08 : Sandwich (빵)

638 109 100
                                    

“Ma, Papa kenapa belum pulang?”

Terhitung sudah dua jam lalu kedua bocah nakal itu melempar pertanyaan yang sama pada sang ibu. Keberadaan sang ayah masih belum terlihat bahkan ujung hidungnya saja. Padahal niatan mereka menunggu sang ayah pulang dari rumah sakit semata-mata memberi tahu hadiah baru mereka. Mereka akan mengenalkan boneka berkepala merah berbentuk love yang bernama Tata pada sang Papa.

Sebenarnya, Tata lebih menarik dari kedua boneka beruang raksasa yang dibelikan oleh ayahnya beberapa minggu lalu. Tapi sang ibu segera mengajarkan anaknya untuk tidak mengoceh hal demikian. Belum kasusnya tuntas ditambah kasus keriting satu lagi. Bisa-bisa Jane nyaris diberi pelajaran oleh suaminya.

Ibu dan anak sama saja. Tidak menghargai sang ayah.

“June dan Jina tidur dulu ya. Sepertinya Papa kalian menginap di rumah sakit.” Kembali Jane mengupayakan kedua anaknya percaya dan lekas berbaring usai menghabiskan sebotol susu untuk tidur.

Pentingnya punya pengasuh adalah ini, Jane berjanji akan segera mempekerjakan lagi Bibi Han di rumah untuk menjaga kedua bocah nakal ini sedang dirinya bisa punya waktu lebih mencarikan suami yang tak tahu kemana. Sebenarnya tahu.

Apa mungkin Park Jimin ke sebuah bar atau diskotik yang dipenuhi jalang?

Jane menggeleng pelan. Menepis semua pemikiran yang tidak-tidak. Suaminya adalah lelaki baik. Tidak mungkin berkhianat di belakangnya terlebih bermain curang bersama wanita tak jelas identitasnya. Sekarang yang perlu dipikirkan oleh Jane adalah tenang, menemani kedua anaknya tidur sembari menunggu suaminya pulang. Semakin lama tubuhnya berusaha untuk nyaman maka dirinya semakin khawatir. Akhirnya ia bangun berjalan ke pintu kamar. Menutup pintu itu lalu menguncinya.

Apa sudah benar?

Jane kebingungan. Bagaimana jika kedua anaknya bangun tengah malam kemudian mencarinya tetapi pintu mereka terkunci dari luar? Ayolah, kasihan mereka masih balia sekali berumur tiga tahun. Mana bisa Jane sejahat itu terlebih insiden kemarin mengenai Jina membuatnya merasa bersalah setengah mati. Ia harus bagaimana lagi dengan kondisi khawatir sementara kakinya terikat tak bisa berjalan.

Namun, Tuhan menyayanginya.

Tok Tok!

“Iya, tunggu sebentar.”

Jane tahu bahwa Jimin akan segera pulang, lelaki itu tak akan meninggalkannya dan mengkhianati hubungan mereka. Mereka berdua pun sama-sama tahu bahwa kejadian di resto tadi pagi adalah sebuah kesalahpahaman. Jane akan memberitahu semuanya dan menjelaskan secara perlahan agar lelaki itu mempercayainya. Sungguh, Jane tak bermaksud kurang ajar bermain dengan Taehyung. Semua yang dilakukannya adalah hadiah perpisahan mereka. Bukan kenangan pula yang bisa diabadikan dalam memori ingatan.

Ketika pintu dibukanya, yang muncul di sana adalah dua lelaki. Pak Go, supirnya, dan tentu saja... suaminya.

“Maaf, Nyonya. Sepertinya Tuan sedang mabuk,” jelas supir itu sembari menahan bobot Jimin yang bergelantung di sebelah pundaknya.

Andai boleh berekspresi, kali ini wanita itu ingin sekali terkejut dan bertanya banyak hal pada supirnya. Tapi tidak dilakukan. Ia tidak mau urusan rumah tangganya terdengar ke telinga siapapun apalagi dia dan suaminya adalah orang besar di Seoul.

“Bapak tadi pergi bersama atau bagaimana?”

“Tidak, Nyonya. Tuan pergi entah bersama siapa. Lalu ada yang menelponku menyuruh menjemput Tuan.”

Jane mulai mempersilakan keduanya masuk lalu Pak Go merebahkan tubuh itu ke atas sofa perlahan. Menunduk sebentar ke arah Jane berpamitan pulang, jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Biasanya Jimin selalu pulang jam delapan atau bahkan kurang. Kali ini tentu saja Jane tahi sekali mengapa lelakinya begitu.

JIMIN AND JANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang