Sewelas

340 45 8
                                    

Mampus, apa yang harus aku lakukan sekarang? Maheswara dengan pandangan yang letih masuk secara tiba – tiba ke dalam kamar. Diriku terus membeku di pojok kamar yang membelakangi dirinya. Mataku terbuka lebar dengan pupil yang terfokus dengan gerak – gerik Maheswara. Namun, aku melihat sesuatu yang menarik.

"Ada apa?" Tuturku perlahan di tengah sunyi dan gelap.

Maheswara sudah berada di kamarnya lebih dari 10 menit, namun dari tadi dia hanya duduk terdiam di meja kerjanya. Kalau dia melanjutkan perkerjaan, pasti tangannya bergerak atau membuka laptop. Akan tetapi, dia sekarang hanya terdiam dengan tatapan kosong mengarah ke tembok. Walaupun begitu, jari – jari pada tangan kanan mengelus – ngelus jam tangan yang dikenakannya.

"Semoga saja kalian mati dengan begini," Suara rintihan Maheswara memecahkan keheningan.

Mataku seakan bergetar, kuping mendengarnya dengan panas. Tubuh merespon dengan bulu – bulu halus berdiri. Pikiranku mulai berpikiran sangat aneh. Berprasangka itu buruk, tapi memang beginilah tugasku. Berprasangka bahwa kata 'kalian' bertujukan kepada rezim yang memberlakukannya secara buruk pada 98. Dengan perlahan aku menekan tombol pada jam tangan yang berfungsi untuk memberi informasi akan menangkap hal penting.

"Pesan tersampaikan!" Suara pemberitahuan dengan kencang terlepas dari jam tangan.

Tanganku gemetar. Darah seakan turun menuju ujung – ujung jari pada kedua kaki. Keringat seakan jebol dari setiap pori – pori dalam tubuhku. Jantung berdetak semakin kuat, akibat hormon adrenalin yang mengalir deras dalam tubuh. Gigiku sepertinya akan hancur akibat getaran yang melanda tubuh.

"Ya Allah, izinkan aku melukainya kalau memang hari ini adalah penentu dari segalanya." Itulah kalimat yang terlepas dari dalam kesunyian sukma.

Maheswara hanya terdiam seperti sebelumnya. Suara pemberitahuan tidak mengganggu keadaan Maheswara. Walaupun begitu, diriku sekarang sudah seperti orang yang siap untuk berontak atau mungkin terbunuh.

"Tidak boleh begini," Tegas Maheswara yang sangat mengagetkan diriku. Kemudian dia berdiri dan berjalan perlahan ke pintu keluar, "Aku butuh chivas lagi."

Pantes saja dia tidak mengetahui kehadiranku di sini. Maheswara diselubungi oleh air yang bisa membuatnya naik setinggi langit—mabuk. Aku kembali menghela nafas dan segera turun dari atas lemari. Kamar itu benar – benar kembali dikuasai diriku dengan penerangan utama yang berasal dari meja.

"Mari kita lihat ada hal apa di sekitar sini," Tuturku berbisik dengan tangan yang memainkan kertas – kertas.

Di atas meja tertumpuk kertas yang sebagian besar adalah lembar jawaban UTS murid – muridnya. Betapa kasiannya diriku melihat nilai – nilai yang berada di antara D dan E.

"Jangan sampe mereka salah ngitung probabilitas dan menentukan letak pengeboran minyak," Tuturku dalam hati sambil asik mengotak – atik meja.

Semua kertas ternyata adalah bahan – bahan dia mengajar, sehingga tidak ada hal penting di dalam sini. Kemudian aku kembali membereskan kertas – kertas itu berbentuk seperti semula. Namun, aku terdiam ketika melihat jam tangan yang bergelatakan di atas meja.

"Tumben, bapak – bapak seperti dia lebih memilih smart-watch ketimbang jam tangan klasik," ucapku sembari memperhatikan jam pintar itu dengan seksama.

Dengan sengaja, aku nyalakan jam itu. Tapi, jam pintar ini sangat berbeda dengan yang biasa ditemui. Jam ini tidak ada pengaturan sambungan dengan perangkat lain dan hanya menunjukan interface seadanya.

SKENARIO JAWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang