21 : Musim Gugur (가을)

651 117 94
                                    

Hari pertama musim gugur sudah tiba.

Langit yang biru, hari yang cerah, dan malam yang sejuk secara bertahap menghiasi bukit yang ditumbuhi pepohonan dengan beragam nuansa warna antara kuning, jingga, dan merah. Pada musim ini, pohon-pohon yang selalu hijau seperti cemara dan aras menjadi paduan yang sangat serasi bagi warna merah dan kuning terang dari pohon-pohon lain yang meranggas.

Sebuah karya seni ciptaan alam.

Banyak taman nasional di Korea mencapai puncak keindahannya pada musim ini. Jadi, surat kabar memberi tahu masyarakat tentang waktu yang paling tepat untuk melihat warna-warni musim gugur. Soraksan, salah satu taman nasional yang paling terkenal di Korea, menjadi tujuan favorit. Tebing-tebing granitnya yang terjal dan batu cadasnya yang menjulang berhiaskan pohon-pohon pinus tampaknya merupakan lanskap yang khas di Asia. Pada musim gugur, monolit-monolit granit di Soraksan dikalungi pohon beech dan maple yang berwarna merah menyala. Dan, sewaktu monolit-monolit ini menyembul dari lautan embun pagi, orang yang bangun pagi dihadiahi pemandangan yang tak terlupakan.

Dengan begitu, tak hanya di luar rumah saja kebahagiaan gugur menyelimuti.

Katakan saja June dan Jina, kedua kembar tak identik itu baru saja menginjak usia baru. Empat tahun. Tak ada harapan dari orang lain selain berubahnya sikap mereka. Para tetangga bahkan ikut mendoakan yang satu itu segera terkabul, takut jika tanaman di halaman rumah mereka kembali gundul tak tahu sebab. Tahu sih sebenarnya siapa dalang dari ini semua, tapi mengingat kedua orang tua mereka adalah sosok tetangga santun, menghardik dan mencela double bocah ingusan malah jadi kesan segan tersendiri.

Namun, sebelum bercerita bagaimana meriahnya acara sederhana kedua bocah itu Jimin dan Jane sudah lebih dulu menyiapkan kue buatan mereka.

Jimin sudah bilang, beli saja, tapi Jane sedari lahir punya watak keras kepala sampai tak bisa memberi dispensasi pada sang suaminya. Kekeh mau belajar menciptakan mahakarya pada kue anaknya yang berujung gagal.

Begitu Jimin membenarkan resep yang tertulis di buku, buru-buru Jane menepis tangan suaminya yang hendak menambahkan satu sendok tepung coklat sebagai pewarna. Jane lebih tahu. Sok tahu mungkin.

“Nanti kemanisan. Jangan tambah lagi,” kata Jane.

Jimin malas berdebat. “Ini katanya sebagai pewarna tambahan sayang, tepungnya hambar. Pemanisnya kan sudah ada di coklat leleh. Kau tidak baca resep ya.”

Jane mendengus kesal. “Tidak selamanya buku petunjuk memberi kebenaran 100% kau harus berhati-hati.” Ia tertawa tipis.

Jimin menyudahinya. Melepas apron yang melekat pada tubuhnya dan menaruhnya di gantungan. Selepas itu, secara diam-diam ia menghubungi sebuah Cafetaria dan memesan kue ulang tahun yang tidak terlalu besar tapi tidak pula terlalu kecil. Memangnya siapa yang sanggup menghabiskan kue nanti, terlebih Jimin bukan lelaki penyuka kue. Suka sekadar suka. Tak sampai memfavoritkan. Berbeda sekali dengan istrinya. Suka menyicipi tapi tak bisa memasak.

Perbedaannya tak jauh.

Sementara membiarkan Jane melumuri tangannya dengan tepung, Jimin beralih ke wajan penggorengan. Rencananya mau menggoreng paha ayam yang digemari oleh kedua anaknya. Membuka kulkas lalu mengeluarkan tepung Kentucky diikuti dua paha ayam yang lumayan besar. Menghidupkan kompor dan menunggu.

Tak diduga, dua lengan cantik jenjang memeluknya dari belakang. Sebenarnya dapur tempat Jimin hendak menggoreng dan posisi meja adonan kue tak jauh. Tentu saja Jane punya insting salah tangkap yang memikirkan bahwa suaminya sedang mencoba kesal padanya.

“Jangan kemari, ada cipratan minyak dan asap yang akan muncul begitu aku menggoreng ayam.” Jimin memutar tubuhnya ke belakang sampai membuat Jane ikut berpindah posisi bersidekap depan dada suaminya.

“Sayang padaku tidak?” tanya wanita itu berupaya menggoda.

Mau tidak mau Jimin tersenyum, membungkuk memberi ciuman singkat pada kening sang istri. “Istriku mau jawaban yang berbeda ya? Kau sudah pasti tahu jawabannya. Akan selalu begitu. Atau mau kujawab antonimnya sekali ini saja?” rayu Jimin sampai membuat kedua pipi istrinya menggembung.

Jane menggeleng kecil lalu berusaha membuka dua kancing kemeja yang suaminya pakai. Menaruh jari telunjuknya di sana lalu membuat lingkaran kecil. Tertawa manja seolah meminta Jimin untuk menyantapnya sekarang juga.

“Kalau mau terus begini nanti terlambat, Jane. Aku harus menggoreng dulu sementara kau menyelesaikan kuemu.” Perhatian yang Jimin berikan lagi-lagi mampu mengukir senyum manis di sudut belah bibir wanita itu. Patuh lalu melepas dirinya.

“Pahanya ada tiga, kan?”

“Di kulkas cuma ada dua. Mau aku gorengkan lebih untukmu? Bagian leher atau cekernya?” leluconnya boleh juga.

“Serius tidak ada pilihan lain? Aku mau sayap.”

“Aku tahu kesukaan istriku. Sudah jangan mengulur waktu.” Jimin membalikkan tubuh Jane agar menjauh darinya. Kembali fokus pada minyak penggorengan yang hampir berasap terlalu panas.

Bagi Jimin, Jane itu segalanya. Tak ada yang lebih indah dari seorang istri manja nan lembut dalam bersikap. Terkadang begitu, kadang juga akan berubah buas sesuai kondisi hati.

Wanita itu selalu benar, jika ada kesalahan yang menyudutkannya maka tolong jaga posisi berdirimu. Wanita akan berubah ganas jauh dari kemarahan singa begitu sadar kehilangan anaknya.

June dan Jina tampaknya tidak sabaran, beberapa kali mondar-mandir ke dapur untuk melihat bagaimana sang ibu menghiasi kue mereka. Maunya ada boneka panda kecil yang bertengger atas kue. Maunya ada sepasang barbie mini yang menancap di sekeliling kue dan bisa dimakan. Keinginan mereka cukup sederhana sekali. Tidak sebelum Jimin bertanya---

“June dan Jina mau hadiah apa nih dari Papa dan Mama?”

Keduanya saling memandang sebentar. “Adek baru!”

---Keinginan mereka jauh dari kata sederhana. Jimin dan Jane segera beruban. Dipastikan.

[]

Aku kesibukan baca Trial Marriage Husband, novel Cina yang partnya ribuan. Itu penokohan si suaminya macem Jimin, istrinya ga kaya Jane tapi wkwkw

Xoxo,
Icapark

JIMIN AND JANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang