Tak pernah ada kehidupan di tanah itu, tidak ada harapan untuk hidup. Bersama dengan alam di sekitar mereka yang mati negeri itu bangun dalam kengerian yang di takuti semua orang—mahluk-mahluk yang memiliki jiwa yang mendamba ketentraman—tidak seperti makhluk dari negeri itu yang mencintai kehancuran, peperangan, dan keputusasaan. Jiwa-jiwa mereka tidak pernah tentram entah mati atau hidup, tangan dan kaki mereka digunakan untuk mencapai impian yang fana. Tidak ada harapan pada mata-mata kosong mati mereka, hanya ada nafsu yang tidak pernah terpenuhi. Hitam, gelap, bayangan. Dunia itu bagaikan sisi terburuk dari alam semesta, tempat para iblis dan kegelapan berada. Yang menolak cahaya kebenaran.
Dunia itu dan para penghuninya adalah bagian yang satu, sama dan tak terbedakan. Sesuatu yang berbau kehancuran berasal dari sana, tanah Wilayah Gelap yang kelam.
Di barisan pegunungan yang tak pernah tidur untuk mengeluarkan gelegar dan laharnya, di puncak-puncak tertinggi awan bergulung dan berteriak dengan kilat-kilat saling menyambar. Para naga sewarna arang berterbangan bebas memasuki kawah untuk memandikan tubuh mereka dengan lahar. Di sepanjang lereng gunung yang terjal hutan dengan batang-batang hitam membusuk, daun-daun kering hanya dengan menyentuhnya dapat menjadi abu. Istana besar dari batu hitam itu berdiri di puncak gunung, di antara cekungannya. Megah dengan kengerian yang membuat siapapun bergidik. Ribuan tak terhitung mahluk dari neraka berkeliaran di sekitar istana maupun di dalamnya. Tempat tidak pernah sunyi dari suara riuh para penduduknya atau pun alamnya.
Petir menggelegar di luar sana, menghantarkan sedikit cahaya ke dalam koridor-koridor gelap bangunan megah itu. membantu penerangan walau sesaat sosok berjubah hitam yang berjalan menembus kegelapan. Dia berhenti di depan pintu tujuannya, tidak memperdulikan makian yang sampai terdengar ke luar ruangan yang berhasil membuat para iblis yang lewat bergidik dan menjauh. Sosok itu mengulurkan tangannya mendorong pintu hitam itu perlahan.
Krakk!! Jubah gelapnya berkibar ketika dia melangkah memasuki ruangan, di tariknya turun tudung yang menyembunyikan wajah putih halusnya. Gadis itu berhenti dan merunduk sesaat, kemudian kepalanya mulai berputar memeriksa ruangan itu. ruangan yang sebelumnya tertata rapi telah menjadi kekacauan yang dapat membuat siapa pun berteriak.
Matanya menangkap gelagat aneh di kegelapan, sesekali petir yang menyambar dari luar membawa cahaya masuk melalui jendela besar di ruangan itu. sosok itu terlihat, seorang pemuda penghuni kamar, duduk diatas kursi yang terbalik. dia mengangkat wajahnya yang mengerikan. "Sudah ku bilang kalau aku tidak ingin di ganggu."
Gadis itu menunduk sejenak sebelum kembali mendongak dengan wajah datar. "Maaf kan saya, Tuan Egi Leonard. Semenjak kematian komandan Kesatria semua orang menjadi risau, saya ingin tahu apa yang harus kita lakukan selanjutnya?"
Laki-laki itu—Egi—mendesah, melambaikan tangan kearah pintu. "kenapa tidak bertanya langsung dengan orang itu?"
Gadis itu menunduk sesaat, wajahnya mengernyit. "Dea tidak bisa dihubungi, Tuan Ku. dan para iblis mulai beringas, kami agak kesulitan mengatasi mereka."
"kalau begitu," lelaki itu berdiri, berjalan perlahan menghampiri sosok gadis yang berdiri di tengah ruangan. mata biru gadis itu menangkap tetesan darah di lantai setiap kali laki-laki yang lebih muda darinya itu melangkah mendekat. "berhenti mengurusi iblis-iblis itu. kurung diri kalian di kamar dan nikmati waktu sebelum perang yang sesungguhnya."
Gadis itu sesaat hanya memandangi iris merah menyala pemuda itu dalam ruat datar, lalu mengangguk. Ia mulai melangkah pergi, tetapi tiba-tiba ia berhenti saat tangan berbalut armonya menyentuh gagang pintu. Gadis itu kembali berbalik, mengernyit sesaat dengan wajah ragu
"Tuan Egi, apakah?" ia mendongak, iris biru lugunya menatap penuh harap.
Egi menghela nafas panjang. "Ya, adikmu baik-baik saja. Aku bertarung dengannya saat perang itu, tapi aku sama sekali tidak melukainya."
KAMU SEDANG MEMBACA
WIZARD (Broken Butterfly) END
FantasyYang bersinar di malam hari hanyalah kunang-kunang, namun yang ku lihat malam itu adalah sesuatu yang lain. bukannya makhluk kecil seperti titik cahaya layaknya bintang di langit, mahluk itu serupa kupu-kupu, yang mengeluarkan cahaya. Awalnya ku pik...