13 : Ketiga (세 번째)

668 116 99
                                    

“Kau puas, Jane?”

“Belum.”

“Apalagi Jane?! Kau tidak lihat isi dompetku menipis?! Kartu kreditku bahkan sudah setengah kau gunakan membeli barang tak berguna.”

“Kau pikir aku berusaha cantik untuk siapa? Wanita materialistis itu wajar. Memangnya kau mau punya istri tidak punya pergaulan dan kalah menarik dari istri teman-temanmu? Kemudian nanti lelaki akan mengoceh bahwa sang istri selalu tampil buruk saat di rumah yang berakibat terjadinya perselingkuhan dalam rumah tangga. Alasan lelaki tetap sama, menyalahkan si wanita tidak pandai mempercantik diri dan jatuh cinta pada wanita lain. Dasar payah.”

Jimin bungkam, tidak menjawab, membiarkan suasana diselimuti keheningan. Jika sudah berdebat dengan wanita, lelaki hanya bisa diam. Buang waktu jika dirinya memerintahkan si mulut untuk membalas beberapa pembelaan. Terlebih wanita itu seperti Jane. Wanita yang punya ambisi besar ingin selalu menang daripada sang lawan bicara. Tidak pernah mau mengalah. Kendati demikian, mereka saling suka dan saling memiliki.

Begitu perdebatan kecil usai, lelaki itu bergegas pergi mencapai mobil di parkiran. Melihat ke belakang sebentar ketiga makhluk yang amat disayanginya berjalan begitu lamban. Jane tampak begitu lelah dengan menenteng tujuh tas belanjaan tanpa bantuan darinya. Sengaja memang. Sementara kedua twins sejak tadi mulai merengek minta dibelikan susu karena kehausan. Kadang tangan mereka memukul kaki sang ibu dan menarik-narik tas belanjaan yang berisikan puluhan juta, mungkin juga ratusan.

Kala itu Jane nyaris menangis melihat suaminya begitu santai duduk di bangku supir dengan pintu dibuka, sengaja sekali memperlihatkan bahwa dirinya sedang punya waktu luang memainkan game di ponsel baru. Wanita itu datang menjatuhkan tas belanjaan dan tiba-tiba menjambak rambut sang suami. Jimin meringis sakit sembari menghentikan tingkah konyol dari tangan kepala desainer yang dikenal banyak orang. Bisa malu tentunya dilihat orang.

“Lepas, Jane! Apa kau tidak malu?!”

“Memang tidak! Urat maluku sudah duluan putus di malam pengantin kita. Aku lelah sayang, tidakkah kau merasa prihatin dan membantuku! June dan Jina sedari tadi menarik celanaku!”

Jimin menghela napas kasar setelah melepas diri dari wanita setengah gila. Bukan. Mana tega Jimin menamakan wanita tercintanya begitu. Poinnya, lelaki itu hampir membalas jika saja lupa bahwa mereka masih di luar rumah. Kewarasan lelaki itu masih bisa diandalkan. Nyatanya dirinya turun membereskan tas yang berceceran dan membuka bagasi mobil memasukkannya. Kemudian beralih pada kedua twins yang masih merengek tapi tak ada air mata yang keluar. Jelas sekali mereka sedang menipu kedua orang tuanya.

“Papa, aku mau susu.”

“Aku mau es krim!”

“Aku lapar, Papa.”

“Aku mengantuk hiks.”

Jimin itu sabar sekali memang, sosok lelaki yang diidamkan oleh siapapun untuk menjadi calon ayah benih di rahimnya. Terhitung sudah berapa kali dirinya berlari kesana-kemari membelikan apa yang keduanya minta dan membiarkan istrinya beristirahat gantian di dalam mobil. Tulang sendinya mulai berulah, keringat mengucur deras terlebih di bawah terik matahari demi membahagiakan anak-anaknya supaya tak menarik celana ibunya lagi. Tapi dirinya tak pernah mengeluh sedikitpun. Cukup melihat bagaimana Jane dan kedua twins tidur di kursi belakang bersamaan membuat senyumnya terukir manis.

“Sudah bangun?” tanya Jimin memastikan dan mendekat ke tepian ranjang tempat istrinya berbaring.

Jane membuka mata pelan dan menyadari dirinya sudah berada bukan lagi di mobil. Kira-kira berapa lama ia tidur sampai mendapat pertanyaan begitu dari suaminya. Semuanya tidak begitu penting saat tahu jemarinya ditautkan kuat oleh satu genggaman. Ia mengulas senyum lebar.

JIMIN AND JANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang