16. She

348 16 0
                                    


Aku menatap ketiga pria didepanku, Taehyung, Jimin dan Yoongi..

"Siapa dia? Aku harus tau siapa yang selalu menyuplai obat ini?" tanyaku sambil memperlihatkan obat penenang yang kutemukan dilaci Jungkook.

Ketiganya diam.
"Kalian teman macam apa yang menginginkan Jungkook mati perlahan... Aigoo, jjinjja!"aku mendelik kesal.

"Bora, bukan begitu. Kita juga gak tau pasti siapa penyuplainya. Kemaren-kemaren itu dia agak tertutup. Dia bukan anak kecil yang harus kita pantau mulu," sahut Taehyung.

"Kalian tau dia ngidap bipolar tapi kalian biarkan dia, bukannya didukung agar dia hidup sehat..." cercaku.

"Oke, kita salah. Trus maumu apa? Gimana?" Yoongi duduk sambil bersedekap.

"Aku cuma butuh info tentang obat itu, siapa yang suplai. Aku ingin Jungkook sembuh. Karena kebipolarannya itu, dia bisa menyakiti orang lain bahkan dirinya. Andwe...aku gak mau dia berakhir mengenaskan," ucapku.

Yoongi menghembuskan nafas.
"Oke, nanti kita bantu. Aku coba tanya teman-temannya di geng moge. Ayo Tae,"

"Jakkab, Jim. Aku juga ingin ketemu dengan Jiwoon," tahanku.

"Apa?! K-kamu tau Jiwoon?" Taehyung membelalakkan matanya.

Aku tersenyum, "Ne...aku ingin ketemu dengannya. Juga Eunbi, pokoknya aku ingin tau tentang Jungkook diluaran sana. Aku perlu semua info itu. Jebal,"

Taehyung menatapku lekat.
"Kau gila, huh? Wanita lain akan menyerah demi melihat kebobrokan ini. Tapi kau...paboya!"

Kugedikkan bahuku,"Aku bukan wanita lain itu. Aku istrinya. Disaat suamiku sakit kek gitu, lalu siapa yang harus bertahan kalo bukan aku?"

Taehyung tertunduk, lalu...dia menghampiriku. Dia memelukku.

"Gomaweoyo...Bora, Jungkook memang membutuhkan wanita sepertimu. Aku akan bantu," ucap Taehyung.

Ini diluar dugaanku.
"Gomabta...Tae," kutahan tangisku.

"Ra...fighting ok?"
Aku ngangguk. Hhh...syukurlah semua mo bantu. Mereka pun pada pergi.

Aku menoleh ke arah Hobee. Sahabatku itu mendengus kesal tapi kemudian dia tersenyum juga.

"Gwenchana.. Semua akan berakhir baik, Sua." hiburnya.

"I hope..." senyumku.
"Seok-ah, makasih mo maafin aku."

"Kamu gak salah, Jungkook yang salah." cetusnya.

"Seok-ah...."
"Sua, liat aja kalo dia macem-macem sama kamu, jangan halangin aku buat bikin dia hancur!" dengusnya.

"Seok-ah, dia kan lagi sakit. Aku maklum, dia butuh ekstra dalam segala hal." balasku.

"Tentu saja, karena dia makhluk teregois. Listen to me,-"

"Kamu yang harus denger aku, Seok-ah... Aku gak mau kita berantem. Sudah cukup aku dan Jungkook aja yang ribut, oke?" selaku cepat.

Hobee menatapku lekat. Aku merasakan getar itu tapi..maaf, Hobee, aku cuma punya Jungkook.

.

.

.

Papa menatapku. Dia marah. Marah besar malah akan keputusanku mempertahankan pernikahanku dengan Jungkook.

"Saat itu, saat Bora belum yakin sama perasaan Bora, mungkin untuk melangkah mundur itu gak akan jadi masalah. Tapi sekarang, Bora istrinya, dan Jungkook makin parah sakitnya Pa. Bora nggak mungkin setega itu, ninggalin dia saat dia terpuruk." paparku.

"Papa nggak bisa mentolerir dengan apa yang udah dia lakukan sama kamu, Bora. Papa nggak ijinin," kata Papa tajam.

"Pa...jebal. Aku sangat mencintainya. Kalo bukan aku yang mengerti dia, lalu siapa?? Beri Jungkook kesempatan. Dia sedang sakit, Pa..." mohonku parau.

Minhyun mendekapku erat. Mama juga. Seolah memberiku kekuatan.

"Kenapa kau jadi keras kepala?" tanya Papa lagi.

"Karena aku benar, Pa."
"Kamu begitu yakin seolah Jungkook mencintaimu juga. Kita salah memilih menantu, Ma..."

Papa menatap langit-langit. Mungkin menahan tangisnya disana. Aku tau dan mengerti perasaan Papa dan Mama. Mana ada sih orangtua yang gak sakit hati liat anaknya masuk rumah sakit karena penyiksaan seksual kek gitu? Walaupun itu dilakukkan oleh suaminya sendiri.

"Sekali lagi Papa tanya, kau tetap pada keputusanmu?"

Dengan berat hati aku mengangguk.
"Baik, Papa kasih kamu dan Jungkook kesempatan. Tapi, sekali saja Papa dengar kekerasan terjadi padamu, Papa akan paksa kamu keluar dari sana."

Aku cuma mengangguk. Ini berat tapi harus kulakukan.

"Ma..."
"Keputusan yang bodoh, Bora..." gumam Mama.

"Jebal... Dukung aku. Aku juga gak akan bisa ngapa-ngapain tanpa dukungan Papa, Mama dan Oppa. Jebal...jebal," aku menggenggam tangan Mama.

"Mama cuma gak mau kamu nyesel, Ra..."
Dan aku cuma mengangguk lagi.

.

.

"Annyeong haseyo, nan Kim ...emh, anio, Jeon Bora imnida." ucapku.

"Han Jiwoon imnida.. Kita...apa kita pernah bertemu? Atau kau ada keperluan bertemu denganku?" dia menyelidik dengan matanya.

"Ya, kita pernah ketemu saat itu, emh....saat kau dan Jungkkok ... diclub."

"Mwo??!"

Matanya memerah kek nahan airmata gitu.

"Kau..gadis yang waktu itu?" tanyanya.

Aku mengangguk,"Ya.. To the point saja, aku ingin tau sejauh mana hubunganmu dengan Jungkook?"

"Aku dengan Jungkook? Hh...gimana ya mengibaratkannya, kek pecandu dan candunya. Kek obat dan pasiennya..."

"Dia dan aku sama-sama punya kelainan. Kami saling membutuhkan. Itulah kira-kira deskripsi hubungan kami," lanjutnya.

Kutahan semua. Aku berpegangan pada ujung meja. Serasa limbung.

"Maaf..." ucapnya.
"Boleh kuminta kau meninggalkannya?" tanyaku


******

Hi, readers! Pendek yaaa? Tetiba nge-blank gue, gak ada masukan ide. So...maaf, segini dulu. Ntar gue pikirin lagi....

Keep read, keep vote and comment too....

So,
Gomaweo & Saranghae....

😻😻
TBC

W H I T E   L O V E (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang