Pagi ini untuk pertama kalinya ibuku memaksa mengantarku sekolah. Aku nggak suka merepotkan ibuku, tapi masalahnya pilihannya hanyalah diantar ibuku atau di jemput Saga. Hm, aku lebih nggak suka merepotkan Saga.
Baru beberapa langkah kaki melewati gerbang sekolah, aku melihat Saga berdiri dekat bangunan parkir. Tanpa komando, pipiku memerah lagi dan darahku turun ke kaki. Saga menoleh balik menatapku. Raut wajahnya antara tidak puas campur lega.
"Harusnya kamu bisa berangkat sekolah denganku." Protesnya untuk entah berapa kali karena aku selalu menolak tawarannya dari kemarin.
Sebelum aku sempat menjawab, tidak jauh dari tempatku Saga berdiri, aku melihat Bella berjalan memasuki sekolah. Tatapan sinis Bella langsung tertuju kearah kami. Ia tampak aneh berjalan sendirian tanpa Yano yang biasanya selalu di sampingnya.
Tanpa sadar aku bergerak ke depan Saga. Aku ingin melindungi Saga bahkan untuk hal sepele. Tapi Saga bergerak lebih cepat dariku, tau-tau Saga sudah berdiri menjulang di depanku. Menghalangi pandanganku dari Bella.
"Saga. Geser sedikit. Aku mau adu plotot-plototan sama Bella." Aku mencoba melongokan kepala melewati punggung Saga.
Saga membalikkan tubuhnya lalu menunduk menatapku sambil menghela nafas.
"Aku sekarang berani ngelawan Yano dan kawan-kawannya kok." Ucapku dengan nada merajuk gara-gara Saga malah melayangnya pandangan seperti orang tua yang nggak mau anaknya bertengkar.
"Dan hasilnya begini." Saga mengangkat tanganku yang diperban sambil mendengus.
Aku meringis. Ekspresiku membuat Saga mulai tersenyum, "Apa aku nggak boleh ngelawan lagi?"
"Nggak akan kularang. Tapi jangan lawan sendirian, karena ada aku." Mata Saga menatap langsung ke mataku, "Kamu harus belajar untuk bergantung padaku."
"Kenapa?"
"Karena aku milikmu."
Seketika wajahku berubah jadi merah kuning, hijau. Kakiku gemetaran salah tingkah. Kalimat Saga membawaku kembali dalam ingatanku kemarin. Hembusan nafas Saga di pipiku dan bibir Saga. Astaga. Detik itu juga aku berlari. Untung yang retak itu tanganku bukan kakiku.
Bodohnya, begitu aku duduk di kursiku yang di dalam kelas aku baru sadar; buat apa aku capek-capek lari tunggang langgang menghindari Saga kalau ujung-ujungnya Saga kan duduk di sebelahku?! Bodohnya lagi sudah jelas Saga menyadari ketololanku sebelum aku sendiri sadar. Dengan raut tenang Saga meletakan tasnya di sampingku lalu tersenyum geli.
"Jangan lari-lari lagi. Nanti kamu jatuh." Gumamnya.
Aku mengangguk sambil memandangi langit-langit kelas. Wajahku masih merah padam karena habis berlari dan karena malu setengah mati.
Kukira begitu pelajaran di mulai kegugupanku bakal berkurang. Ternyata malah makin parah. Gara-gara tanpa di minta Saga menulis catatan untukku padahal aku tau dia tidak suka mencatat. Gimana bisa konsentrasi belajar kalau tangan kananku nggak bisa untuk menulis? Aku nggak bisa menyembunyikan fakta itu. Menulis dengan tangan kiri juga nggak bisa jadi alternatif. Tulisanku kelihatan seperti sandi rumput kalau di tulis dengan tangan kiri.
Kejadian saat jam istirahat malah
semakin parah, gara-gara Oza dan Ike terang-terangan membicarakanku di depanku."Kok bisa sih Saga segitu khawatirnya ngelihat Johan jatuh? Sampai gendong Johan ke UKS segala." Kata Oza.
Aku diam saja sambil mengerutkan kening. Sebetulnya lebih wajar mana; 1. tetap ngerasa biasa saja waktu ngeliat orang nggelundung berdarah-darah di tangga atau 2. Langsung panik dan sigap menolong? Jadi yang mana ini yang aneh?
"Kenapa Saga yang malah panik nolongin Johan ya? Padahal kan ada penjaga sekolah atau guru atau siswa yang lain. Ngapain dia repot-repot?!" Gerutu Ike.
Uh, Ike dan Oza pasti tidak tau aku punya kuping dan pendengaranku masih bagus atau dia tidak tau bagaimana caranya ngomongin orang dengan cara baik dan benar, seenggaknya bisik-bisik lah gitu.
"Kok bisa ya? Padahal Johan nggak cantik-cantik amat, nggak seru dan kayak anak autis gitu."
"Dia memang autis." Kata Oza, sambil mendengus ia melanjutkan kalimatnya, "Dan aneh."
Aneh? Aku pernah dengar orang menyebutku seperti itu sebelumnya tapi aku belum pernah dengar ada orang yang mengataiku autis.
"Eh Jo, kamu baru aja diejek Oza autis, kok diem aja?" Protes Abimayu dari meja depanku. Tuh kan? Abimayu saja dengar.
"Apaan sih kamu, Abi!" Balas Oza tau-tau sewot mendengar kalimat Abimayu.
"Ejek balik Jo!!" Seru Abimayu semangat.
Aku menatap Abimayu bingung, kemudian menatap Oza dan ike lebih bingung. Aku harus gimana nih? Sebetulnya aku nggak suka berkonfrontasi. Apa yang harus kuejek dari Oza dan ike? Oza cantik kearab-araban sementara Ike berwajah manis. Lagian aku juga nggak bisa ngejek dan toh aku nggak autis betulan.
"Kamu kok suka nya ngompor-ngompori." Kataku pelan sambil meringis pada Abimayu.
"Ngompor? Maksudmu aku kayak kompor?" Tanya Abimayu balik sambil ngangkat alis, "Kok jadi aku yang malah kamu ejek sih Jo?"
Disampingku, Saga mendengus.
Aku menggigit bibir, "Soalnya kamu kayak mencoba mengadu domba kita bertiga.""Lah? Kok jadi gini." Ujar Abimayu bingung, membuat dengusan Saga berubah jadi tawa.
Mendengar tawa Saga, Oza dan Ike serempak menoleh. Mereka langsung sama-sama terdiam. Daridulu begitu. Kalau Saga tertawa pasti anak-anak perempuan disekeliling Saga langsung terdiam. Aku menyebut ini efek Saga.
"Weilah Jo. Sekali-kali berantemlah. Kayak kemarin itu di tangga." Paksa Abimayu. Ia mencoba menarik perhatianku lagi dengan menarik lengan kiriku.
Sontak Saga menarik tangan Abimayu menjauh dari tanganku. Dengan lengannya, Saga membantuku menghalangi tangan Abimayu yang lain yang hendak menggapai pergelangan tanganku lagi. Saga juga memberiku kesempatan untuk aman bersembunyi dibelakang punggungnya.
"Heh Saga, emang kamu siapanya? Minggir dong." Kata Abimayu sambil tertawa.
"Pacarnya." Jawab Saga ikut tertawa.
Aku mendengar ledakan suara dari dalam kelasku. Bukan suara bom atau suara pak Bambang yang sedang marah-marah. Itu suara beberapa teman-teman Saga yang langsung bersorak begitu mendengar kalimat Saga.
Di depanku ekspresi Ike dan Oza seperti habis tersedak biji duren. Sementara Abimayu, Adnan dan Yugo berteriak protes kenapa mereka baru di kasih tau Saga sekarang. Sebelum akhirnya mereka berebut menyelamati Saga. Tidak jauh dari tempat dudukku, Novietta dan Ellie juga nyengir lebar menatapku dan Saga.
Saga melirikku yang membeku saking malunya. Sebetulnya aku nggak ingat aku dan Saga pernah tekan janji kalau sekarang kami pacaran atau gimana. Sepertinya ciuman itu sudah cukup untuk Saga untuk menegaskan hubungan kami. Saga kelihatan bangga dengan status barunya. Rasanya aku bisa tahan dengan segala efek yang di timbulkan dari hubungan baruku dengan Saga. Rasanya juga aku bisa menghadapi apa saja asal melihat senyum Saga.
Aku semakin yakin dengan keputusanku karena saat jam pulang sekolah, Saga berkata padaku sewaktu membantuku membereskan buku-bukuku, "Setelah kamu sembuh, kita pergi ke taman bermain ya?"
"Apa? Kemana?" Gumamku.
"Taman bermain." Saga tersenyum, "Disana, kamu harus naik semua wahana yang kamu suka."
Aku terpaku tak percaya, "Maksud Saga?"
"Kita nggak akan lagi naik kora-kora atau roller coaster kayak dulu. Sekarang gantian aku yang bakal ngikutin kamu ke wahana apapun yang kamu suka." Jawab Saga lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Saga (Completed)
Teen FictionRank 1# on innocent & first love and realistic fiction There's nothing like the innocence of first love..... This work dedicated for people who likes pure, sweet, stupid, innocent love story Enjoy! Thanks for reading and please dont copy my story...