Kalaupun aku curiga pelakunya Yano dan kawan-kawannya, aku nggak punya bukti. Kalaupun aku punya bukti, terus aku bisa apa? Ngajak Yano berantem? Ngelaporin Yano ke guru BK? Ngelaporin Yano ke guru BK bukan jaminan Yano dan kawan-kawannya bakal tobat. Bisa saja kelakuan mereka malah tambah menjadi.
Untuk saat ini, aku sengaja membiarkan kasusku mengambang untuk sementara. Selama kejadian cicak mati jilid tiga nggak terjadi. Kalau sampai ada cicak mati- atau hewan lain yang secara gaib muncul lagi, mungkin baru setelah itu aku mikir langkah selanjutnya. Tapi selama bisnisku masih lancar buat apa sih ribut-ribut?
"Oh, ibu sekarang sudah tau nama cowok yang selalu beli banyak donatmu." Ujar bu Agus saat aku datang mengecek kondisi donatku sewaktu istirahat siang (biasanya nggak pernah kucek kecuali saat pulang sekolah, tapi akhir-akhir ini aku agak protektif dengan donatku).
"Siapa bu?" Ujarku tanpa mendongak. Aku sibuk menghitung donatku yang tersisa.
"Waktu ibu cek bet namanya. Namanya Saga."
Aku mendongak dengan cepat. Nafasku berhenti, "Saga." Bisikku.
"Iya, Saga." Ibu Agus mengangguk-angguk.
Yang kutau, setelah itu aku segera berlari. Aku ingin menemui Saga. Aku ingin melihat wajahnya. Disela aku berlari menuruni tangga, tanpa sengaja aku menabrak seseorang.
"Punya mata nggak sih?" Bentak Yano.
Aku mendongak kaget. Dari ratusan siswa di sekolahku kenapa aku harus nabrak Yano? Yano dan kawan-kawannya langsung menatapku penuh benci. Kenapa Yano harus sebegitu tidak sukanya padaku cuma gara-gara satu alasan; kejadian sewaktu MOS. Seandainya aku yang dihukum, jujur aku juga bakal marah, tapi nggak sampai sejauh Yano dan kawan-kawannya. Aku juga nggak bakal sejahat mereka.
Menurutku Yano dan kawan-kawannya nggak betul-betul marah cuma gara-gara kejadian waktu MOS. Mereka cuma dari awal sudah bertekad membenciku. Jadi apapun yang kulakukan pasti salah di mata mereka.
Aku membalas tatapan benci mereka dengan berani, karena aku ingat kalimat Saga. Jangan pernah kelihatan lemah. Jangan pernah mau di tindas.
"Berani amat kamu ngelihat mataku?" Bentak Yano.
"Apa yang salah dari ngeliat mata orang yang di ajak bicara?" Tanyaku.
"Wah, sekarang udah berani ngomong balik ya? Nggak ngumpet di belakang temenmu itu lagi? Siapa namanya? Saga? Cowok sombong. Sok kecakepan yang nggak ramah sama cewek itu?" Ejek Yano.
Aku meradang marah, "Aku nggak masalah foto jelekku kalian pajang setiap minggu di mading, di siram air, di suruh bersihin perpustakaan, donatku di masukin cicak, tapi jangan pernah kalian jelek-jelekin Saga di depanku! Sebenernya kenapa kalian ngelakuin ini semua? Karena kalian bilang, aku anak tukang ngadu? Aku nggak pernah berniat sengaja ngaduin kalian. Aku bahkan nggak tau kalau kalian ada di dalam kelas itu!"
"Intinya kan tetep aja, kamu yang bikin kita ketahuan. KAMU yang bikin kita dihukum." Seru Bella. Ia malah lebih marah dibanding aku.
"Jangan nyari-nyari kambing hitam untuk kesalahan kalian sendiri." Desisku.
Setelah itu, yang kusadari selanjutnya adalah bahuku di sentak kuat-kuat. Aku mengerjapkan mata. Semua berlangsung sangat cepat. Yang terakhir kuingat aku jatuh melayang. Kepalaku membentur deretan anak tangga dengan keras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Saga (Completed)
Teen FictionRank 1# on innocent & first love and realistic fiction There's nothing like the innocence of first love..... This work dedicated for people who likes pure, sweet, stupid, innocent love story Enjoy! Thanks for reading and please dont copy my story...