Untung aku masih punya waktu satu minggu sampai hari Sabtu selanjutnya. Waktu pasti berlalu dengan cepat kalau kamu panik. Tau-tau saja sudah hari Sabtu lagi.
Padahal masih pagi tapi Lintang terus-terusan memberondongku dengan pesan singkat menunggu konfrimasi. Lintang sudah kebelet berat ingin bertemu dengan Saga.
“Saga?” Panggilku waktu Saga meletakan tasnya di sampingku.
Saga menoleh, rambutnya sedikit lembab karena pagi ini hujan. Ia tersenyum, senyum yang mampu membuat banyak cewe normal kena serangan jantung mendadak. Tapi aku kan tidak normal menurut definisi umum.
“Mau makan berdua di mal?” Tanyaku gagap. Harusnya pulang sekolah nanti aku ke dokter jiwa bukannya makan di mal.
Saga mengangkat satu alisnya yang sempurna. Ia memandang mataku tajam. Mengajaknya makan berdua sudah aneh, apalagi tiba-tiba mengajak Saga makan di mal padahal biasanya aku, Saga dan teman-teman kami paling mentok kalau makan di warung leseh penyetan didekat sekolah.
“ Oke.” Jawab Saga singkat.
Aku bengong. Segampang ini kah? Kukira aku bakalan diintrogasi macam-macam atau di tolak mentah-mentah.
Padahal aku berharap Saga menolaknya setegas mungkin. Jangan-jangan Saga lagi-lagi sudah tau? Aku penasaran bagaimana otak Saga bekerja. Ia terlalu pintar. Terlalu cerdas untuk di tipu. Jangan-jangan Saga juga tau segala rahasia terkelamku, misalnya kalau aku tidur aku suka mengigau atau waktu kecil aku cengeng setengah mati cuma dari caraku bicara?
Rencana Lintang sungguhan berjalan selancar jalan tol. Aku dan Saga sudah berada di mal dan Saga tetap nggak banyak tanya atau komentar. Aku kasihan betul pada Saga karena dapat teman sebangku seperti aku.
Berdasarkan rencana Lintang, aku dimintanya menjebak Saga menuju salah satu restoran Jepang. Aku belum pernah makan makanan Jepang sebelumnya. Saat pertama kali melihat bagian depan restoran Jepang yang Lintang maksud, otakku langsung bekerja bagai kalkulator. Restorannya mewah sekali. Pasti harga makanannya pun mahal selangit.
Lintang melambaikan tangan dari salah satu meja. Aku balas melambai secara reflek lalu menoleh mengecek ekspresi wajah Saga. Nggak ada ekspresi keterkejutan atau kaget sama sekali di wajahnya.
Bodohnya, baru sekarang aku sadar sandiwaraku sudah gagal total sedari awal. Saga pasti tau, dia selalu tau. Salah besar mencoba membodohinya. Tapi kenapa kalau dia sudah tau dari awal tapi tetap mengiyakan ajakanku? Pikirku curiga.
Belum tau kalau sebetulnya sandiwara kami sebetulnya sudah gagal total, senyum Lintang lebar sekali saat berakting kaget kebetulan bertemu denganku dan Saga disini. Aku jadi malu sekali menonton Lintang berkerja keras seperti itu.
Lintang datang bersama teman satu sekolahnya. Teman Lintang menatap Saga seperti sebelumnya ia buta lalu tiba tiba ia bisa melihat lagi. Teman Lintang kelihatannya sepemalu aku, namanya Fanny. Lintang mungkin menyiapkan anak perempuan sepemalu aku supaya aku dan temannya bisa sama-sama mengobrol malu-malu.
Sesuai rencana kami berempat duduk satu meja. Saga duduk disebelahku di hadapan Lintang. Aku nggak mengenali Lintang. Ia berusaha keras berdandan. Ia lebih cantik di banding biasanya.
Lintang menatap Saga ragu-ragu. Saga duduk tanpa suara, tanpa senyum dan tanpa ekspresi, itu bagiku. Tapi bagi orang yang tidak mengenal Saga, pasti mengira Saga sedang jengkel berat. Padahal tatapan mata Saga memang asli begitu.
Aku mencoba mengatasi kecanggunganku dengan membaca daftar menu. Usaha konyol dengan sok berpura-pura ngerti. Aku buta makanan Jepang. Aku nggak pernah makan ikan mentah. Nggak pernah tau kalau selain jadi tempe, kedelai juga bisa menjadi kuah miso. Apa itu miso? Apa itu Umeboshi? Apa itu Kinpira?
Melihatku stress membaca daftar menu dengan harga selangit, Saga membuka suara. Ia menjelaskan segala detail menu padaku. Tapi mentok-mentoknya aku memilih yang paling murah juga. Aku manut-manut saja menyetujui saran Saga untuk memesan paket teh hijau satu teko untuk kami berdua.
Fanny menatap Saga kagum, disebelahnya wajah Lintang seperti ingin menceburkanku ke sumur. Bodohnya aku, harusnya aku membuat Saga dan Lintang mengobrol. Bukan Saga mengobrol terus denganku.
“Lintang temen sebangkuku waktu kelas 7.” Aku membuka topik pembicaraan.
Saga mengangguk tanpa menunjukan minat. Persis ekspresinya kalau sedang mendengarkan pelajaran Geografi yang ia nggak suka.
Lintang mengambil alih tugasku gara-gara aku gagal. Ia menceritakan tentang aku sewaktu masih jadi teman sebangkunya. Lintang menceritakan kalau waktu kelas 7, aku suka menggambar. Sampai semua bagian belakang bukuku penuh gambar. Juga soal kesukaanku pada makanan seafood dan roti.
Saga mengangguk. Yah kalau soal itu Saga juga sudah tau. Aku sering diam-diam menggambar di sampingnya di sepanjang pelajaran. Saga juga pasti sudah bosan mendengarku cerita kalau aku ingin makan kepiting. Aku suka menggambar gurita, kepiting, udang dan kerang lalu menunjuk gambar itu dan bilang ke Saga kalau aku lapar. Saga juga pasti bosan dengar teman sebangkunya kelaparan terus. Nggak pernah kenyang.
Lintang juga cerita betapa begonya aku dalam pelajaran Matematika. Jadi Lintang sering sekali menyontekkanku PR Matematika dan mengajariku. Lintang lalu bertanya ke Saga, apa Saga juga sering mengajariku Matematika.
“ Iya.” Jawab Saga.
Lintang melemparkan pandangan ngambek padaku. Ia sudah mewanti-wantiku supaya jangan minta Saga mengajariku Matematika. Aku meringis. Kalau begitu lalu aku minta tolong siapa? Masa aku minta tolong orang lain padahal orang yang duduk persis disebelahku yang paling jago di kelas?
“Enak dong duduk sama Saga, Jo?” Kata Lintang dengan pertanyaan menyudutkanku.
Nah, nggak mungkin kalau aku menjawab dengan, 'duduk dengan anak pinter memang enak'. Kalau aku menjawab begitu Lintang pasti tambah keki. Kalau aku menjawab dengan ‘nggak enak!’. Ya, karena aku jadi sering dititipi salam dan ditunjuk guru. Nanti Saga yang sewot. Kalau aku menjawab, 'oh biasa aja kok'. Kesannya kok sok banget.
Serba salah sekali, jadi aku hanya berkata, "Saga kayak papaku.”
Saga tertawa mendengar jawabanku. Fanny yang daritadi bertahan diam seperti pajangan di samping Lintang wajahnya langsung merah padam salah tingkah melihat Saga tertawa.
Lintang juga begitu, ia terdiam membeku antara terpesona dengan tawa Saga sekaligus ingin mendampratku karena membuat Saga tertawa.
Aku juga ikut diam. Bukan karena aku terpesona atau jatuh cinta pada suara tawa Saga. Maksudku, aku sudah berbulan-bulan duduk di sebelahnya. Sebelum inipun aku sudah pernah melihat Saga tertawa.
Aku diam karena aku sukses menggagalkan usaha Lintang untuk pedekate dengan Saga. Aku gagal sebagai teman Lintang. Walaupun Lintang sering menyebalkan, ia sudah menjadi teman dekatku bahkan sebelum aku menjadi teman dekat May.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dunia Saga (Completed)
Teen FictionRank 1# on innocent & first love and realistic fiction There's nothing like the innocence of first love..... This work dedicated for people who likes pure, sweet, stupid, innocent love story Enjoy! Thanks for reading and please dont copy my story...