BAB 37--(END)

582 20 18
                                    

Sebuah surat.

Benar, yang tadi itu adalah Ayah dari lelaki yang selama ini menetap di hatinya. Lelaki yang sudah pergi selamanya, seperti yang terdapat pada kertas ini. Sebuah kertas yang berisi dengan deretan huruf yang Metha tahu kalau ini tidak ditulis oleh orang itu, melainkan dengan diketik dalam sebuah microsoft word, dilihat dari deretan huruf yang sama besar dengan bentuk sama membuatnya yakin kalau ini ditulis bukan oleh tangan si penulis.

Metha membuka lipatan kertas tersebut, kakinya meringsut kebelakang untuk merapatkan punggungnya dengan punggung kasur miliknya, matanya masih fokus pada deretan tulisan yang berada di kertas itu, membacanya dalam diam.

Halo, Armitha.

Gue Riko, mau berkenalan sebentar?

Mau mencoba ber-aku-kamu boleh?

Aku Riko Fabian, lelaki biasa yang memiliki segudang masalah. Lelaki yang selalu bercita-cita merasakan kasih sayang dari seorang Ibu. Di sini, dalam coretan tinta yang tentunya bukan tinta dari pulpen, Aku Riko Fabian akan mengupas masalahku secara tajam setajam silet.

(udah kaya pembawa berita gosip belum Tha? kalau enggak, anggap aja iya ya Tha biar gue seneng. hehe )

Aku gak pernah tahu Mama ada dimana sejak aku kecil, aku bahkan sudah lupa bagaimana wajahnya. Lalu sejak itu aku anggap Mama udah gak ada, aku anggap Mama udah meninggal.

Aku punya tiga sahabat sejak kecil. Rafa, Natha dan Guntoro.

Tiga orang hebat yang sangat berharga untuk aku pribadi. (gue alay ya Tha?)

Kita baik-baik aja selama ini, baik bang. Saking baiknya aku sampai suka sama sahabat sendiri yang tentunya kamu tahu. Dia Anatha, gadis yang selalu nolong aku, gadis yang memiliki pesona senyum yang tak tertandingi yang awalnya begitu sebelum aku liat senyum kamu. Yang tahu perasaan aku cuma Guntoro, hanya dia. Karena tepat aku mau bilang aku suka Natha, Rafa udah bilang duluan kalau dia udah jadian sama Natha.

Kebayang banget kan sakitnya kaya gimana?

Metha merasakan nafasnya tercekat kala melihat kalimat tersebut, ia kemudian menarik nafas dan mulai membacanya lagi.

Guntoro, sahabat yang bisa jaga ucapan. Makanya, aku ngomong semuanya sama dia. Kita baik-baik aja, kita sering main bla bla bla sampai aku lupa kalau Guntoro itu sahabat aku, bukan saudara aku.

Sampai suatu hari, dia jadi tiba-tiba aneh. Gak tau apa alasannya, yang jelas susah dijelaskan. Tau gak Tha penyebanya apa? Papa aku. Papa aku selingkuh sama Mamanya sampai dia jadi orang yang enggak aku kenal sama sekali, puncaknya ketika dia nyakitin kamu sebegitu jahatnya.

Banyak yang pengen aku bicarain, tapi kayanya tangan aku terlalu sakit buat lanjutin ngetik. Pinggang aku juga udah ngilu dari tadi karena duduk terus di depan komputer.

Aku baik-baik aja kalo kamu mau tahu, di sini. Ngawasin kamu selalu, tanpa lelah.

Aku rindu kamu kalo kamu mau tahu.

Aku sayang kamu kalo kau mau tahu.

Maaf, aku pergi gitu aja.

Maaf juga kalo aku gak bisa nemuin kamu lagi.

Metha menutup suratnya, Ia tak ingin melanjutkannya lagi karena ia dapat simpulkan sendiri kalau Riko benar-benar sudah pergi

Metha terisak, membenamkan wajahnya di kedua tangannya. Bahunya naik turun seiring isakan keluar dari mulutnya. Air matanya mengalir sedari tadi, kakinya menekuk dengan tangannya yang bergerak memeluk lutut. Riko pergi, Riko pergi. Harus berapa kali kalimat itu ia ulang dalam kepalanya kalau Riko sudah benar-benar pergi? ia kira Riko masih hidup di suatu tempat, meskipun semua orang bilang kalau Riko sudah pergi. Ya, memang pergi. Metha menganggapnya Riko hanya pergi ke suatu tempat, bukan pergi semacam ini.

Ketika Hujan Berbicara(Riko's story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang