Orang pikir, dengan kekayaan yang dimiliki keluarga Jane juga Jimin yang tak ada habisnya mungkin akan membuat acara semeriah mungkin. Entah itu mengundang seluruh rekan bisnis atau menyewa gedung di salah satu hotel bintang lima.
Jane suka sekali barang mewah tapi yang tidak berkilauan. Lebih suka penampilan sederhana namun mengundang aroma uang puluhan juta. Sering memakai baju kaos polos kebesaran, tebakan taksiran pun mungkin tak melebihi harga ratusan ribu. Siapa sangka justru pakaian yang sederhana itu mampu mencetak harga fantastis.
Tak terkecuali dengan Jimin. Punya selera yang sama dengan sang istri membuat keduanya tahu bagaimana cara menata gaya hidup agar tak membuat beberapa kalangan di bawah mereka ikut bersedih hati.
Pasangan ini suka sekali menyumbang uang atau bahan pangan kepada yang membutuhkan. Maka hal itu sudah diajarkan lebih dini pada kedua putra putri mereka.
Hidup ini timbal balik. Tidak tahu bagaimana keberuntungan sepuluh tahun ke depan yang pasti di masa lalu kita sudah berjuang membantu sesama. Roda kehidupan terus berputar. Keuntungan dan kerugian terus campur aduk ikut memaknai hidup ini.
Pada hari ini, tidak ada undangan yang tersebar. Tidak ada tawa riuh dari sekumpulan bocah yang menghadiri pesta ulang tahun sederhana ini. Untuk kebisingan rumah, Jane dan Jimin tak perlu bantuan dari tetangga karena kedua bocah ingusan itu sudah lebih dari cukup.
Rumah seperti pasar ikan.
“Mama Mama cepat bawa kuenya! Aku mau makan!” teriak June lebih dulu sembari terus menarik apron yang melekat di tubuh sang ibu.
Tak terkecuali dengan Jina, tanpa sepengetahuan siapapun ia sudah mengolesi buttercream tujuh warna pada alas meja. Pikirnya dalam hati, ia akan melukis meja menjadi pemandangan yang indah. Seperti permainan yang ada di hapenya.
Jane baru saja memotong kue menjadi empat lapis kemudian berencana mengolesinya dengan buttercream putih. Melihat bagaimana meja di dekatnya sudah menjadi praktikan melukis ia berteriak, “Jina!” Gadis kecil itu tersentak menyadari kemarahan sang ibu. Spatula yang dipegangnya jatuh ke lantai kemudian ia berlari pada sang ayah yang sedang menghias piring berisikan dua paha ayam.
Jane berlebihan. Kue yang berada di depannya dihancurkan dengan tangannya sendiri. Jane menangis kesal pada putrinya. Kakinya menghentak dua kali ke lantai sembari menatap suaminya. Memalukan sekali.
Harusnya pertunjukan langka ini tidak harus ditonton oleh kedua putra putrinya. Jina yang awalnya ketakutan justru tertawa kecil bersamaan dengan June. Mereka berdua berlari-lari kecil mengelilingi dapur seraya berucap, “Mama cengeng ... Mama cengeng.”
Sebenarnya Jimin mau bernyanyi mengikuti bocah-bocah. Tapi resiko besar akan hadir jika ia melakukannya. Lekas dirinya berjalan tiga langkah dan mendekap istrinya. Kalau begini terus sudah pantas sekali ia menjuluki dirinya sendiri sebagai baby sitter.
“Jimin ... kuenya hancur.”
“Kau yang menghancurkannya, sayang. Kan aku sudah bilang jangan berperilaku kekanakan di depan mereka.” Tanpa disadari oleh Jane, Jimin memeluknya sambil menahan tawa.
Jane mengeratkan pelukannya dan tak mau lepas meskipun tangisannya mereda. Menutup wajahnya malu di dada bidang Jimin agar kedua anaknya tidak melihatnya lagi. Kalau ada topeng yang bersedia meluncur dari kamar ke lantai bawah mungkin akan lebih baik. Saat-saat seperti inilah sihir Hogwarts diperlukan untuk semua orang.