Jimin pergi.
Benar, lelaki itu memang berniat keluar dari kamar usai menyiksa mahkota terpenting istrinya itu. Satu-satunya tempat rekreasi indah yang sering dikunjungi kala malam sudah tiba. Menghabiskan waktu hanya untuk memandang keindahan merekah bak mawar di musim semi. Sayangnya, museum itu—katakan saja begitu—nyaris bangkrut sebab pemiliknya jatuh sakit. Jangankan untuk bangun selangkah saja menahan suaminya, untuk merapatkan kaki agar berbaring sempurna dari posisi duduk yang tidak beraturannya begitu sulit.
Pantas untuk dirinya menyebut suaminya sialan.
Bukan sekarang waktunya.
Jane punya sedikit waktu sebelum suaminya meraih knop pintu kemudian membuka lalu pergi. Berbagai cara dalam waktu singkat mungkin tidak akan berhasil sebab dirinya tak kuasa untuk menarik lengan suaminya berhenti di tempat. Jane hanya mampu mengendalikan suaranya. Berteriak pura-pura sakit yang memang sakit sebenarnya.
Jimin memutar wajah melihat istrinya setengah berteriak, tangan yang baru saja menyentuh gagang pintu berpindah turun lalu melangkahkan kaki menyapa sang pujangga yang sedang meringis sakit. Ia ikutan prihatin. Semua salahnya.
Begitu berhasil membuat Jimin sampai di tempatnya berbaring duduk, Jane memegang kuat lengan kekar suaminya agar tak berusaha lolos lagi. “Aku tidak suka seseorang pergi tanpa kejelasan. Pergi artinya tidak boleh kembali. Ini kasus kedua. Jika kasus pertama kubiarkan kau merindu dan aku kembali maka tidak kali ini. Jelaskan dan jangan pergi. Ini perintah. Kalau tidak, kapten June dan Jina akan kukerahkan untuk mengeroyokmu di tempat. Mati mengenaskan. Mau?”
Di sela tangis Jimin tertawa kecil. Meraih tangan istrinya yang kedinginan sebab pendingin ruangan lalu mengecupnya pelan sekali. Begitu hangat. Wanita di luar sana bahkan sampai iri pada Jane yang memiliki suami seperti Jimin. Romantis tak terkalahkan. Pengertiannya bahkan mampu mengalahkan suami manapun. Memangnya siapa lelaki yang mau punya istri cantik namun tidak bisa apapun? Memasak tidak bisa, mencuci piring suka pecah, kadang pelupa mematikan keran air sampai kamar mandi banjir, memanaskan air sering lupa mengeceknya sampai wadah mengering menimbulkan api untung saja tidak kebakaran. Belum lagi tidak bisa menyapu dengan benar luar halaman dan dalam rumah. Jika suaminya meminta adanya asisten rumah tangga segera wanita itu menjawab, “Kau pikir aku tidak bisa ya?”
Jane beruntung. Sudahlah, wanita itu memang beruntung. Mau diapakan juga suaminya tak akan meninggalkannya. Entah kepala yang sekeras batu, pikiran yang terlalu egois, atau kadang sifatnya yang temperamental. Jimin tetap suka. Mau bagaimana lagi. Cinta memang buta.
“Sayang ... aku tidak bisa menjelaskan apapun padamu. Aku memintamu untuk percaya padaku. Aku baik-baik saja.”
Biasanya orang terus mengatakan baik-baik saja untuk melindungi seseorang yang dicintainya. Padahal di balik itu semua tersimpan ketakutan besar sekali. Jane bukan cenayang. Entah kenapa kali ini ia terus mempercayai suaminya dan menebak apapun dalam kepalanya.
“Aku bahkan tidak bertanya kabarmu. Jawabanmu seolah aku bertanya 'apa kau baik-baik saja?' ada apa ... katakan padaku selagi aku mau mendengar. Katakan. Kalau tidak maka aku mempersilahkanmu pergi dan jangan kembali. Ini perintah, kalau tidak aku akan menyuruh June—”
Ucapan Jane terpotong karena Jimin yang segera mengecup bibirnya. Hanya sekilas.
Jane sukses diam. Jantungnya masih terasa sulit menerima ciuman dadakan begini. Rasanya malu sekali. Hal begini seringkali terjadi pada dirinya begitu usai bermarahan dengan sang suami. Mendapat hal romantis yang mengejutkan rupanya mampu menambah degupan sendiri.
“Jane ... kau lebih baik tidak tahu apapun.”
“Katakan atau tidak sama sekali. Kau boleh pergi dan jangan—”
![](https://img.wattpad.com/cover/131234601-288-k849313.jpg)