Cerita ini you know kan genrenya itu marriage life. So, jadikan sebagai seru²an aja ya. Jangan terlalu mendalami peran hingga akhirnya mau menikah cepat. Ingat, hidup itu ga seindah drama yang ditonton atau dibaca ✨
.
June sedari tadi masih menangis di tengah malam buta, terhitung anak lelaki itu sudah menghabiskan waktu sejam atau mungkin lebih berada dalam pangkuan sang ibu di bangku taman. Mata si ibu jelas sekali kelelahan menggendong putranya berkeliling halaman rumah pukul dini hari. Untung putri kecilnya masih terlelap tanpa menyadari suara bising dari saudara kembarnya yang merengek kesakitan. Tentu menyuruh suaminya untuk menemani sebentar.
June demam. Panas bagai api yang membumbung. Semua ikut khawatir.
Bisa dibilang sikap cengeng tersebut menurun dari Jane sendiri, luka sedikit saja bisa membuat seisi rumah heboh. Meringis seolah itu luka besar. Belum lagi mendengar suaminya yang sengaja mengejek menambah emosi, ia sampai pernah tidak mau bantu suaminya kesakitan pada beberapa kondisi. Balas dendam, begitu.
Jimin sedari tadi hanya bolak balik dari kamar ke halaman rumah, menanyakan bagaimana kondisi June yang sudah jelas masih membebankan ibunya tidak mau masuk rumah. Jawaban yang Jane berikan cukup memuaskan; bisakah kau tidak bertanya? Baterai mataku nyaris lenyap. Diam dan temani Jina saja. Bagaimana ya bilangnya, cinta itu memang harus saling melengkapi. Jimin itu adalah suami idaman dari sekian banyak lelaki memang. Sempat saja takdir meleset membuat wanita itu menikahi Taehyung betulan, mungkin keadaannya tidak setenang ini. Akan lebih banyak lempar jawab kemarahan yang terjadi.
"June, mata mama lelah sekali. Kita masuk mau tidak?" tanya Jane memberi pengertian pada putra kecilnya itu sembari mengusap kepala dan mengecupnya pelan.
"Hiks. Mama kepalaku sakit..."
Dan suara tangisan itu kembali terdengar. Jane sudah tidak mau ambil pusing, kepalanya merebah di bangku sambil berupaya menahan kantuk di ambang garis. Tiba-tiba saja suaminya datang kembali, berniat bertanya kesekian kali namun diurung begitu melihat situasinya masih sama seperti tadi. Jimin menyediakan tempat meneduh gratis untuk istrinya berbaring sebentar. Mengusap kepalanya perlahan membuat wanita itu terlelap. "Jangan memaksa diri bangun pagi besok. Aku bisa menyiapkan sarapan sendiri."
Setelah itu Jimin beralih pada putranya yang tertidur lemah atas badan sang bunda. Masih mengisak hanya saja sekarang mulai menyendu. Bocah itu bahkan kehabisan suara sejak beberapa menit lalu. Terlalu lama menangis meronta tak jelas dalam gendongan sang ibu. Jelas sekali dirinya mulai mengalah mengetahui sang ayah sudah begitu dekat dengannya. June tidak takut pada Papa. June itu lebih takut pada Mama sebenarnya. Ini hanya perihal suntikan atau desakan meminum obat dari sang Papa. Alhasil, June diam sampai akhirnya tertidur. Padahal Jimin baru saja hendak bicara, "Kalau masih bersuara, Papa ambilkan suntik dan obat."
Orang tua memang harus menggunakan cara ampuh begini di saat mendesak kebaikan untuk sang anak.
Jane terbangun, matanya membuka perlahan menyadari sudah tak ada suara tangis dari putra kecilnya itu. "Kau bilang apa padanya? Kenapa bisa diam?"
"Tidak bilang apa-apa. June langsung tertidur. Mau kuantar ke kamar? Kasihan, putri kita sendirian." Lelaki itu menatap manis bola mata istrinya yang lebih mirip boneka panda. Lingkaran hitam yang kentara sekali sampai rasanya ingin memeluk prihatin.
"Jimin... aku tidur bersama mereka dulu ya. Aku khawatir."
"Aku tidak mau sendirian, Jane. Kita tidur berempat. Setuju atau setuju?"
Hampir saja wanita itu memaki setengah kasar suaminya jika saja tidak memedulikan kondisi putranya. Terlebih malam sudah begitu larut, tenaganya untuk berteriak sudah tak bersisa. Lekas mereka bertiga berjalan seadanya mencapai kamar lantai dua, masuk bersamaan memelankan suara langkah atas lantai kayu. Memutar knop pintu pun begitu hingga menyusuri ranjang membaringkan June di sana berdampingan dengan Jina.
Jimin segera menarik pinggang istrinya itu mendekat padanya, mengusap rambut yang begitu berantakan. Wanita itu persis mirip dengan pasien sakit jiwa di Haneul Mental Hospital; mata yang membengkak, kantung mata menghitam, dan kepala yang mengangguk-angguk kelelahan. Jimin membawa tubuh lemah itu melangkah bersamaan ke depan ranjang di mana ada sebuah sofa yang bisa di duduki. Mereka berbaring di sana. Untung sekali sofa itu bukan hanya berfungsi sebagai dudukan, ukurannya yang cukup dibilang berbeda dari di ruang tamu bawah membuat keduanya bisa memejam mata menyambut tiga jam sebelum mentari menyapa bumi. Jimin itu selain penyayang juga bukan berarti tak usil. Tangannya kadang bergerak menyentuh rambut istrinya niat membetulkan agar terlihat rapi dan memijit pelan lengan guna membuat lelah istrinya sedikit terusir.
"Aku tahu kalau begadang itu sahabatmu. Bisakah kau tidak menggangguku Park Jimin?" Nada Jane begitu sarkas.
"Sayang, kau tidak usah tidur. Sebentar lagi pagi." Jimin itu memang tidak tahu diri.
Jane membawa kedua tangannya menyentuh dahi suaminya kemudian mengusap rambut blondie tersebut ke belakang hingga mencetak jelas lebar dahi yang terpampang. "Jimin, kau tahu tidak boneka berwarna kuning kepunyaan Jina? Pertama kali melihatnya di mall aku segera membelinya. Aku suka wajah karakter itu yang lucu sekali. Dia punya dua telinga atas kepala. Wajahnya kecil sekali. Begitu manis. Saat itu June sampai marah karena aku membelikannya satu kemudian berebutan si kuning itu hingga telinga dan kepala kuningnya lepas. Kupikir semua itu melekat jadi satu dengan wajah. Ternyata boneka itu tidak punya rambut alias botak. Dahinya mirip sekali denganmu sekarang ini. Aku sampai membuang boneka itu karena tak suka."
Mendengar itu Jimin segera menjauhkan tangan Jane dari dahinya, wajahnya ikut kesal karena tahu sekali maksud pembicaraan yang mengarah pada dirinya akan dibuang karena punya dahi cukup lebar. Nasibnya mungkin akan berujung pilu dengan boneka putrinya yang sempat diingat Chimmy, namanya.
Jane sampai tertawa meski penglihatannya tak sebagus hari biasanya. Kantuk yang melandanya begitu kuat, matanya segera memejam namun dicegah kembali oleh sang suami.
"Istriku sayang... sayang... tidak, Jane. Kau tidak boleh tidur." Jimin entah manusia atau bukan. Jelasnya, ia membuat dirinya begitu egois karena tak mau sendirian dengan mata terbuka. Kadang tangannya menggelitik seisi perut Jane juga sesekali menggaruk pantat milik istrinya yang berbalut lingerie tidur tebal. Sangat usil hingga hidungnya digesekkan ke dagu milik Jane dan turun menyentuh rawan bahaya.
"Aku cinta sekali istriku...."
Jimin dengan suara seraknya di tengah malam. Sialan!
Jane memang selalu lemah jika dihadapkan dengan lelaki agresif tak punya hati ini. Padahal, dulu tidak begini. Sampai Jane terus menggoda dan memeluk lelaki itu di sembarang tempat demi mendapatkan cintanya. Usai mereka saling suka pun begitu, Jimin selalu beralasan bahwa sering berhubungan itu tidak baik dan akan mengurangi rasa saling ingin. Mungkin kelahiran kedua anaknya dan takut kehilangan istrinya lagi menjadi pemicu dari semua ini. Jane memang tak mempersalahkan itu, sama sekali tidak. Ia tahu betul bagaimana hak seorang istri yang harus menuruti segala maunya suami selagi itu tidak berurusan dengan tindakan kriminal. Namun, kali ini pengecualian.
"Kau bilang cinta? Kemudian memaksa tenaga sisaku untuk mencapai keinginanmu? Haruskah aku memohon untuk tidak-"
"Baiklah. Iya iya iya, Jane."
"Aku belum selesai bic-"
"Iyaaaaaa istriku sayang. Tentu aku tahu maksudmu. Dimulai dari hitung mundur tiga, kau harus tidur. Tiga. Dua. Satu."
Berakhir begitu saja memang? Jane tidak suka pemeran utama wanita yang berlakon baik, lembut, menjadi panutan semua penonton. Jane itu mau menjadi dirinya sendiri. Mendorong kuat tubuh sang suami hingga berujar, "Lantai! Setuju atau setuju?"
[]
Untuk tambahan,
Ini cerita gaada kerangka. Gak sama seperti story yang ada di profilku. Ini murni pemikiran chapter per chapter. Alurnya dibikin santai aja.
Maaf, kesan sexy dan panas dari kedua pemeran tidak bisa ditolerir. This is marriage life's genre.
ALERT ! 🙂
Xoxo,
Icapark.