Bahagia itu sederhana sekali, tetapi dirasakan berbeda bagi setiap orang. Ada yang mencoba melebih-lebihkan taraf bahagia hingga dirinya mulai mabuk dan merasa tak pernah cukup untuk meraih kebahagiaan itu sendiri.
Bagi kaum kurang mampu, mereka tak berharap adanya hujan uang yang membuat mereka bahagia. Mereka memang senang kemudian tertawa setelah menangkup hujan mustahil yang turun dari langit itu. Lalu menggunakan uang tersebut untuk membeli makan dan menyimpannya baik-baik. Ambil jika perlu saja. Jadi, mereka bahagia karena uang atau bahagia bisa melihat sesamanya bahagia?
Sungguh jelas.
Uang hanya sebagai perantara bahagia. Tapi dia bukanlah kebahagiaan.
Untuk kaum kedua, keluarga mampu. Sebenarnya mereka juga sama. Bahagia karena bisa membahagiakan sesamanya. Entah itu anaknya atau keluarga besarnya. Yang membedakan hanya kepuasan. Kaum kurang mampu puas untuk durasi yang singkat, tak berharap lebih besar, bersyukur dengan apa yang ada. Sedangkan kaum mampu, terus mencari-cari kepuasan lagi hingga luput untuk memberi. Lupa segalanya.
Mereka berujung gila. Gila harta. Dan melupakan semuanya. Untuk informasi lebih lanjut, tidak semua seperti itu selama mereka menggunakan akal dengan bijak.
Setelah membina rumah tangga bertahun-tahun, keputusan Park Jimin untuk membeli rumah baru ditahan oleh istrinya. Terlalu malas menghabiskan uang yang pada dasarnya begitu banyak sekali. Bagaimana tidak, Jimin adalah pewaris rumah sakit ternama di kota Seoul sedangkan istrinya adalah pewaris kekayaan perusahaan YJ Fashion yang semakin merambat di dunia stylish dan mode.
"Aku membelinya untuk kita. Untuk kau dan aku. June dan Jina."
Pasangan itu masih menyelimuti diri di balik selimut tipis musim semi. Dengan menanggalkan pakaian mereka beberapa waktu lalu melaksanakan private skidipapap sawadikap bersamaan. Yang satunya sibuk memfokuskan kedua jari jempolnya memainkan game di ponsel sambil duduk di dashboard ranjang. Sedang yang satunya masih berbaring, mengaitkan lengan kanan pada pinggang si suami.
"Lalu rumah ini bagaimana? Kau mau menjualnya?"
"Kita bahas ini nanti saja, sayang. Aku sed-"
Secepat kilat wanita itu menarik ponsel yang berada tak jauh dari wajahnya, mematikannya dan menaruh di atas nakas. Ia sudah kesal. Padahal, lelaki itu tak pernah suka jika disuruh bermain game, bahkan di paksa sekalipun. Akhir-akhir ini seorang Papa mendapat tugas menyenangkan putra putrinya tidak berebutan ponsel. Mengajari kedua malaikat kecilnya dengan pasir kinetik sementara ponsel yang semula digunakan sebagai media tonton Play-Doh di YouTube diambilnya. Papa yang bijak sekali.
"Kalau masih berbicara denganku sambil bermain game, aku tidak akan mau tidur lagi denganmu."
Ancaman yang menarik sekali.
"Kenapa sering marah-marah sekarang? Setiap hari kau seperti wanita yang tidak habis masa periode."
Lekas wanita itu memuncak, kesal dan ingin memuaskan diri meninju suaminya. Ia menyingkap selimut hendak membalut dirinya yang tak ditutup sehelai benangpun, si suami berteriak.
"Jane! Aku juga butuh penutup!"
"Kau kan hanya punya satu hal, sedangkan aku tiga hal, tanganku tidak akan cukup ku gunakan sebagai penutup. Lepas dulu!"