Chapter 43

4.6K 520 17
                                    

Sesaat aku kembali ke masa lalu.  Teringat kepingan ingatan yang tidak pernah kuanggap penting sebelumnya. Aku selalu ingat Saga, anak laki-laki yang sering tanpa sengaja bertatapan mata denganku saat kelas kami berbaris berdekatan sewaktu upacara atau saat kami berpapasan di lorong sekolah.

Aku ingat saat aku kelas sembilan; Aku berjalan di depan sekolahku, di bawah pepohonan, di sore hari menjelang petang setelah eskul melukis. Aku mendengar namaku di panggil. Aku menoleh kebelakang. Tidak ada satupun orang di belakangku, kecuali Saga. Ia berdiri lima meter di belakangku, menatapku. Saat itu aku hanya diam saja sambil mengerutkan kening. Aku tidak percaya kalau Saga yang memanggilku, karena aku nggak pernah bermimpi Saga punya alasan untuk memanggil namaku. Kukira aku hanya salah dengar, jadi aku kembali berjalan dan tidak ada yang terjadi setelah itu.

Sekarang aku ingat kembali suara itu. Suara yang memanggil namaku, berat dan dalam. Suara Saga. Memang Saga yang memanggilku waktu itu. Pantas saja dari awal duduk di sampingnya, aku merasa familiar dengan suara Saga. Ternyata aku juga memperhatikan Saga sejak dulu. Daridulu.

"Dulu Saga pernah manggil namaku di depan sekolah." Bisikku gugup.

"Iya, tapi kamu nggak jawab." Jawab Saga enteng.

Aku bisa merasakan aliran darahku terpacu ke pipi, "Maaf Saga. Waktu itu aku nggak percaya kalau memang Saga yang manggil namaku."

Saga mulai tertawa seperti orang tua yang paham anaknya melakukan kebodohan karena usianya masih kecil, "Jangan minta maaf. Lagipula aku sebetulnya nggak sengaja manggil namamu."

"Apa?" Tanyaku bingung.

"Aku ngelihat kamu jalan di depanku. Lalu aku nggak sengaja manggil namamu."

"Oh." Aku melongo bodoh. Padahal aku sudah membayangkan alasan lain yang lebih keren.

"Aku panik waktu kamu noleh." Saga tertawa makin geli, menertawakan dirinya sendiri, "Aku nggak tau harus bereaksi seperti apa. Lucunya, bukannya bicara, kamu malah cuma ngeliatin aku dengan muka lucu lalu tengok kanan kiri bingung. Baru setelah kamu balik badan aku sadar, aku menyesal nggak ngajak kamu bicara."

"Aku baru tau kalau Saga juga bisa panik." Ujarku. Memang benar begitu. Yang kutau, Saga selalu tampak tenang dan terkontrol.

"Aku juga manusia Jo. Aku bisa panik. Aku juga bisa gugup."

"Gugup?" Aku makin nggak percaya. Membayangkan Saga gugup sama susahnya seperti membayangkan Saga remidi ulangan Matematika.

"Ya. Gugup seperti ini." Saga mendekatkan wajahnya padaku. Aku membelalakan mata kaget. Mata kami bertatapan cukup dekat selama beberapa detik sebelum Saga memundurkan wajahnya beberapa senti kebelakang lalu mengalihkan pandangannya, "Nah, ini aku gugup." Ucapnya begitu kembali berdiri tegak.

Pantas aku nggak pernah tau kalau Saga gugup. Gimana mau sadar kalau gaya gugup Saga kelihatan se-cool itu? Sementara jantungku rontok, darahku macet di pipi, jemariku bergerak gelisah, wajahku berubah warna jadi abu-abu dan kakiku gemetaran, Saga masih bisa mempertahankan gaya gentlemannya. Berdiri tegap sambil memandang lurus kedepan dengan tatapan tenang. Padahal di saat yang sama, aku sudah nyaris menyundul Saga lagi.

Tepat saat itu, aku mendengar pintu ruangku di buka. Di hadapanku berdiri Lintang. Ia terpana memandang kami berdua. Aku balik menatapnya panik. Pipiku yang tadinya merah berubah pucat.

"Jo?" Suara Lintang tersendat seperti kehabisan nafas melihat Saga berpegangan tangan dan berdiri sangat dekat denganku, "Ka...kalian ngapain?"

Di saat seperti itu, Saga masih bisa-bisanya mendekatkan lagi wajahnya ke wajahku. Ia berbisik dengan suaranya yang berat dan mematikan tepat di telingaku, "Jawab apapun pertanyaannya dengan jujur. Jangan bohong." Saga mengancam, "Karena aku pasti tau."

Aku melirik Saga panik. Saga tersenyum menatapku sambil melepaskan genggaman tangannya kemudian keluar dari ruangan.

"Kalian bisik-bisik apa?" Tanya Lintang dengan raut tidak suka begitu pintu di belakangnya tertutup.

"Saga bilang, aku nggak boleh bohong." Jawabku canggung.

"Emang selama ini kamu suka bohong?"

Aku menggigiti bibir, "Kadang."

"Kamu suka bohongin aku?" Mata Lintang menyipit curiga.

Aku buru-buru menggeleng, "Bukan Lintang yang sering kubohongi."

Tapi Saga.

"Kalau gitu kamu bakal jawab jujur pertanyaanku sekarang?"

Aku menelan ludah, "Pertanyaan apa?"

"Apa Saga sudah ngakui perasaannya ke kamu?"

"Maksudnya?"

"Maksudku, Saga ngakui perasaannya sendiri ke kamu atau perasaannya akhirnya ketahuan kamu?" Cukup lama Lintang memperhatikan perubahan raut wajahku dengan seksama sebelum ia mendengus paham, "Oh, Saga pasti bilang. Nggak mungkin kamu sadar sendiri. Tapi kenapa kamu bisa-bisanya nggak sadar? Padahal aku aja tau."

Aku melongo, "Ke..Kenapa Lintang bisa tau?"

Lintang menatapku jengkel, "Kamu kira aku naksir Saga bohongan doang? Aku betul-betul suka Saga! Betul-betul merhatiin dia. Karena itu aku sadar sejak lama; siapa yang selalu Saga lihat, siapa yang selalu dilirik Saga diam-diam. Siapa yang sebenarnya disukai Saga. Kamu aja yang bego! Nggak sadar-sadar."

Aku terkesima, menyadari kebenaran dalam kata-kata Lintang. Pertama, kenyataan kalau aku memang nggak akan pernah sadar seandainya Saga tidak pernah bilang. Kedua, kenyataan kalau aku memang bego.

"Huh, Saga yang rugi nggak milih anak secantik aku." Seru Lintang sambil menyibak rambutnya, "Kasihan Saga. Dia naksir anak telmi kayak kamu. Udah dikasih kode keras selama bertahun-tahun tetep aja nggak sadar. Padahal Saga sampai mau-maunya berbagi makanan sama minumannya sama kamu. Gitu masih juga nggak sadar?! Astaga. Apa jangan-jangan kamu juga nggak tau kalau Saga daridulu terkenal paling anti berbagi minuman sama cewek?"

Aku tertegun, "Darimana Lintang tau kalau aku suka berbagi makanan sama Saga? Apa dari mata-mata Lintang di sekolahku?"

"Iya. Dari si May! Lebih tepatnya dari mata-mata penghasut. Kerjaannya telepon aku pamer kemesrahanmu sama Saga melulu!" Seru Lintang marah, "Terus apa kamu juga suka Saga?" Lintang akhirnya menanyakan hal yang paling sulit kujawab.

"Aku belum tau." Ucapku terbata-bata.

"Gimana aku bisa ngelepasin Saga buat cewek yang nggak paham perasaannya sendiri?" Serunya marah.

"Tapi gimana dengan perasaan Lintang? Bukannya Lintang suka Saga?" Aku balas berseru.

"Menurutmu kenapa aku ada disini begitu dengar May cerita kamu masuk rumah sakit?" Lintang mendengus kesal, "Aku kesini bukan karena Saga! Tapi karena khawatir sama kamu! Terus bukannya Saga bilang kamu nggak boleh bohong? Kenapa masih bohong? Kenapa nggak jujur sama perasaanmu sendiri?"

"Maaf." Aku terdiam sambil memandangi buku-buku jariku merasa bersalah, "Soalnya Lintang temanku."

"Karena kamu temanku makanya kamu harus jujur." Nada suara Lintang berubah putus asa, "Jadi sebenarnya kamu suka apa enggak?"

Aku terdiam. Yang kutau, Saga salah satu alasan kenapa aku suka berangkat sekolah. Aku suka ngobrol dengan Saga. Aku suka mendengar suara tawanya yang menyenangkan dan keberadaannya yang menenangkan. Selain itu aku nggak bisa membayangkan dunia tanpa Saga. Aku ingin hidup dalam dunianya, dunia Saga.

"Akhirnya." Lintang mendecakkan bibir gemas begitu melihatku mengangguk.

"Lintang nggak marah?" Aku menatap mata Lintang. Menunggu ledakan emosinya. Anehnya, yang kulihat Lintang tampak seperti tidak peduli.

"Kenapa harus marah? Bukannya wajar suka sama Saga? Bukannya daridulu aku nggak pernah bener-bener marah sama siapapun temenku yang naksir Saga? Mau gimana lagi?Lagian siapa juga cewek yang nggak jatuh cinta sama Saga."

Dunia Saga (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang