inti bumi kan? Panas banget.
Tau gini, mending kemaren gue ambil ekstrakurikuler jurnalistik aja kali ya. Kerja di ruangan, pake AC lagi.
Tapi karena waktu itu senior yang datang ke kelas gue untuk promosi ekskul paskibra manis-manis banget kayak madu-sampai pengen gue jilat-gue akhirnya memutuskan untuk memilih ekskul ini.
Gerah. Kepala gue sakit lagi. Mungkin karena dari tadi panas-panasan. Istirahat 15 menit nggak bakalan cukup buat gue. Lemah banget ya gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boys' Day Out
Ficção AdolescenteBxB Nama gue Galaksi. Gue jago remedial. Ah, bukannya sok, tapi mungkin karena otak gue udah ketutupan minyak goreng karena keseringan makan bakwan.