15 : Mimpi (꿈)

658 112 84
                                    

Sekali lagi, tolong jangan lanjutkan baca apabila cerita ini tidak nyaman untuk anda.

No alert fo ths part ~

.

Jimin tidak berbohong. Dirinya serius menyiapkan sarapan pagi untuk ketiga malaikatnya, mencuci piring dan alat masak usai menggunakan. Tak lupa menyajikan dengan susu hangat kala itu. Menata rapi di atas meja, oh salah. Seharusnya ia membawa ke dalam kamar mengingat putranya sedang sakit dan istrinya yang dibiarkan tidur nyenyak tidak berniat mengganggu. Derita harus tidur di lantai permadani semalam begitu mengenaskan. Sudah cukup drama konyol ini. Ke mana sudah Park Jimin yang dulu. Bisa-bisanya patuh bak pelayan pada majikan padahal kodratnya lebih tinggi dibandingkan seorang istri. Ia kepala rumah tangga, berhak mengatur ini dan itu. Memang benar kata orang, lelaki lembek itu bisa terus-menerus kalah dengan wanita keras kepala, kasar pula. Jimin payah sekali sekarang. Tenaganya hilang begitu saja.

Sementara itu, Jane sendiri masih bergelut di bawah selimut atas ranjang miliknya. Jimin berusaha keras menggendong tubuh itu pindah kamar agar tidurnya lebih nyaman. Sekilas raut wajah wanita itu tertidur begitu ketakutan. Keringatnya mengucur deras diikuti kedua alis nyaris bersatu. Suara isakannya terdengar samar namun mampu ditangkap oleh Jimin. Sedang bermimpi apa memang? Lelaki itu bermonolog pada dirinya sendiri. Sempat cemas dan takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan. Dirinya melangkah cepat menghampiri sang wanita yang mulai menaik turunkan dada menarik napas. "Sayang, bangunlah."

Berkali-kali Jimin menggoyang tubuh istrinya namun tak kunjung berhasil. Wanita itu masih sulit mengatur napas dan memejam mata kuat hingga kerutan mata masuk begitu dalam. Mulai meleleh dan menangis, tetesan air mata itu terus jatuh tak tahu kenapa. Berhasil sadar karena sang suami yang mendekap begitu kuat, Jane membelalakkan mata tak percaya. "Jim-in? Hiks... aku melihatnya lagi sayang. Semua itu tampak nyata sekali. Kau dan dia... itu sangat mengganggu. Aku takut...."

Jimin masih mencoba menebak apa maksud perkataan istrinya. Menerawang ke masa lalu di mana wanita itu pernah mengucap kalimat begini. Tentu saja semua ini berkaitan dengan Anna, sekretaris pribadi Jane yang nyaris merebut hati seorang Park Jimin kala itu.

Tapi mimpi ini... begitu menyisakan banyak pertanyaan.

"Jane, ini karena salahmu menyuruhku tidur di lantai semalam. Kau bermimpi aneh. Tolong lihat aku sayang...." Tangan Jimin keduanya menangkup pipi Jane pelan, mereka saling menatap bingung. "Park Jimin yang ada dihadapanmu hanya milikmu seorang. Hanya milik Jane Hwang, edisi terbatas. Satu-satunya Tuhan takdirkan bersamamu. Kenapa jadi ragu begini? Jane... kau mudah sekali terpengaruh. Aku tidak mau begitu, kau adalah separuh jiwaku. Kau adalah segala-galanya milikku. Aku sangat mencintai istriku. Apapun itu... aku memilihmu, Jane."

Jane memang mudah terkontaminasi. Pengaruh buruk yang belum terselidiki asal usulnya dengan cepat membuat dirinya percaya begitu mudah. Wanita itu percaya pada mimpi, kejadian yang tidak diramal sebelumnya. Konyol sekali. Tangannya berusaha mendorong Jimin sedikit menjauh. Posisi duduk di atas ranjang saling berhadapan tanpa celah bukan kondisi baik usai merekam jelas mimpi tak lulus sensor tersebut.

"A...ku... takut. Kau bahkan bersenggama dengan wanita lain tepat di hadapanku. Memasuk keluarkan lebih panas dari yang kau lakukan bersamaku. Kau menikmatinya! Menyebut namanya kelewat tulus, terlebih-"

Memang harusnya dihentikan. Jimin mengupayakan bibirnya kelewat rakus sembari mendorong wanita itu sampai jatuh berbaring sempurna di kasur. Melepasnya sebentar sembari berucap, "Kau belum sarapan kan, sayang? Kau juga dehidrasi sampai memimpikan lelucon itu."

"Jimin...."

"Semalam aku memeriksa June berkala, demamnya sudah turun. Jina masih tidur usai menyuruhku menemaninya ke kamar mandi pagi buta. Dia berteriak di telingaku agar mengantarnya. Padahal aku baru saja memejam mata kurang lima menit. Aku memeluk putri kita, mengusap punggungnya sambil memelukku. Aku ingin menjadi ayah yang baik bagi kedua anakku. Aku begitu mencintai mereka sampai rela menjual nyawaku sekalipun. Tak ada masalah dengan itu asal mereka bisa menggapai masa depan indah. Terkadang aku sempat berpikir setelah menyibukkan mata di depan televisi, setiap lelaki akan jatuh cinta pada wanita si peran utama. Baik, santun, ramah, cantik, bisa diandalkan oleh semua orang. Pikiranku terus bertanya pada hatiku, apakah ini sebuah kesalahan hingga diriku sendiri memilih dirimu? Berkali-kali pikiran setan itu terus merasuki diriku. Aku tidak mengendalikan perasaan itu. Yang aku inginkan setiap kali membuka mata pagi hari hanyalah memandangmu. Mengecup bibirku sambil mengucap kata manja. Aku... hanya mencintaimu, Jane."

Sekilas itu mengharukan. Sekilas itu ketulusan yang menyayat hati. Sekilas Jane mungkin akan menangis usai menelaah semua maksud suaminya itu. Sebenarnya ia begitu, mereka itu sama perihal memaknai kalimat puitis dari sang pasangan. Kendati demikian, Jane masih takut. Setiap mengulang kilas balik suaminya yang tidak menggunakan pengaman, bermain di hadapan matanya, terlampau sakit sekali. Hatinya meringis pilu. Ingin berteriak memaki mimpi yang baru saja datang kembali.

Jane tahu sekali bahwa suaminya tidak akan berlaku demikian, pun begitu pula dengan Anna. Kejadian di masa lalu hanya deretan kesalahpahaman fatal. Sudah seharusnya dibuang dan tak diingat lagi.

Menyadari sang istri yang terus terdiam, Jimin berinisiatif lain. Posisinya yang masih duduk di sebelah Jane terbaring ikut merendahkan tubuh dan mengambil kedua tangan dingin itu menguncinya ke samping tubuh. Sempat menatap satu sama lain sejenak sebelum Jimin mendekat nyaris menempelkan hidung ke hidung.

“Aku tidak berselera... Tolong minggir.”

Tentu kalimat begitu sudah sering terjadi dalam rumah tangga yang dipenuhi keanehan ini. Jimin menyunggingkan bibir begitu sinis, terlalu malas mengurusi tingkah kekanakan begini. “Kau yakin sudah tidak berselera pada suamimu? Kita lihat semana kau akan bertahan, sayang.”

Kali itu Jimin sungguh. Tidak bermain-main dengan ucapannya yang kelewat tegas. Tangan yang sudah duluan dikunci begitu kuat menambah poin tersendiri bagi dirinya, wajahnya mendekat begitu saja pada lekukan leher yang menjadi kelemahan wanita itu. Mengusap hidung di sana tanpa ampun. Membasahi liur sedemikian rupa sampai memerah keseluruhan.

Jane memang tidak berontak. Ia memang menikmati setiap kali service premium VIP itu meluncur ke segala titik ternikmatnya. Ia bahkan mendesah dan menyuruh berhenti. Siapapun pasti tidak bisa berkutik kala seorang Park Jimin mengeluarkan seluruh kendali andalannya. Bahkan para wanita luaran sana rela menunggu giliran berapapun bayarannya untuk mendapat service begini rupa. Ini hanya milik Jane seorang. Harusnya begitu, sayangnya, wanita yang satu ini terlalu jual mahal.

“Hentikan Park Jimin!”

Bagai mendengar lonceng kematian, Jimin menjauh sebelum melihat berapa banyak sudah bintang indah yang melekat di leher jenjang itu. Memandang bagaimana wajah istrinya memerah menahan malu dan amarah.

“Jane, bisa kau jelaskan mengapa kita harus terus bertengkar dengan hal sepele—”

“Kau anggap tidur dengan wanita lain adalah sepele?!”

“Itu hanya mimpi, sayang. Kau bodoh atau apa? Apa kau pikir aku berselera meniduri wanita lain selain istriku? Apa kau pikir aku berselera melakukan skinship selain denganmu? Maaf sekali, aku tidak begitu murahan membiarkan wanita lain menyentuh apapun dariku. Aku hanya milikmu, Jane.”

Hiks.

Jane menangis, secara tidak langsung suaminya sudah menuduh dirinya terlalu jauh bertindak pada mantan kekasihnya yang kembali muncul saat itu. Jane memukul-mukul dada bidang suaminya kelewat pelan, mendorong seolah tak mau melihat lelaki itu lagi.

Jane pernah berada dalam kedewasaan. Pernah pula kembali kekanakan. Dan sekarang segala sikap itu tak bisa didominasi. Jane keras kepala sekali. Tak mau mendengar apapun jika sudah kena dirinya sendiri. Egois sekali.

“Bangun, Jane. Aku sudah menyiapkan sarapan. Kau harus mengecek keadaan June lagi. Mau kugendong tidak?”

Jane menggeleng.

“Aku sudah mengurus tiket penerbangan ke China lusa. Kita akan pulang ke rumah nenekku. Kalau demam June masih belum berkurang, aku akan membatalkannya.”

Jimin mengakhiri kalimatnya dengan satu kecupan manis lebih dari karamel leleh. Kemudian bangun dari ranjang dan melesat keluar dari kamar. Terus berjalan sampai menuju kamar sebelah. Melihat kedua anaknya yang masih berbalut selimut belum bangun. Dilihatnya wajah June masih begitu pucat.

Jina yang menyadari kehadiran sang Papa membuka mata ketakutan. Mundur dari posisi tidurnya sedikit menyentuh punggung ranjang. Bibirnya ikut menurun hendak menangis.

Jimin yang melihat itu kebingungan. “Sayang, ada apa?”

“Papa itu vampir jahat! Mama sampai menangis karena Papa menggigit leher Mama! Jina tidak suka Papa lagi! Huwaaaa.”

Oh, kesalahan fatal tidak menutup pintu di pagi hari.

Sediakan payung sebelum hujan. Pastikan kondisi sebelum bertindak.


[]

Xoxo,
Icapark.

JIMIN AND JANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang