11 : Demam (발열)

732 110 76
                                    

Semua berlalu seperti keinginan.

Dua hari menahan diri untuk tidak saling berbicara di bawah atap yang sama dan memilih pecah ranjang menghadapi situasi malam seorang diri. Bukan Jimin yang memilih ini terjadi, tidak pernah terbersit dalam benak untuk berlaku demikian. Istrinya memilih penyelesaian kekacauan begini, terlalu kekanak-kanakan dan tak mau disalahkan. Sebenarnya, Jane mau saja disudutkan atas kondisi runyam ini, tetapi ia lebih menuruti permintaan sang suami yang ingin menyendiri. Wanita itu salah maksud.

Pagi buta Jane terbangun dengan tubuh bergetar menahan batuk, berjalan sepelan mungkin membuka daun pintu agar tak membangunkan kedua anaknya yang terlelap pulas sembari memeluk boneka beruang besar kesayangannya. Soal Tata, boneka berkepala merah itu sudah disimpan dalam laci oleh sang bunda agar tak menambah kisah begini dan begitu yang akan keduanya sampaikan pada sang ayah. Ini bukan kondisi bagus. Belum. Masih terlalu panas.

Kadang Jane melirik ke pintu kamarnya yang dinaungi oleh sang suami sendirian sebelum mempercepat langkah turun ke lantai bawah. Sejak semalam ia bersikeras menahan lapar karena tak mau bertatap wajah dengan Jimin, memilih tidur dengan perut keroncongan. Bisa-bisa lambungnya kumat lagi yang berakhir penanganan medis, sudah jelas ia akan dirawat oleh siapa dan bagaimana perawatannya. Jane lupa berpikir ke tahap itu. Kendati demikian, hari ini tubuhnya memang sedikit terasa lelah dan memutuskan mengambil cuti lagi. Jane harap tantenya tidak akan mengusir langkahnya esok hari begitu menginjakkan kaki ke lantai perusahaan.

Usai memaksakan diri memainkan tangan di kompor, pagi buta itu menjadi keajaiban bahwa dirinya berhasil memanaskan nasi semalam untuk dilahapnya sebelum menggoreng sosis sapi kepunyaan June dan Jina. Mau bagaimana lagi, kondisi tubuhnya sungguh bermasalah. Jane itu jarang sekali sakit, sama seperti yang lainnya. Sekali sakit seolah hampir mati. Biasanya ada bahu kosong yang menyediakan tempat meneduhkan air mata, kali ini Jane berusaha untuk bisa berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain.

Seketika semuanya berantakan kala tak sadar sosis di atas perapian teflon justru gosong berubah warna. Ia mematikan kompor cepat dan menepis logam panas itu hingga mencium lantai. Suara keras tubrukan itu terdengar jelas.

"Ada apa, Jane?" Suara di belakangnya itu Jimin. Sudah lama ia berdiri di ambang pintu menyaksikan kecerobohan istrinya yang melampiaskan segala hal pada apapun.

"Aku akan bayar. Kau tak perlu memarahiku. Aku tak suka."

"Yang memarahimu siapa? Aku hanya bertanya, sayang."

Jane tidak menjawab. Tubuh yang masih bergetar menahan batuk kecil itu menunduk membersihkan bekas minyak penggorengan yang tercecer di atas lantai kayu licin, mengambil teflon dan meletakkan di wastafel. Ia tidak ingin berbalik badan yang nantinya mereka akan saling bertatapan kemudian berbaikan. Jane mudah sekali diluluhkan hanya dengan sikap suaminya si penggoda ulung. Suaminya tahu betul bahwa dirinya anti kata maaf. Jane hanya akan melunak ketika diberi sedikit sentuhan mematikan. Baik itu tatapan atau senyuman di pagi hari.

Tapi, ini bukan sepenuhnya salah Jane. Jimin belum menjelaskan apapun mengenai cincin itu.

"Kau sakit, Jane? Aku akan mengambil peralatan medis dulu. Sebentar," kata Jimin mendekat beberapa langkah menghampiri istrinya.

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Jalang itu lebih membutuhkan dirimu sekarang. Kenapa tidak mencoba mengajaknya kemari untuk menemani tidurmu semalam? Kau kesepian tidur sendiri kan? Jangan membohongi dirimu."

Untuk sesaat Jimin belum memberi jawaban. Masih setia mendengarkan setiap untaian kotor yang keluar dari mulut manis itu. Ia tidak mau menambahkan. Lagipula keadaan hatinya sudah membaik setelah dua hari berlalu. Tubuhnya didatangkan pada sang kekasih, mendekapnya hangat, atau justru menjadi panas.

"Biar aku yang membuat sarapan, semalam kau tidak makan, Jane. Aku sampai tidak bisa tidur memikirkan itu. Kalau kau sakit siapa yang akan memakaikan dasiku sebelum ke rumah sakit?"

"Suruh saja jalang itu memakaikannya!" ujar Jane sembari tangannya terus meminta dilepaskan dari pelukan. Ia hanya tidak mau suaminya ikut jatuh demam seperti dirinya sekarang ini.

"Dia sudah bersuami, Jane. Kemarin aku hampir bodoh karenamu dan mendatangi bar. Menghabiskan lima botol minuman lalu wanita itu membawaku ke kamarnya sambil menunggu jemputan. Aku marah sekali pada Taehyung sudah merebut asetku lagi, sampai cincin kita menjadi korban. Maafkan aku, ya. Aku ini terlalu egois."

Jane sudah tahu kebenaran bahwa dirinya lebih hina ketimbang suaminya yang menghabiskan minuman bersama wanita tak bersalah. Sedikit dirinya menjadi luluh tapi tidak sepenuhnya. Begitu keras kepala menginginkan lebih, ingin suaminya kembali berlutut meminta maaf padanya. Konyol memang, tapi ia tidak mau 'diam dua hari' menjadi sia-sia.

"Tubuhmu panas sekali. Kau demam. Kita ke kamar ya?"

"Tidak."

Untuk kali ini, Jimin tak mau mendengarkan penolakan. Harusnya di sini ia berhak marah karena istrinya tidak berusaha menjelaskan apapun mengenai insiden sialan di restoran. Ia melepas pelukan dan menarik piyama tidurnya ke atas hingga menampakkan belahan roti renyah yang menggiurkan, Jane sampai salah tingkah dan memalingkan wajah.

"Buka bajumu, Jane. Aku akan menarik panasnya."

Pernah, saat itu Jina demam dengan ingus yang membanjiri belah pipi putihnya. Langkah yang dilakukan oleh Jane adalah membuka baju gadis kecil itu keseluruhan dan menyuruh suaminya ikut melakukan hal yang sama. Kemudian sang ayah dan sang anak saling mendekap membiarkan panasnya turun ke si ayah. Hal itu manjur sekali rupanya. Meski keesokan hari, Jina kembali bermain hujan dan berbaring kali kedua di atas kasur.

"Kau berpikir terlalu lama, sayang. Kemari biar aku lakukan."

"Jimin! Tidak bisa! Kau dokter atau apa? Minggirlah, aku mau ke kamar." Jane menyingkirkan tubuh yang tidak berbalut baju itu, bergegas ke lantai atas untuk kembali beristirahat.

Jimin segera menarik lengan itu kala hendak membuka kamar yang salah. Membawanya masuk ke kamar mereka yang letaknya bersebelahan, mengunci pintu dan menaruh benda itu di mulutnya sambil menyuarakan 'nyam' pertanda kunci logam itu sudah ditelannya padahal di loloskan ke lantai begitu saja hingga berbunyi. Dirinya perlahan mendekat pada wanita yang langkahnya mundur dengan matanya melotot, bibirnya tersenyum mencandai. Hampir saja Jane tertawa melihat ekspresi menyebalkan suaminya. "Datang pada Oppa atau Oppa yang akan menarikmu? Hm?"

Akhirnya tawa Jane pecah kala itu. Sungguh, Jimin membuat wajahnya teramat lucu mengalahkan kedua anaknya. Sampai lelaki itu berhasil mendekapnya dan menaikkan tubuh demam itu ke atas pinggangnya. Tertawa bersama dan mencuri satu ciuman pagi yang tidak didapat sudah beberapa hari.

"Nanti kau sakit, Jimin! Jangan melakukannya."

"Di sudut bibirnya saja. Aku janji tidak akan meminta lebih."

Pintarnya wanita itu mengangguk dan membiarkan sang suami menindurkan tubuhnya perlahan di atas kasur yang sudah tak dikenalnya dua hari. Jimin menepati janji, hanya membasahi dagu kecil milik sang istri yang akhirnya menurun ke segala sudut sampai lupa ia berkata apa sebelumnya.

"Dasar lelaki! Tidak bisa dipercaya."



[]

Semangat bangtan!

Xoxo,
Icapark.

Xoxo,Icapark

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
JIMIN AND JANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang