BAB 23 -Hujan

359 20 1
                                    

"Tha, lo gak papa gue tinggal? Bokap udah di depan nih." Ucap Aira yang baru saja menerima pesan singkat dari Ayahnya itu

"Gak papa, lo pulang aja." Ucap Metha

"Yah, gue gak enak nih. Masa main tinggal aja." Ujar Aira

"Gak papa, lagian bentar lagi abang gue pasti kesini kok." Ucap Metha meyakinkan

"Ya udah deh, sorry ya Tha."

"Iya, gak papa. Buruan gih sana kasian udah nunggu lama bokap lo." Suruh Metha

Aira mengangguk pelan lalu mulai berlari-lari kecil keluar gerbang dan memasuki mobil Ayahnya yang sudah berada didepan gerbang sekolah. Sebelum mobil melaju, Metha melihat Aira menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan kepada dirinya.

"Hati-hati." Teriaknya

Metha menundukkan wajahnya dan mulai mengetuk-ngetuk kakinya. Ia harap Kakaknya segera pulang agar ia bisa cepat-cepat menghangatkan dirinya dibalik selimut karena saat ini dirinya benar-benar kedinginan.

Metha mulai bergerak gelisah saat satu jam sudah berlalu, para murid sudah tidak terlihat, motor-motor yang berada diparkiran sudah lenyap dan Kakaknya masih belum datang.

Matanya mulai melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul  2 siang dan ini sudah sangat lama. Biasanya, Kakaknya tidak akan membuatnya menunggu selama ini

Satu, dua, tiga jam! Metha merasakan kakinya kesemutan karena terlalu lama berdiri, dan sedari tadi hujan belum juga reda, tubuhnya kedinginan karena seragamnya tak terlalu tebal untuk menghalau udara dingin yang di ciptakan hujan itu, belum lagi Kakaknya tak kunjung datang dan sedari tadi ia mencoba menghubungi, ternyata tidak aktif.

Metha ingin menerobos hujan, tapi ia tak mau kalau ia sakit lagi. Ia hanya bisa menyandarkan punggungnya ke dinding dan terus berharap Kakaknya akan pulang.

Metha memeluk dirinya sendiri, matanya tak lepas dari orang yang berlalu lalang di depan gerbang, ia belum melihat Kakaknya, ia belum mendengar deru motor Kakaknya dan ini sudah sangat sore.

Metha memejamkan matanya merasakan rasa pusing di kepalanya karena sedari tadi belum makan, bahkan sarapan pun tidak, belum lagi ia merasakan udara dingin sedari tadi. Astaga! Kemana Kakaknya?

Metha mulai mengeluarkan ponselnya dari saku baju, mencari kontak milik seseorang yang seharusnya sedari tadi ia hubungi.

"Halo Ma... Abang udah pulang?"

"..."

"Oh, kirain Mama lagi di rumah."

"..."

"Enggak kok Ma, Metha lagi di rumah Aira." Jawabnya berbohong saat ditanya oleh Mamanya tentang keberadaannya

Metha menutup panggilannya, wajahnya menengadah ke atas melihat hujan yang masih saja deras. Mungkin percuma saja ia menunggu Kakaknya, toh dari tadi masih tidak muncul. Sudah tiga jam lebih, dan ia masih menunggu di parkiran.

Kakinya baru saja akan melangkah untuk menerobos hujan sampai akhirnya sebuah tangan menariknya mundur

"Hujan lagi deras." Ucapan dingin yang sangat ia kenal suaranya itu membuat Metha mendongak dan mendapati Riko yang kini berdiri di sampingnya dengan wajah datar.

"Lo baru sembuh, dan sekarang lo mau sakit lagi?" Tanya Riko kesal

Metha terdiam menunduk, ia menggerakkan kakinya gelisah. Berlama-lama berdekatan dengan Riko akan membuatnya jantungan.

"Gibran belum datang?" Tanya Riko

Metha menggeleng pelan sebagai jawaban

"Udah berapa lama lo nunggu disini?" Tanya Riko lagi

"Emm enggak terlalu lama kok." cicit Metha

"Bohong banget." Cibir Riko dingin

"3 jam lebih dan lo bilang enggak terlalu lama?" Tanya Riko kesal

Metha menggi git pipi bagian dalamnya, ia merasa aneh dengan Riko. Dari mana lelaki itu tahu kalau Metha sudah menunggu lama di parkiran selama itu?

"Dari tadi gue liatin lo di ruang OSIS, gue liatin lo sampe gue bosen sendiri dan gak tahan buat nyamperin cewek bodoh yang berdiri lama tanpa mau hubungin gue untuk minta tolong." Ujar Riko dingin seakan tahu apa yang berada dalam pikiran Metha

Metha menatap ruangan OSIS yang berada didekat parkiran, tepatnya disebelah kiri parkiran. Ia melihat jendela dengan gorden terbuka disana, ia melihat Rafa dan Natha sedang berbincang. Mungkin saja, tadi Riko melihatnya lewat jendela itu.

"Lo mau nunggu sampai kapan disini?" Tanya Riko membuat Metha menoleh dan menatap Riko

"Sampai Kakak aku datang." Jawab Metha

"Apa? Aku?" Tanya Riko tak percaya

"Eh? Maksudnya, saya gak-"

Riko tersenyum geli lalu berujar "Gak papa, gue suka lo ngomong gitu." Potong Riko dengan senyumnya

Metha menarik bibirnya keatas dengan terpaksa

"Mau ditemenin?" tanya Riko

Metha menggeleng cepat, bisa-bisa ia gila kalau berdekatan dengan lelaki di sampingnya ini.

"A-anu Kak, topinya--"Metha berujar dengan tangan yang bergerak membuka resleting tas gendongnya yang tadi ia kedepankan.

"Simpen aja dulu." potong Riko cepat

Metha mengangguk kikuk membuat Riko mengerutkan keningnya samar

"Kenapa sih, gugup amat?" tanya Riko

"I-itu sa-saya--" Ucapannya terpotong sendiri karena melihat Riko yang memajukan wajahnya hingga tersisa beberapa senti lagi.

"Aku." koreksi Riko membuat Metha tersentak

Riko memundurkan kembali wajahnya lalu menegakkan tubuh, lelaki  itu tersenyum sekilas dan mulai meluruskan pandangannya

"Aku, bukan saya. " Ucap Riko lagi

Metha terdiam, sibuk meneliti wajah Riko dari samping. Bagaimana hidung perosotan lelaki itu, bibir lelaki itu, mata lelaki itu, rambut hitamnya yang sedikit basah karena terkena cipratan air, semuanya terasa sempurna di mata Metha. Ah, bukankan memang orang yang kita cintai selalu saja sempurna di mata kita, sekalipun di mata orang lain tidak? Tunggu. Dia bilang apa tadi? Jatuh cinta? Bukankah Riko sudah melarangnya jatuh cinta? kenapa ia melakukannya lagi kali ini?

"Gue gak mau tarik ucapan gue, Armitha." Ujar Riko pelan, matanya masih memandang lurus ke depan, seakan tau apa yang dipikirkan Metha, Riko berucap seperti itu.

"Tentang a-apa?" tanya Metha terbata

"Tentang gue, tentang gue dan lo."

Metha menegang saat Riko mulai meraih jemarinya dan menggenggamnya dengan hangat membuat sengatan listrik mengalir di darahnya dalam seketika

"Lo mau tau satu hal?" tanya Riko

Metha mengerjapkan matanya kala Riko kembali mendekatkan wajahnya ke arah Metha, membuat debaran jantungnya berdetak membabi buta

"Gue gak akan tarik lagi ucapan gue tentang gue yang larang lo untuk jatuh cinta sama gue," ucap Riko pelan, lelaki itu masih menatap mata Metha lekat-lekat

Mulut Metha masih bungkam, ia menunggu kata-kata selanjutnya yang akan keluar dari mulut lelaki yang berada di hadapannya ini. Lelaki yang sedang mengisi hatinya, lelaki yang sedang diam di hatinya tanpa mau bergeser sedikitpun. Lelaki yang melarangnya jatuh cinta.

"tapi, lo gak boleh larang gue untuk jatuh cinta sama lo," Riko menjeda ucapannya lalu mengangkat tangan Metha dan menaruh di dadanya "karena jantung ini berdetak lebih kencang buat lo." 

Metha merasakan itu, debaran jantung Riko yang berpacu sangat cepat tanpa ia kira. Metha tersentak kaget, jadi.. Riko?

"Biarin gue jatuh cinta sendirian, Metha."

Untuk pertama kalinya, Riko memanggil nama kecilnya dengan lembut.

Ketika Hujan Berbicara(Riko's story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang