Part 3

8.2K 606 9
                                    

Anggota kelompokku ada 10 orang, 6 anak perempuan dan sisanya anak laki-laki. Sehari sebelumnya semua anak kelas 7 dikumpulkan di aula untuk penyuluhan kegiatan oleh Pembina OSIS. Tiap kelompok di bariskan berurutan di aula makanya kelompok Saga berada di sebelah kelompokku. Gara-gara itu pula, Lintang yang bukan kelompokku ikut baris di barisan kelompokku. Lintang diam-diam menyamar sebagai salah satu anggota kelompokku yang tidak datang.

Aku sebetulnya khawatir Lintang  ketahuan oleh Pembina OSIS, tapi Lintang sendiri malah santai-santai saja tuh dan kelihatannya super bahagia bisa duduk didekat kelompoknya Saga.

Ngomong-ngomong tiap kelompok harus mempunyai satu ketua. Ketua kelompokku adalah Abimayu, anak  yang langsung di pilih secara absolute karena tidak ada anak lain yang ingin jadi ketua. Semua ketua harus duduk di paling depan barisan karenanya Abimayu duduk di depan, bersebelahan dengan Saga.

“Siapa tuh Jo anak cowok yang duduk paling belakang barisan kelompokmu?” Bisik Lintang mendadak sambil mencolek pundakku.

Aku menoleh kebelakang.

“Bisa nggak sih nengoknya nggak terang terangan?!" Protes Lintang dengan paksa membuat kepalaku kembali menghadap kedepan.

Aku menatap kedepan lagi. Ingin rasanya bilang, gimana caranya aku bisa menengok kebelakang secara diam-diam? Tapi percuma adu debat dengan Lintang.

“Cowok yang duduk paling belakang itu?” Bisikku.

“Iya, yang daritadi ngomong terus.“ Kata Lintang.

“Oh yang itu.” Ujarku pelan, kemudian terdiam. Sebenarnya aku sempat berkenalan dengan anak yang satu itu, tapi aku lupa namanya, mungkin Imron atau Yusron.

“Ganteng ya.” Kata Lintang sambil ngikik,"Eh ketua kelompokmu juga ganteng sih."

Aku mengerutkan kening. Aku bisa membedakan mana yang ganteng mana yang tidak, tapi aku nggak pernah mengatakannya secara frontal. Selain itu kenapa cowok terus yang dibicarakan Lintang? Aku bosan.

“Mending mana? Mereka atau Saga?” Tanya Lintang.

“Kamu udah ganti orang yang di taksir?” Tanyaku balik heran.

Lintang nyengir, “Tergantung.”

“Saga.” Ujarku pelan.

Lintang tertawa sambil mengangkat jempolnya.

Keesokan harinya, kami di kumpulkan di lapangan sekolah. Tiga ratus anak dengan warna baju yang berbeda beda sesuai dengan kelompok. Warna baju kelompokku pink. Anak-anak cowok kelompokku semuanya mengeluh kenapa baju kelompok kami harus berawarna pink.

“Baju kamu nggak kegedean itu Jo?” Tanya Intan, teman sekelompokku dari kelas 7D.

Aku menunduk mengecek pakaianku, “Ini baju ibuku, aku nggak punya baju warna pink.”

“Pantes aja! Kenapa nggak beli baru aja sih?” Seru Novin.

“Emang kalian beli baju baru?” Tanyaku polos.

“Iyalah!“ Kata Novin bangga diikuti anggukan Intan dan Lanny, “Kemaren habis kumpul di aula aku bela-belain belanja ke mal “

“Oh.“ Ujarku sambil menatap ke bajuku. Bajuku memang super kebesaran karena ibuku gendut.

Aku nggak kepikiran untuk beli baju baru. Aku persis seperti ibuku, sama-sama buta mode. Sama-sama jarang ke mal karena mal itu mahal. Ibuku bekerja sebagai pegawai administrasi di kantor pemerintahan. Gaji beliau nggak sebegitu banyak apalagi ibuku orangtua tunggal. Aku nggak tega meminta beliau untuk membelikanku ini itu.

“Nggak di peniti aja?”

“Emangnya sebegitu aneh?” Gumamku. Bagiku, baju ibuku yang kedodoran ini biasa-biasa saja. Hanya kaus pink muda polos sederhana, tapi panjang lengannya lebih sepuluh senti dari jariku. Aku sebetulnya tidak butuh rok biru OSIS karena bajunya nyaris sama panjangnya dengan rok kalau aku tidak memasukannya kedalam.

“Aneh!” Pekik Intan. Ia buru-buru mengikat baju ku kedepan perut. Bukannya kelihatan lebih baik, aku justru kelihatan kayak jemuran seprai. Intan dan yang lain tertawa. Aku buru-buru melepaskan bajuku yang diikat didepan perut, malu.

Bayanganku kemudian berputar-putar kembali ke rumah, saat aku sedang memandang cermin yang ada dikamarku. Badanku kecil. Rambutku panjang sebahu lurus agak sedikit mengikal hanya dibagian paling bawah. Rambutku adalah jenis rambut yang agak mengembang dan terlalu halus sampai sampai setiap kali aku menyematkan jepitan apapun pasti jepitan itu akan melorot tidak terkendali. Makanya aku jarang menggunakan hiasan rambut. Tadi pagi aku hanya melihat wujudku sekilas dipantulan kaca, karena aku terburu-buru berangkat sekolah. Sekarang aku agak menyesal karena tidak benar-benar memperhatikan penampilanku sendiri.

Intan dan Lanny, mereka sama-sama dari kelas 7D dan sama-sama membawa payung lipat dalam tas mereka. Selain itu anak dari kelompok lain, Lisa, Ino dan Dea membawa topi pantai dan sunblock. Aku menggigit bibir, kayaknya aku memang ketinggalan zaman. Aku bahkan seumur hidup belum pernah menggunakan sunblock. Kata ibu sesuai dengan umurku aku cuma boleh memakai sabun muka, bedak dan minyak wangi, selebihnya aku belum perluh pakai.

Oh ya, setiap kelompok juga berjalan sesuai dengan urutan makanya kelompokku menjadi kelompok akhir yang berjalan. Selama menunggu semua anak menggerombol campur aduk bersama anggota kelompok-kelompok terakhir lainnya.

Yang anak perempuan kebanyakan berkumpul di bagian tengah lapangan sementara anak laki-laki  mengumpul di bagian belakang. Entah kenapa alasannya, selama menunggu kelompok selanjutnya diberangkatkan, aku yang menjadi topik pembicaraan diantara gerombolan anak-anak perempuan.
Karena bajuku. Karena aku nggak bawa perlengkapan apa-apa cuma topi OSIS padahal kita harus berjalan muter-muter dari pagi sampai jam dua siang. Karena rambutku kuikat cepol kebelakang. Karena rok SMPku yang sesuai aturan 15 senti di bawah lutut.

"Rokmu itu kepanjangan!“ Kata anak berambut ikal di kucir pita kuning kelompok 26.

“Tapi ini kan sesuai aturan.“ Kata ku bingung sambil menatap rokku.

“Iya sih, tapi coba liat roknya Sasha.” Kata Lanny sambil ngikik.

Aku menatap anak yang ditunjuk oleh Lanny. Sasha berambut panjang, cantik, matanya besar dan kulitnya putih. Kalau bersebelahan dengan Sasha, aku kelihatan seperti ikan teri dan dia ikan duyung.

“Oh rokku?” Kata Sasha sambil berdiri dan memamerkan roknya. Roknya malah diatas lutut.

“Apa nggak terlalu pendek?” Tanya anak berambut pendek dari kelompok 28.

“Enggak kok!” Bantah Sasha sambil tersenyum.

“Mungkin karena Sasha tinggi?” Bela Ino, teman sekelompok Sasha.

“Atau roknya Johan kelihatan kepanjangan karena dia pendek?” Kata Novin sambil tertawa geli lalu menarikku berdiri.

Aku dipaksa berdiri di samping Sasha. Tinggiku bahkan cuma sebahu Sasha. Mereka yang melihat langsung tertawa. Disebelah Sasha aku kelihatan aneh, seperti liliput, kecil dan pendek. Wajahku merah padam karena ditatapi oleh banyak pasang mata dan ditertawakan. Aku memang bukan anak perempuan yang paling pendek disekolah tapi tetap saja kalau disejajarkan dengan Sasha yang memang asli tinggi, jadi kelihatan cebol.

Untungnya pembicaraan membandingkan aku dan Sasha yang jelas-jelas jauh berbeda itu berhenti karena Saga yang duduk dengan gerombolan anak laki-laki di barisan belakang tiba-tiba bersin. Aku dan yang lain menoleh secara reflek. Secara reflek pula beberapa anak langsung mengerumunkan kepala, membicarakan Saga sambil berbisik-bisik cekikikan. Aku menatap Saga, ingin bilang terimakasih walaupun nggak mungkin aku bisa mengatakannya.

Dunia Saga (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang