Jina masih merenggut sejak tadi. Tidak mau membalas pertanyaan sang Papa terlebih ajakan sarapan bersama di pagi hari pukul delapan. Hampir kesiangan jika kau tinggal di negara Korea. Ia bahkan berusaha membangunkan June untuk mengajak bersekutu membuka topeng yang dikenakan oleh sang Papa. Perihal vampir masih terekam jelas di memorinya saat itu. Untuk anak berumur tiga tahun tentu mereka tidak paham sepenuhnya bagaimana yang dikatakan vampir, apalagi vampir tampan. Jina itu terbilang tidak tahu apa-apa. Ia bersama June hanya pernah men-download sebuah game zombie dan kala itu sang Papa menjelaskan sedikit mengenai dunia makhluk berdarah dingin; vampir.
Spontan itu dianggap spoiler oleh Jina bahwa sang Papa merencanakan kejahatan di muka bumi memberantas kaum wanita, ibunya. Anehnya, bocah itu hingga kini masih kebingungan tanpa kejelasan. Ingin bertanya namun kekesalan menyulutnya mengeluarkan suara. Yang diperlukan saat ini hanya menunggu June sehat total kemudian mengatur misi semulus mungkin.
Jina yang berada dalam kamar June masih berupaya keras membangunkan kembarannya itu. "June, kau tahu tidak kenapa panasmu belum turun? Kemarin aku ingat saat Papa-eh, vampir itu maksudku, dia menggelitik perutmu dengan wajahnya, kan? Aku yakin dia menaruh racun makanya kau belum sembuh!"
Mata June seketika membulat dari posisi berbaringnya. "Vampir? Kau sekarang tidak mau berteman denganku lagi ya? Kau lebih suka pada monster?"
"Ah, malas! June tidak paham, sih! Lihat saja leher Mama berwarna merah. Tadi aku melihat Papa menindih Mama di kasur. Terus ... Mama menangis karena kepala Papa di lehernya. Papa itu vampir! Dia sudah menggigit Mama! Nanti malam pasti Mama demam sepertimu, lihat saja kalau tidak percaya."
Wajah June tergambar jelas kecemasan, ia segera menyibak selimut dalam kondisi kurang pulih, bibirnya masih begitu pucat sebab suhu tubuh terlalu panas, ia melangkah cepat bersamaan dengan Jina sambil mengendap-endap di belakang kursi sofa menyaksikan kedua orang tua mereka yang sedang bertengkar. Niatan untuk berlari dan memarahi sang Papa terhenti. Rasa takut yang sebelumnya tidak ada justru muncul kala mendengar apa yang mereka bicarakan; orang tuanya.
"Sudah kubilang aku tidak mau kau pergi, Jimin!" teriak Jane yang berdiri di ambang pintu rumah bersamaan dengan Jimin.
"Aku harus, mereka membutuhkan suamimu. Hanya sebentar, satu minggu. Setelah itu kita akan ke China. Aku janji."
Penuh rasa sayang lelaki itu meraih kedua tangan istrinya, merematnya pelan kemudian membawanya ke bibir. Mengecup di sana tanpa meninggalkan bekas liur. Buru-buru sekali wanita itu menarik tangannya dari sang suami, membuang wajah ke samping guna menyimpan kekecewaan yang besar sekali.
Mereka sudah membeli tiket penerbangan, sudah waktunya bersiap-siap apalagi kesehatan putra mereka kunjung sembuh. Bahkan Jane sendiri sudah berencana membawa Jina ke sebuah salon langganannya sebelum kepergian mereka ke kampung halaman nenek Jimin.
Keputusan Jimin bulat, tidak bisa diganggu gugat. Secara mendadak ia mendapat telpon dari pihak rumah sakit ada penembakan teror di sebuah desa tak cukup jauh. Butuh beberapa tenaga medis untuk dilayangkan ke desa tersebut. Namun, Jimin sendiri tak mau membuat dokter lainnya bepergian tanpa dirinya. Jimin adalah ketua, dia harus ikut dan memberi arahan pada bawahannya. Semua memang begitu terburu-buru sampai-sampai dirinya hampir lupa berpamitan pada kedua anaknya.
"Jika kau melangkah satu saja maka kita selesai!"
Jane memang egois. Semua pun tahu. Harusnya di sini dirinya tak menjadi peran utama. Tapi Jimin terlalu cinta, mau bagaimana lagi.
"Oh, sayangku. Hah ... aku janji kita akan sering menelpon. Kita akan melakukan video call setiap waktu. Tolong izinkan aku pergi, sayang. Aku melakukan ini demi istriku, demi anak kita."