Part 12

5.1K 507 19
                                    

Setelah MOS SMU selesai, setiap siswa di bagi kelasnya secara acak. Aku dan May berpisah kelas lagi tapi seenggaknya kami masih satu sekolah. Aku masuk 10-5, May masuk 10-1. Sementara Lintang beda sekolah denganku.

Selama beberapa hari, kegiatan sekolah masih belum kondusif. Pembagian kelaspun belum fix benar makanya masih banyak anak yang harus berpindah-pindah kelas karena diminta oleh pembina kesiswaan. Kukira aku bukan yang termasuk yang akan dipindahkan. Namun tiba-tiba pada hari Rabu tepat saat pelajaran pertama kelasku hendak dimulai, bu Eka memanggil namaku untuk pindah kelas.

Saat melihatku berdiri, Bu Eka memandangku heran. Karena beliau mengira Johan Navsar itu laki-laki. Lalu beliau menjelaskan kalau aku harus bertukar kelas dengan salah satu anak kelas 10-2 yang juga bernama Johan Navsar. Alasannya karena Johan Navsar yang laki-laki beragama Katolik, makanya ia harus masuk kelas 10-5 tempat semua anak-anak beragama Katolik di kumpulkan untuk memudahkan untuk pelajaran agama- bukannya bermaksud untuk tidak adil. Aku sendiri sebetulnya beragama islam.

Bu Eka membuka pintu kelas 10-2 setelah mengetuk. Seperti tadi dikelasku Bu Eka menjelaskan terlebih dahulu alasan kedatanganya dan mengapa aku harus bertukar kelas dengan Johan Raditya Navsar yang laki-laki.

Terdengar suara kursi didorong, anak laki-laki yang duduk dikursi nomor dua dari belakang kelas bangkit berdiri sambil membereskan buku buku pelajarannya. Hatiku mencelos panik bukan karena anak laki-laki yang akan bertukar kelas dengan ku itu sekarang bibirnya melengkung cemberut tapi karena teman sebangkunya adalah Saga. Secara reflek aku buru-buru menoleh kanan kiri mencari kursi kosong lain, tapi kenyataannya memang hanya ada itu satu kursi yang tersisa. Saga sendiri menatapku, membuatku mati kutu.

Disaat yang sama anak-anak lain sibuk menatap Johan yang laki-laki, kemudian menatap Saga kemudian balik menatapku, terutama anak perempuan. Kebanyakan dari mereka tidak tanggung-tanggung untuk menatapku dari atas kebawah.

Pak Yasmin, guru Fisika yang waktu itu sedang mengajar kelas 10-2 memberikanku isyarat supaya segera duduk. Padahal yang paling kuinginkan sekarang adalah lari pulang kerumah. Akhirnya, aku harus berjalan masuk kedalam kelas yang asing ini. Mau nggak mau juga langkah kakiku langsung tertuju ke meja Saga. Bisa kemana lagi aku selain duduk disebelahnya?

Saat aku duduk, mataku tidak sengaja bertatapan dengan mata Johan yang laki-laki. Ia masih membereskan barang-barangnya sambil mengobrol beberapa patah kata dengan anak laki-laki yang duduk di meja didepanku. Tiba-tiba aku jadi ingat Amel. Dikelasku yang sebelumnya kan satu-satunya kursi yang masih kosong juga cuma kursi bekasku disamping Amel. Berarti mereka kemungkinan besar mereka juga akan satu meja hingga naik kekelas 11. Kecuali kalau mereka tukaran meja dengan orang lain. Sama seperti aku yang kemungkinan harus satu meja dengan Saga. Padahal seumur hidup aku belum pernah satu meja dengan anak laki-laki, kecuali saat ujian semesteran.

Aku tidak berani menoleh apalagi mengeluarkan suara walaupun aku sudah duduk di sebelah Saga. Aku cuma bisa menundukan kepala sembari merasakan tatapan mata murid-murid yang lain yang masih mengawasi gerak-gerikku dengan seksama. Tiba-tiba keheningan kelas dipecahkan oleh ledekan dari anak laki-laki yang duduk dimeja sebelah yang langsung diikuti anak laki-laki yang lain. Suara ribut itu baru berhenti karena suara bentakan dari pak Yasmin. Semua anak langsung diam. Salah satu anak perempuan berpita merah yang barusan melambai lambaikan tangan kearahku sambil tersenyum lebar juga langsung buru-buru menghadap kepapan tulis.

Saat itu juga aku langsung ingat Lintang. Ingat kalau waktu SMP aku sering menemani Lintang mengikuti Saga. Gimana kalau alasan Saga tidak mengeluarkan suara sejak tadi karena ia sudah tidak suka padaku semenjak aku SMP gara-gara ia tau aku sering nemenin Lintang ngebuntutin dirinya? Gimana kalau sikap diam nya itu adalah demo terang-terangan kalau ia menolak duduk disebelahku? Gimana kalau ia tidak ikhlas teman sebangkunya harus ditukar denganku? Walaupun jelas-jelas bukan salahku juga kenapa aku bisa-bisanya harus tukar kelas dengan teman sebangkunya. Tapi terus aku harus duduk dimana? Gelar tiker dilantai?

Gimana pula kalau Lintang tau aku sekarang duduk disebelah Saga? Untung saja kami sekarang beda sekolah. Kalau Lintang sampai tau bisa-bisa aku bosan di curhati lagi tentang Saga. Padahal belum tentu pula Saga tau namaku. Yah, namaku memang sama persis kayak nama teman sebangkunya yang dulu, Johan. Tapi selama ini kan Saga tidak betul-betul mengenalku.

Pelan pelan aku melirik Saga, Saga sedang menunduk memandangi buku catatannya. Berberapa helai rambut hitamnya menjuntai di kening. Dari samping hidung Saga kelihatan lebih mancung dan tulang rahangnya yang sempurna terlihat jelas dari dekat.

Berlomba-lomba untuk membuat otakku makin ngaco, aroma parfum Saga juga tercium dari tempatkku duduk. Harum manis mirip campuran bunga dan rempah-rempah. Harum parfum mahal. Tanpa sadar wajahku langsung merah padam. Saking takutnya ketahuan kalau aku jadi gugup setengah mati cuma gara-gara memandang wajah Saga diam-diam, aku buru-buru menutupi wajahku dengan rambutku yang kubiarkan menjuntai disisi kanan wajahku juga merapatkan kakiku supaya kaki kami tidak akan tanpa sengaja bersentuhan dibawah meja.

Baru saja pelajaran Fisika yang serasa seperti satu abad selesai, anak-anak laki-laki yang duduk di sekeliling meja Saga langsung serempak menoleh menatapku.

"Kita satu SMP loh." Kata anak laki-laki yang duduk di sebelah mejaku sambil nyengir

Aku menoleh padanya. Pantas aku familiar dengan wajahnya, dia itu Abimayu. Ketua kelompokku zaman dahulu itu. Bisa-bisa aku baru ngeh sekarang.

"Kamu ingat namaku siapa?" Ujarnya sambil menutupi bet namanya dan nyengir lebar.

"Kepedean lu, emang lu siapa? Artis ?" Ledek anak laki-laki yang duduk didepan mejaku. Tanpa sengaja aku membaca bet nama di seragamnya namanya Yugo.

"Abimayu." Jawabku.

"Itu bukti kalau ke-eksisanku waktu SMP tidak perluh dipertanyakan." Seru Abimayu bangga.

"Gitu aja bangga. Ck." Ejek anak yang duduk disebelah Abimayu, ia punya komposisi wajah yang semua super size, hidungnya, mulutnya, matanya sampai kupingnya.

"Eh, nama panggilanmu siapa? Soalnya si Johan yang asli panggilannya Jupri." Sela Abimayu.

"Johan asli yang barusan di pindah ke 10-5 itu? Terus Johan yang ini apa? Johan palsu?" Ejek yang Yugo sambil menunjukku.

Aku malu sekali diledekin ganti-gantian oleh semua anak laki-laki yang duduk disekeliling meja Saga sambil ditatapi penasaran oleh anak-anak perempuan yang kebanyakan duduk di barisan depan.

Lebih malu lagi saat aku tidak sengaja bertatapan mata dengan Saga. Wajah Saga langsung membuatku takut. Saga tidak senyum atau apa. Ia hanya diam tanpa ekspresi menontonku jadi bahan ledekan. Aku belum pernah melihat wajah Saga dalam jarak sedekat ini sebelumnya. Nyaliku langsung ciut, takut dengan Saga. Setelah kupikir pikir, mungkin Saga juga merasakan hal yang sama. Dia mungkin juga ngerasa aneh harus duduk denganku. Seperti Johan yang laki-laki yang pasti sekarang mau nggak mau duduk disebelah Amel.

Dunia Saga (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang