BAB 35-Kecelakaan

387 21 0
                                    


Riko: Gue pergi jauh sama bokap.
Riko: kami gak akan balik lagi
Riko: maaf atas apa yg dilakuin bokap gue
Riko: jgn kasih tau siapapun termasuk Rafa.

Guntoro menghela nafas, semuanya sudah selesai, ia hanya menunggu beres. Kini Mamanya tak akan menemui Papa Riko lagi, dan begitupun sebaliknya. Ia tidak akan terus menerus membiarkan Mamanya menjadi seseorang yang dianggap tidak baik di mata orang-orang. Ia tak mengerti dengan Mamanya yang tiba-tiba berselingkuh, yang ia lihat tidak ada permasalahan selama ini di keluarganya. Papanya baik, pekerja keras, mapan dengan wajah yang lumayan. Tetapi kenapa Mamanya jadi seperti itu? Yang Guntoro tahu, keduanya adalah teman kuliah yang cukup dekat sampai mereka tiba-tiba berpisah dan memilih untuk menikah dan melanjutkan hidupnya. Lalu selebihnya ia tidak tahu seperti apa.

Ketukan di pintu membuat Guntoro mengalihkan pandangannya dari langit-langit kamarnya, ia mulai bangkit dan berjalan membuka pintu kamar.

"Apa yang udah kamu lakuin?" pertanyaan itu muncul dari mulut sang Mama yang kini sedang berdiri di hadapannya

"Udah seharusnya, Ma." ujar Guntoro pelan

"Gak usah ikut campur!" bentak sang Mama

"Ini salah Ma! Semuanya salah!" teriak Guntoro membuat sang Mama jadi meradang

"Kamu gak tau apa-apa!"

"Aku tau Ma, aku tau!"

"Kamu, kamu udah bawa sumber uang kita pergi," ucap Mamanya lirih

Guntoro menggelengkan kepalanya tak percaya "Aku gak nyangka Maka sematre itu, padahal dulu Papa juga bisa mencukupi semuanya."

"Enggak! Papa kamu gak pernah turutin keinginan Mama!" teriak Mamanya

"Mama egois tau gak?!" Guntoro berteriak, berlalu dari hadapan Mamanya lalu pergi dari sana.

***

Metha pulang dengan wajah merah, mata sembab dan raut murung dan itu membuat Gibran khawatir. Ia menatap adiknya itu dengan resah, ada apa ini?
Riko? Apa yang lelaki itu katakan  sampai adiknya seperti ini? Sesuatu apa yang terjadi saat mereka bertemu yang membuat adiknya sampai seperti ini.

"Tha," panggilnya

Metha tidak menjawab, gadis itu hanya berlari menaiki tangga dengan tangisnya

Gibran mengepalkan tangannya, sialan! Ia sudah memberikan kesempatan dan lelaki itu membuangnya dengan sia-sia. Ia salah mempercayai lelaki brengsek semacam Riko.

Gibran meraih jaket yang tersampir di punggung sofa, membawa kunci motor yang ada di atas meja dan mulai pergi melesat ke tempat seseorang yang sangat ingin ia hajar saat ini, Riko.

***

Metha terisak dengan menenggelamkan wajahnya di bantal biru muda miliknya. Rasa sesak ia rasakan kala mengingat ucapan Riko tadi. Ya, harusnya ia tak menjatuhkan hati kepada lelaki itu. Lelaki kurang ajar yang telah memanfaatkan dirinya sebagai umpan, ya seharusnya ia tak memaafkan lelaki itu.

"Tha." suara seseorang dibarengi dengan ketukan di pintu membuat Metha menghentikkan tangisnya dan dengan cepat menghapus air matanya

"Jangan ganggu gue, Ra." ucap Metha terbata

"Tha, buka dulu!" Aira sahabatnya kembali berteriak

"Tinggalin gue sendiri, Aira!" bentak Metha membuat ketukan pintu itu menghilang dan suara Aira terdengar kembali

"Oke, gue ngerti lo pengen sendiri Tha. Tapi kalo lo butuh apa-apa gue ada di bawah," ucap Aira, lalu setelah itu suaranya tak terdengar kembali.

Gibran sialan! Sudah pasti Kakaknya yang memanggil Aira untuk kesini. Bukannya ia tak mau menerima perhatian Kakaknya, hanya saja ia sedang ingin sendiri saat ini. Mencoba menghilangkan bayang-bayang Riko yang datang di benaknya setiap ia bernafas.

"Tha!" gedoran itu kembali terdengar setelah lima belas menit yang lalu

"Buka pintunya! Kak Gibran kecelakaan!"

Metha tersentak, ia bangun dan mulai berlari ke arah pintu kamarnya, membuka kunci pintu dan mulai membukakan pintu untuk Aira

"Kakak lo kecelakaan, Kakak lo kecelakaan Tha!" ucap Aira panik

Metha mengusap air matanya dengan kasar, ia menuruni tangga dengan cepat diikuti Aira di belakangnya. Ia berlari menuju kamar Mamanya, membuka satu persatu laci yang berada di kamar Mamanya untuk mencari kunci mobil milik Mamanya.

"Bawa gue ke rumah sakit, Ra." Metha menyodorkan kunci mobil itu kepada Aira yang sedari tadi membuntutinya.

Mereka melesat dengan mobil sedan milik Mama Metha. Di jalan, sedari tadi Metha tak henti-hentinya cemas, berkali-kali ia menyuruh Aira untuk menambah laju mobil membuat Aira jadi gemas sendiri

"Kalo lo terus nyuruh gitu,  yang ada nanti kita juga yang ditanganin sama dokter." gerutu Aira kesal

"Ra, gue khawatir." ujar Metha cemas

Beberapa menit kemudian mereka sampai di rumah sakit besar yang berada di Bandung, tanpa banyak bicara Metha langsung membuka pintu dan keluar dari mobil, berlari menuju UGD dimana Gibran sedang ditangani di sana. Ia mendapati Mamanya dan Papanya yang sedang berdiri di dekat pintu UGD, mereka terlihat cemas.

Metha langsung menghambur ke dalam pelukan Mamanya, ia menangis kembali.

"Kakak kamu baik-baik aja," ucap Mamanya

Metha merasakan kepalanya dielus oleh Papanya, terasa oleh besarnya tangan milik Papanya.

"Alea udah dihubungi?" tanya Papanya kepada Aira

Aira mengangguk "Udah Om, katanya bentar lagi kesini."

Papa Metha mengangguk mengiyakan

Drr...drr.. Getaran di ponsel Aira membuat gadis itu merogih saku celananya dan meraih ponsel miliknya. Sebuah nama tertera di layar ponsel membuat Aira mengernyit, ia menggeser layar dan mulai menempelkan ponsel di telinganya

Aira bergerak menjauh sedikit, tak enak kalau menerima telepon di hadapan keluarga Metha

"Apaan sih Ben?" tanyanya kepada seseorang di seberang sana

"..."

"Apaan sih yang jelas ngomongnya, Beno." desis Aira

"..."

"De-demi apa?"

"..."

"Lo lagi dimana?"

"..."

"Ke rumah sakit sekarang juga!"

"..."

Aira mendesah pelan. Astaga, haruskah serumit ini?

"Keluarga saudara Gibran?"  suara berat dari seorang dokter yang baru saja keluar membuat keluarga Metha mendekat

Mereka mendengarkan apa yang dikatakan oleh dokter dengan baik-baik. Katanya Gibran dalam kondisi baik, hanya saja beberapa luka yang berada di kepala serta kakinya agak parah. Kepalanya sempat mengalami pendarahan, namun tidao terlalu parah. Tapi kakinya mengalami patah tulang, sehingga Gibran tidak akan bisa berjalan beberapa bulan sampai ia sembuh.

Aira menarik tangan Metha agar sahabatnya itu mendekat, ia menghela nafas kemudian berbicara pelan

"Janji sama gue kalo lo gak akan nangis," ucap Aira

"Apa?"

"Kak Riko--"

"Kenapa dia?" tanya Metha

"Kak Riko juga terlibat dalam kecelakaan Kak Gibran,"

Metha membulatkan matanya, kenapa bisa?

Ketika Hujan Berbicara(Riko's story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang