BAB 28 -Bergerak menjauh(1)

383 20 0
                                    

Satu minggu sudah berlalu, baik Metha maupun Riko keduanya saling menjauh, tidak pernah menyapa dan seolah semuanya tidak pernah terjadi. Saat mereka berpapasan, yang dilakukan hanyalah berkontak mata sekejap, lalu saling memalingkan wajah seperti saat dulu, saat mereka belum memulai sebuah hubungan aneh yang entah akan disebut apa nantinya.
Satu minggu itu juga, Guntoro selalu mendekatinya, mengajaknya untuk ke Kantin bersama, mengajaknya untuk pulang bareng, mengajaknya jalan-jalan, datang ke rumahnya dan yang lainnya yang membuat Metha muak sendiri.

Seperti saat ini, mereka sedang ada di Kantin dengan Guntoro yang sedari tadi berceloteh tanpa henti membicarakan lelucon konyol yang tidak lucu sama sekali.

"Tha, lemari apa yang bisa dilipat?" Tanya Guntoro dengan wajah semangatnya

Lelucon lama! Garing, tidak menyenangkan. Metha mulai bosan dengan semuanya.

"Lemaribuan." Guntoro menjawab pertanyaannya sendiri disertai dengan kekehannya.

Metha tersenyum memaksa, pandangan matanya kini beralih pada sosok yang duduk tak jauh di depannya, bersama dengan sosok cantik yang menjabat sebagai Ketua Osis di sekolahnya.
Metha tersenyum miris, ia lupa fakta kalau Riko amat mencintai Natha. Benar, dia hanya dipermainkan oleh Riko. Hanya, ingat itu!

Guntoro mengikuti arah pandang Metha lalu menaikkan sebelah alisnya, kini ia kembali menatap Metha yang tampak murung

"Kamu putus sama Riko?" Tanya Guntoro

"Hah?"

"Kalo boleh tau, kalian marahan atau udah putus?" Tanya Guntoro lagi

Metha terdiam, tidak menjawab. Ia enggan menjawab pertanyaan yang sifatnya pribadi seperti itu.

Metha melihat Aira yang sedang mengantri di antrian yang akan jajan pada Bu Lina, tangannya mulai ia angkat saat Aira menatap dirinya.

Guntoro yang menyadari hal itu langsung menoleh ke arah orang yang Metha beri lambaian tangannya.

"Tha." Guntoro memanggil pelan

"Hm?" Sahut Metha dengan dagunya yang ia angkat sedikit

Guntoro mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Metha dengan lembut membuat seluruh saraf Metha menegang

"Ko! Kamu kenapa sih?" Teriakan nyaring itu membuat seisi kantin jadi terdiam, menatap dua sejoli yang saling menatap itu. Riko dan Natha, keduanya tengah berdiri. Riko dengan tatapan kesalnya, Natha dengan kerutan di keningnya.

Guntoro sudah mengembalikan posisi tangannya lalu tersenyum miring menatap Riko yang kini keluar dari kantin.
Guntoro tersenyum sinis, sudah ia duga.

***

Aira terduduk disamping Metha, menyimpan mangkuk baksonya di meja dan bertanya kepada Metha dengan mata yang mengekor ke arah Riko yang berjalan keluar

"Kak Riko kenapa Tha?" Tanya Aira

"Ngapain lo tanya gue?" Tanya Metha heran

Guntoro tersenyum menggeleng ketika melihat interaksi dua orang yang bersahabat itu.

"Lo kan pacarnya Tha!" seru Aira

Metha bukannya menjawab malah berdiri, berbalik, meninggalkan Aira yang keheranan dengan tingkahnya.

"Salah ngomong ya?" Tanya Aira pada Guntoro yang menjawabnya dengan mengangkat bahu

---

Metha mengusap wajahnya pelan saat ia keluar dari Kantin, hatinya merasa tak karuan memikirkan tindakan Riko yang membuatnya kaget tadi.

Kakinya melangkah ke arah bangku yang berada di halaman sekolah, ia berjalan ke sana dan duduk di sana, sendirian.

Ia tiba-tiba rindu sosok Riko, sosok lelaki plin-plan yang selalu membuat hatinya berdebar, sosok lelaki yang selalu membuat wajahnya panas seketika, lelaki yang --ah sudahlah.

Ia merasa percuma merindukan lelaki itu. Karena untuk apa ia rindu jika orang yang dirindu tidak balik merindu. Bukankah itu hanya membuat hidupnya terasa sempurna, sempurna menyesakkan?

Drr.. Drr.. Getaran ponsel Metha membuat gadis itu tersentak dalam lamunannya, tangannya bergerak mengambil ponsel di saku baju seragamnya.
Ia melihat layar ponselnya yang menampilkan nama Gibran

Metha menggeser layar untuk menjawab panggilan dari Gibran, kemudian ia meletakkan ponselnya tepat di telinganya.

"Kenapa?"

"Lo dimana?"

"Di halaman depan."

"Oke, jangan kemana-mana."

Panggilan ditutup sepihak, Metha menurunkan ponselnya, menyimpannya di atas meja panjang itu dan terdiam menopang dagu, dengan telunjuk tangan kanannya yang mengetuk meja panjang itu berkali-kali. Menunggu Gibran datang dan menanyakan apa maksud Kakaknya itu ingin menemuinya di sekolah di waktu istirahat seperti ini, karena itu jarang sekali Gibran lakukan selain meminta uang kepadanya, atau mengajaknya pulang lebih awal dengan alasan sakit.

Gibran tak lama datang, dengan langkah cepat menghampiri Metha. Berdiri di hadapan Metha, Gibran menangkup wajah Metha dengan keras sampai pipi-pipi Metha menjadi sakit

"Jauhin Riko, dia udah brengsek sama lo." Ujar Gibran

***
Beberapa menit sebelumnya.

"Lo kenapa jauhin dia Ko?" Tanya Rafa yang duduk di samping Riko, mereka sedang berada di belakang perpustakaan, bersandar di tembok bercat hijau tua itu.

"Gue gak mau libatin dia."

Rafa mengerutkan keningnya "Lo dari awal udah libatin dia, kalo lo ngomong gitu sekarang, itu telat Ko." Rafa menatap Riko dengan tajam "jadi bener lo libatin perasaan sama dia?" Tanya Rafa

Riko terdiam, bibirnya terkatup rapat, rahangnya mengeras. Dia cinta Metha, benarkah itu? Ia tidak tahu, hanya saja kalau melihat Metha bersama Guntoro tadi, rasanya sesak. Udaranya seakan hilang begitu saja, rasanya begitu menyakitkan seolah ada ribuan jarum yang menusuk hatinya. Rasa marah dan kesal menghampiri dirinya kala melihat Metha bersama orang lain, dan rasa rindu menyerangnya kala ia melihat gadis itu. Jadi, ia jatuh cinta apa tidak? Ia belum tahu pasti.

"Lo diem, gue anggap iya."

Dan Riko masih diam, sampai matanya menangkap sosok tinggi yang menjadi tetangga kelasnya. Dia Gibran, Kakak dari orang yang ia cintai mungkin.

Gibran datang dengan tangan mengepal, bibirnya membentuk garis lurus.

Saat sudah berdiri di depan Riko, Gibran langsung menarik kerah baju Riko hingga Riko berdiri, cengkramannya tambah kuat saat Gibran melihat wajah Riko yang tampak santai dan terkesan meremehkan.

"Tinggalin Metha bangsat!" Teriaknya, dan detik itu juga ketika ia melihat senyum miring dari Riko tinjuan tangannya sudah mendarat di wajah Riko dengan sangat keras membuat lelaki yang masih berstatus sebagai kekasih Metha itu tersungkur ke belakang.

Rafa segera menengahi dan menahan Gibran agar tak kembali meninju Riko, sebelum semuanya menjadi semakin parah.

Gibran menghempaskan tangan Rafa yang menghalanginya dan menatap Riko dengan tajam.

"Berani aja lo deketin atau nyentuh adik gue sedikitpun, lo akan berurusan sama gue." Setelah mengatakan itu Gibran pergi meninggalkan Riko, lelaki itu nampak merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel dan mulai memanggil seseorang.

Riko menyentuh tulang pipinya yang terasa sakit, matanya menatap kepergian Gibran yang sudah memukulnya beberapa detik yang lalu itu.

"Lo kenapa gak ngomong dia itu adik Gibran?" Tanya Rafa

Riko tidak menjawab, ia mengusap wajahnya dengan gusar. Astaga! Kenapa semuanya jadi serumit ini?

Tangan Riko bergerak mengambil ponsel yang berada di saku celananya. Jari-jarinya mulai menari di atas layar ponselnya, mengetik sesuatu untuk seseorang yang ia tuju.

Armitha

Riko : Gue bisa jelasin itu.

Ketika Hujan Berbicara(Riko's story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang