23 : Erotis

781 104 46
                                    

Jangan meniru percakapan buruk dari tokoh ✨

.

Sudah seharian June dan Jina menatap langit, berharap adanya pesawat salah jalur yang melintas dan berbaik hati menjatuhkan seorang bayi mungil untuk dijadikan adik mereka. Sebenarnya mereka sudah cukup baik saling berteman dan bergantung satu sama lain. Tapi, raja dan ratu tidak mungkin berkuasa jika rakyat jelatanya tidak ada. Dengan kata lain, adik baru mereka adalah calon rakyat jelata yang akan mendukung segala keputusan raja dan ratu.

Karena kelelahan terus mendongakkan kepala ke atas menatap langit dengan terik matahari yang menyilaukan, keduanya berjalan pada pohon yang mulai berguguran daunnya. Indah sekali. Keduanya tidur menatap langit. Masih terus berharap akan sebuah keajaiban dari pemilik semesta ini.

Ketika June hampir tertidur, Jina segera memukul dahi saudara kembarnya akan berjaga sedikit waktu lagi. “Papa bilang kan adek bayinya di pesawat. Kalau kau tidur nanti aku tidak bisa menangkapnya sendirian." Wajah gadis kecil itu cemberut. Kesal pada June.

“Oh iya aku lupa. Mama kan juga bilang kemarin kalau adek bayinya ada di toko. Ayo kita ajak Mama pergi membeli!” ajak June antusias.

“Asik!”

Entah bagaimana cara Jane dan Jimin membuat alasan lagi.

***

Jane sudah menghabiskan waktu satu jam memeriksa dokumen yang harus ditanda tangani olehnya. Ada beberapa model pendatang baru yang harus segera debut bulan ini. Jadi, Jane sudah diperintahkan oleh Tante Hwang untuk tidak mengambil cuti lebih lama. Matanya terus terfokus pada buku mahakarya design asistennya di perusahaan yang akan dicocokkan pada setiap model nantinya. Memilih dan memilah yang terbaik agar tak mengecewakan siapapun.

Bagaimanapun, Michael akan datang sebagai tamu terhormat dari Prancis. Memikirkannya saja membuat Jane terkagum-kagum, lelaki itu sungguh luar biasa. Bakatnya di dunia desaign sudah tidak diragukan lagi bahkan sudah mendapat pengakuan dunia. Berbeda sekali dengan Jane, ia memang bisa mendesain namun karena beberapa bulan terakhir sering mengambil cuti membuatnya kaku dan susah menggunakan mesin jahit.

Jimin masuk ke ruangan dan mendekati istrinya, memeluknya dari belakang sembari menarik dagu Jane memberi satu ciuman hangat. “Nanti saja dilanjutkan.”

“Tidak. Aku mau menyelesaikannya dengan cepat. Kau sudah mandi?” tanya Jane mengulas senyum.

Jimin mengangguk penuh semangat dan mengambil ciuman singkat itu lagi. Di pipi. “Mereka mempercayaiku sampai menunggu adanya pesawat yang melintas. Ketika mereka sudah dewasa, aku ragu mereka tidak akan membuat kata-kataku sebagai lelucon.” Tawa Jimin begitu lembut lalu mengecup pipi istrinya lagi.

Lagi. Lagi. Lagi. Lagi. Lagi.

“Sayang, kau sedang horny? Tidak biasanya membuat pemanasan.” Jane melepas rangkulan tangan Jimin dari belakangnya. Mencoba berdiri dan memberikan apa yang suaminya inginkan.

Sepertinya memang keberuntungan itu sedang tidak memihak.

“Mama Papa! Ayo kita pergi ... aku sudah tidak sabar membeli adek bayi.”

Kedua bocah nakal itu masuk dengan sembarang ke ruang di mana orang tuanya berada, memangnya anak-anak tahu apa soal kedua bibir yang saling bertaut. Buru-buru Jane menjauh dari Jimin dan duduk setengah badan di lantai menyetarakan tingginya dengan si anak.

“Kalau adek bayinya sudah ada, memangnya kalian mau menjaganya?” tanya Jane begitu penasaran. Apalagi raut wajah June dan Jina mendadak kosong, tidak mau memberitahu sang ibu bahwa mereka ingin menjadikan adek bayi sebagai rakyat jelata yang mematuhi aturan kedua kepala pemerintah kerajaan. Jane mengusap kedua bahu anaknya yang saling memandang ragu wajah sang ibu. “Harganya terlalu mahal, Mama tidak punya uang membelinya.”

Dengan kata lain; Mama tidak kuat, Papa kalian bermain terlalu cepat.

