24 : Ragu (의심)

858 112 66
                                    

Semalam June merencanakan permainan baru. Intinya dia tidak mau kalah, setiap bermain dengan Jina ia sering kalah dan kali ini keputusan permainan baru ada di tangannya. Lekas bocah itu diam sebentar sebelum mengatakan, “Main Chef saja!”

Begitulah yang terjadi hari ini. Entah bagaimana apron di tubuh mereka melekat kebesaran. Tentu saja milik ayah dan ibunya. Tanpa merasa bodoh sedikitpun, Jina mendahului. Mengambil piring berbahan kaca lalu menaruhnya di atas kompor. Menuangkan minyak goreng dan siap untuk menghidupkan kompor.

June senang, ia hampir menang karena Jina tidak bisa menghidupkan kompor. Kejadian itu bahkan belum dimulai oleh mereka. Ibu mereka datang ke dapur melihat bagaimana tindakan konyol kedua anaknya yang berencana membakar rumah.

“Jina! Jangan menyalakan kompor!” teriak Jane begitu cemas. Takut jika putri kesayangannya malah bermain api tanpa sepengetahuan dirinya.

Jina dan June buru-buru melepas apron dan menjatuhkannya ke tanah. Berlari setelah ketauan oleh sang ibu. Keduanya datang pada sang ayah yang sedang bergegas ke rumah sakit. Sudah berpakaian lengkap namun diterjang tiba-tiba, pakaian rapi itu mendadak kusut. Jimin mengernyitkan dahi tertawa kecil. Tidak kesal ataupun marah. Namanya juga anak kecil, batinnya.

Jane tidak mempermasalahkannya, hanya menasehati buah hatinya begitu lembut. “Jangan pernah melewati garis dapur lagi. Itu kerajaan Mama. Kalau tidak, nanti Papa kalian akan memenjarakan kalian, paham?”

“Paham, Ma!” Keduanya menganggukkan kepala segera. Kalau Mama sudag bilang begitu artinya ini serius. Batas wilayah sangat penting bagi kedaulatan bangsa. Apalagi harus menerima konsekuensi mendekam di balik jeruji besi. Takut.

Ketika bocah-bocah kecil itu berdiam diri sebentar di sana, mereka kembali berlari membuat perencanaan baru permainan apa yang akan dimainkan. Karena belum mendapat ide, ponsel adalah satu-satunya jalan keluar.

Pernah entah kapan, Tante Hwang sampai memberi julukan keluarga kecil ini “Aneh” dan tidak mengapa? Memang jelas begitu. Kadang waras kelewat bahagia. Kadang sedih dan emosi sampai berubah tiba-tiba menjadi monster. Aneh. Meski begitu, Jimin dan Jane adalah satu ikatan yang tak terpisahkan. Jika memang ada yang hendak merusak maka orang tersebut harus mengantri jauh-jauh hari.

Beralih pada Jimin, tampaknya lelaki itu mulai usil melipat dasi asal agar Jane mau menghampirinya. Benar sesuai harapan, keluar dari dapur Jane segera mendekat padanya. Tersenyum lembut membenarkan dasi asal-asalan tersebut.

“Beri aku alasan kau melipat dasi begini.”

Jimin mendekatkan bibirnya ke telinga Jane, berbisik pelan. “Agar kau mendekat dan masuk perangkap.”

Jane terkekeh sambil mengangguk kepala kecil. Selesai membereskan dasi ia berjinjit sedikit untuk mengecup pipi suaminya. “Aku ingin bilang sesuatu padamu.”

“Apa itu?”

“Perusahaan sedang kekurangan model. Tante menyuruhku menggantikannya. Bagaimana menurutmu?”

Sebenarnya Jane sudah tahu jawabannya. Jimin tak akan mudah membiarkan istrinya bertahan pada profesi yang di mana seluruh mata berpusat padanya. Tapi Jane harus meyakinkan satu hal bahwa ini harus disetujui.

“Kau lebih suka menjadi model atau wakil presiden atau ibu rumah tangga?”

Jane rasa hatinya semakin berbunga karena sikap perhatian kecil saja sudah membuatnya melayang-layang. “Kalau aku suka semuanya bagaimana?”

“Pilih satu, sayang.”

“Dua?”

“Oke.”

Jane mengarahkan suaminya ke sofa sebelum ia bergerak ke rak sepatu mengambilnya. Sambil memasangkan ke kaki suaminya ia samar-samar tersenyum. Hari ini entah bagaimana cuaca cerah di luar ikut menyemarakkan nalurinya.

Begitu selesai Jane bilang, “Aku ingin menjadi istri dan ibu yang baik bagi kedua anakku.”

“Itu tidak ada dalam pilihan,” kekeh Jimin mengusap kepala istrinya yang lebih rendah.

“Kenapa aku tidak boleh menjadi model?”

Jimin menarik lengan Jane agar duduk di sampingnya. Mendekapnya setengah kuat dengan sebelah tangan di pipi. “Aku tidak suka ada orang lain yang melihat tubuhmu terbuka. Dan kau sudah tidak berumur 20 tahun lagi. Merintis dunia model di umurmu yang sekarang begitu sulit sayang. Kau berniat menjadi supermodel internasional?”

Jane mulai tertawa. Menampar pelan wajah suaminya yang kelewat lambat. “Aku hanya mengganti sayang bukan berpindah profesi. Hanya satu hari. Pakaian yang akan ku kenakan semacam jubah yang menutupi sampai kepala. Seperti pameran busana penyihir. Kira-kira begitu.”

“Kalau begitu aku mengizinkannya. Boleh minta cium?”

Lagi-lagi Jane dibuat tertawa. Kali ini lebih serius sampai perutnya terasa sakit saking lucunya pembahasan meminta perizinan.

“Kau akan telat ke rumah sakit kalau menciumku.”

“Kenapa? Itu gedung milikku.”

“Kau baru saja memberitahuku secara tak langsung bahwa seorang atasan boleh bertindak sesuka hati.”

Jimin mencubit hidung istrinya pelan sebelum menyuruhnya untuk memejam mata. Menciumi seisi wajah dengan lembut tanpa meninggalkan bekas ludah sedikitpun. Mengenai perubahan sikap yang terlalu bahagia pada hari ini membuat Jimin kadangkala bertanya ada apa. Pengaruh suasana atau malah pengaruh lainnya. Tidak mungkin hamil. Itu jauh sekali pertimbangannya.

Kedua pasang mata mereka memejam sembari menikmati betapa bergairahnya detik demi detik ke depannya saat ciuman berlangsung. Tak menoleh ke manapun, sibuk mencari titik-titik saraf yang membuat lawannya menjerit tertahan. Di atas sofa ruang tamu banyak saksi bisu ikut menyaksikannya. Di mana lidah mulai turun ikut membasahi dagu kecil yang menimbulkan getaran-getaran luar biasa. Jane mendorong pelan suaminya.

“Aku mendadak ingin ke kamar mandi.”

“Uh—hum. Aku akan pergi sekarang. Jaga bocah nakal itu baik-baik. Kau pergi ke kantor?”

“Mungkin nanti.”

Anggukan Jimin mengakhiri segalanya. Kecupan hangat di dahi istrinya adalah penutup pagi ini.

Jimin tidak menunda waktu lagi untuk berbalik sekadar melihat istrinya. Itu akan butuh waktu lama untuk mengambil kesempatan memeluk sekali lagi.

Kedua anaknya berlari ke arahnya. Tumben sekali meminta pelukan atau ciuman perpisahan pagi hari. Biasanya tidak.

“Papa, June tidak mau beri ponselnya padaku!”

“Jina mainnya dandanin patung sih! Kan tidak seru!”

Rupanya bukan pelukan atau ciuman. Mau bagaimana lagi, menangis di pagi hari bukan Jimin sekali.

“Sayang ... Papa mau berangkat dulu. Mengadunya sama Mama saja.”

Jane terkekeh sebelum meninggalkan suami dan anaknya di ambang pintu. Mengisyaratkan pada Jimin bahwa dirinya akan ke kamar mandi sebentar.

Tak ada yang dilakukan Jane di dalam sana. Ia hanya berdiri di depan cermin melihat bagaimana kerutan samar di wajahnya mulai terbentuk. Ini bentuk penuaan atau bagaimana. Sepertinya hari ini ia harus pergi ke salon tetapi membawa kedua bocah bersamanya adalah malapetaka.

Sebelum itu Jane memutuskan untuk menampung air seni dalam wadah ukuran kecil seraya mengeluarkan benda pendeteksi yang disembunyikan di atas pintu. Membuka bungkusnya dan mengecek hasil yang entah membuatnya senang atau malah kesal itu.

“Sayang ... kau masih di dalam?”

Jane tidak tahu harus bagaimana. Memberi tahu atau malah menyembunyikan hasilnya. Di luar dugaan siapapun.

Kenapa bisa?




[]

Aku cuma mau bilang, maaf.
Menunggu itu memang ngeselin ya.
Yang pernah cek status di profil pasti tahu kenapa :"

Makasih udah mau baca ✨

Xo,
Icapark

JIMIN AND JANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang