Menaiki sebuah bis Transjakarta koridor enam yang menyusuri Jalan Mampang hingga penampakan pencakar langit di Rasuna Said. Tas bagpack berisi pakaian dan beberapa keperluan pribadi menekan punggung dengan gaya berat yang diciptakannya. Lagu dengan tempo lambat yang perlahan menjadi cepat melindungiku dari sosial yang hilang akibat kesIbukan sendiri di dalam sebuah moda transportasi.
"Suka Coldplay?" Mendadak sebuah colekan mendarat di bahu kananku dengan suara perempuan halus dan pelan yang memutar telinga.
Aku dengan sigap melepas earphone dan bersenyum, "Hmm... tapi ini bukan lagu yang terlalu lama bukan?"
"Iya, tapi sudah jarang yang mendengarkan lagu Coldplay," dia membalas dengan tangan putih dan mungil perlahan meraih earphone yang aku lepaskan.
"Lo mendengarkan "Charlie Brown"? So eargasm!" Dia mengenakan earphoneku dan bernyanyi tanpa menghiraukan orang di sekeliling.
Aku hanya bisa duduk terdiam dan melihat dia bernyanyi dengan asik. Sepertinya dia tidak merasakan risihnya diriku karena jarak bagian sensitif dengan badannya berada di jangkauan bahaya. Aneh sekali perempuan ini. Badan ideal, putih, rambut wavy dengan poni yang rapih, hidung maju melentik, kadar pensil alis yang minim, namun sayang dia adalah perempuan random.
"Keren," seruku dalam hati.
Awkward. Itulah yang aku bisa simpulkan saat bertemu dengan seorang perempuan random. Mereka seru, asik, dan memiliki banyak topik, namun saraf malu mereka sepertinya sudah hilang. Contoh? Seperti yang sekarang aku alami.
"Kenapa nggak dengerin lewat handphone lo aja?" Tanyaku yang merusak keasikan dirinya.
Dia terdiam. Melihat diriku dan memaparkan suasana awkward lewat raut mukanya. "Oh iya," dia tersipu malu dan tertawa kecil.
"Mau kemana?" Tanyaku untuk mencairkan suasana; dia kembali mundur ke posisi duduk tegap.
Dia menoleh ke tatapanku, "Hmm, ke rumah di Latuharhari."
"Oalah, cukup dekat," jawabku dengan nada santai.
"Emang lo rumahnya dimana?" Tanya dia sambil menopang kepalanya dengan tangan.
"Rumah gua di Setiabudi dekat sama waduk," aku membalas sambil merasakan perasaan cocok kepada perempuan yang berada di sampingku.
"Hahahaha! Seberang sungai itu mah! Yaudah nanti lo harus turun di Latuharhari temenin gua, oke?" Aku terdiam dan terkagum dengan perempuan ini.
"Maaf, emang gua siapa lo?" Tanyaku.
"No one, tapi lo tahu sendiri kalau disitu gelap," dia membuat raut muka sedih.
"Nama lo siapa?" Tanya dia dengan nada yang percaya diri.
"Rio."
Dia tersenyum, "Iggy."
"Iggy Azalea?" Cetusku dengan tertawa kecil.
"Hahahahahaha! Lucu sekali, Rio... De... Janeiro."
Satu bulan dalam penangkaran dari dunia luar, membuat psikologis individu perlahan memudarkan sosial. Namun, sepertinya sosialisasi yang memudar dari dalam diriku kembali datang dengan penuh. Mengapa? Karena seorang perempuan random yang mendadak mengajak diriku berbicara secara frontal. Baru saja berkenalan kurang dari setengah jam, kita sudah bercanda tawa layaknya teman yang sudah bertahun - tahun tidak bertemu. " Perempuan ini harus menjadi sesuatu dalam kehidupanku," sebuah kalimat terlewat dalam pikiran di kala berlangsungnya pembicaraan tentang band kesukaan aku dan dia.

KAMU SEDANG MEMBACA
SKENARIO JAWA
Fiksi IlmiahKEMBALI KE WATTPAD! NASIONALISME MENGALIR DERAS. Tidak ada yang bisa menyelamatkan suatu hal tanpa mengenalnya terlebih dahulu. Tapi, bagaimana bila menyelamatkan suatu benda besar yang dihinggapi oleh berbagai macam bentuk hama? Dan, beberapa ham...