Jimin yang menyadari sindiran kecil sang istri mengeluarkan bunyi “Pfft” dari bibirnya dan segera tertawa. Memangnya siapa yang mau pelan-pelan? Bukan Jimin sekali. Mereka berdua sama-sama tahu, melakukannya atas dasar cinta dan hasrat yang menggebu. Tidak mungkin tidak bersemangat. Jadi harus terburu-buru mencapai puncak supaya menghemat waktu. Jane kan tidak suka orang yang mengulur waktu. Berbicara saja harus langsung ke inti, bermain pun sama halnya.

June menggeleng pelan, “Mama, ayo pergi! Papa kan punya uang banyak. Kalau tidak, jual saja rumah sakitnya buat beli adek bayi.”

Jina mulai menghentak kecil kakinya di lantai sambil merenggut. “Mama kan bisa minta pada Tante! Cepat Mama cepat! Aku mau sekarang!”

Mana bisa sekali buat langsung jadi.

Jane punya pikiran singkat seperti adopsi. Dengan begitu, kedua anaknya akan segera diam tanpa banyak bicara lagi. Tapi itu tidak mungkin, rumah adopsi tidak menyediakan bayi. Kalaupun ada itu pasti bayi di luar nikah atau bayi yang baru saja di tinggal mati oleh orang tuanya. Jane tidak bisa membagi kasih sayang pada anak yang bukan darah dagingnya. Bisa, tapi tidak sepenuhnya. Ujungnya, kasihan si bayi. Tidak diperlakukan adil oleh sang ibu angkat.

Jimin melihat istrinya yang sedang berpikir terlalu banyak ikut membantu, memberi beberapa nasehat pada putra putri kecilnya. Dengan senyum Jimin bilang, “Adek bayi itu dijual terpisah. Tidak bisa membelinya sekaligus. Pertama kita harus membeli tangan, kemudian kaki, lalu organ lainnya. Kalau membeli semuanya nanti pembuatnya marah. Makanya harus sabar. Waktunya perlu sembilan bulan. Memangnya June dan Jina mau menunggu?”

Jina mulai berpikir sejenak. Daripada harus menunggu mendingan drama kolosalnya dengan June dibatalkan saja. Ia berinisiatif membuat genre baru dari sebuah drama. Belum tahu. Masih ingin mendiskusikan dengan June terlebih dahulu. Lekas ia bilang, “Ya sudah. Aku tidak mau lagi adek bayi. June, ayo kita main dokter-dokteran.”

Sebelum June memberi jawaban, sang ibu sudah duluan berteriak. “Big No!”

Kejadian lalu masih membuatnya khawatir. Beberapa detik kemudian ia sadar bahwa ini bukanlah rumah sakit. Tidak mungkin ada suntikan berceceran yang tak sengaja di taruh oleh Jimin atas meja. Jane tersenyum membuat kedua anaknya tidak memikirkan apapun soal ibu mereka.

Jadi, mereka segera berlari keluar dari ruangan.

Jimin datang kembali merangkul tubuh istrinya mendekat. Menciumi lekukan leher pelan dan menyesap aromanya. “Sayang, kau pakai Downy Adorable? Aku tidak suka. Terlalu kekanakan. Ganti saja seperti kemarin-kemarin hari. Aku ingin terus menciumi baumu. Sayang ... aku ingin.”

Jane mendorong pelan tubuh Jimin darinya, “Kau hamil ya? Tidak suka bau tubuhku. Kau ini spesies apa?” Jane mengulas senyum sambil tangannya mengusap-usap pipi Jimin. Keduanya menatap sebentar. Jane tidak berpikir bahwa ia akan jatuh cinta pada lelaki di hadapannya teramat sangat. Semakin hari rasa itu kian menambah menjadi bukit. Tak terasa umur pernikahan mereka pun sudah lebih dari lima tahun.

Jimin membalas istrinya dengan ciuman hangat di bibir. Memutar-mutar kepala mencari kenikmatan dan menetralisir ke seluruh tubuh sang lawan. Kesana-kemari mengeluarkan hasrat. Jimin baru sadar kenapa ia begini hari ini. Mimpi pagi erotisnya bersama seorang wanita begitu menggairahkan sampai rindunya ingin merasakan kembali.

Wanita itu tentu saja Jane. Sebelumnya mereka berdua belum pernah mencoba hal ekstrim dalam berhubungan badan. Tetapi mimpi itu mengajarkan satu hal.

“Sayang, bermain di mobil sesekali mau tidak? Aku penasaran.”

Jane berhasil menghindar. Takut sekali. Jimin memang spesies baru.

[]

Aku mau bilang, terimakasih buat kalian yang masih meneruskan membaca kisah super panjang mereka 🙂

Ohya, aku masih pemula banget di YouTube. Subscribe dan view masih kaya tai ayam wkwkw jadi video di bawah ini just for fun aja. Silakan cek kalau suka dunia editing

Xoxo,
Icapark

JIMIN AND JANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang